Minggu, 21 Desember 2008

Takkan Pernah Bisa, Selama Masih Tak Akui Keberadaan dan Kekuatan Budayanya

Siapkah Jambi Ber-Ekonomi Kreatif?

‘Ekonomi Kreatif’ telah ditetapkan presiden sebagai cetak biru pembangunan bangsa Indonesia ke depan. Sebuah konsep pembangunan yang bersumber dan berporos serta harus sernantiasa terkait dengan kebudayaan bangsa. Ada 14 item yang termasuk ke dalam aspek-apeknya. Lalu bagaimana dengan Jambi, sudah siapkah menyongsong dan mengaplikasikan apa yang telah dicanangkan pemerintah untuk jangka waktu sampai 2030 mendatang itu ke dalam konsep pembangunannya. Ataukah pada tahun itu Jambi tetaplah sebuah negeri yang stagnan seperti sekarang ini.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Kemarin Posmetro Jambi memperbinmcangkan kemungkinan kesiapan Jambi ini dengan seorang budayawan Jambi Jafar rasuh dan Drs Rahman salah seorang kasubdin bidang objek pariwisata di dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi di kantor Budpar.
Kebetulan, ikut pula nimbrung dalam perbincangan itu seorang eks mahasiswa Jambi yang kuliah di Kota Budaya Jogjakarta yang dulunya juga seorang petualang pendaki gunung dan bikers yang doyan turing hingganya dia begitu sarat dengan pengalaman dan wawasan kebudayaan, maka perbincangan pun jadi semakin hangat.

“Apa Pak yang bisa diandalkan Jambi untuk bisa berarti dan berguna hingga mampu berbicara banyak di pentas dunia, saya semenjak kepulangan saya beberapa tahun lalu sama sekali Jambi hampa kebudayaan. Saya nogmong begini karena selama mahasiswa dulu saya sudah melancong menjelajahi hampir segenap negeri yang ada di Pulau Jawa dan Bali, disitu segala sesuatu yang disebutnya kebudayaan masyarakatnya, kesemuanaya dapat dipastikan pastilah akan laku dijual,” pancing sang mantan mahasiswa itu pada Jafar Rasuh.

Yang ditanya jelas kaget, tak menyangka dapat tohokan seperti itu dan selanjutnya, seperti biasanya dia, mulut bapak satu ini pun membeberkan sedereat fakta untuk meng-konter anggapan sang penanya yang seolah menantangnya itu.
“Siapa bilang Jambi tak punya budaya apa-apa yang bisa dijual dan jadi ‘mata uang’ baru seperti yang jadi visi ekonomi kreatif pembangunan gelombang keempat yang dicanangkan presiden itu. Jambi punya semuanya bahkan lebih dari yang dipunyai oleh Jawa dan Bali. Persoalannya selama ini aset dan potensi kebudayaan baik yang tengible (benda) maupun yang ingtengibel (non benda) yang dipunyai Jambi itu, tidak pernah terkelola dengan baik. Itu persoalannya lho,” potong Jafar.

Seperti senapan mesin mulut sang tokoh lalu merentetkan peluru alibinya. Memamparkan segenap khazanah yang selama ini memang telah tersia-siakan itu. “Soal potensi untuk wisata alam, kita punya aset yang tak kan pernah habis-habisnya, kita punya kerinci yang elok jelita alamnya, kita punya empat taman nasional, kita punya gunung tertinggi, kita punya danau tertinggi, kita punya sungai tertinggi, kita punya hutan terlebat, kita punya Harimau Sumatera yang merupakan fauna maskot kita punya pulau Berhala yang indah,”

“Di potensi wisata budaya, kita punya kebudayaan purba dan melayu tua yakni Kerinci, kita punya suku primitif yakni kubu yang eksotis, kita punya komplek percandian Budhis terluas di Asia Tenggara, kita punya banyak prasasti dan peninggalan sejarah lainnya, kita punya perkampungan tua, kita punya berbagai cerita mitos, dongeng dan legenda, kita punya ratusan jenis tari tradisi, kita punya ratusan bahkan mungkin ribuan khazanah seni rupa, kita punya sejarah yang luar biasa, kita punya kebudayaan pluralisme yang luar biasa, dan lain sebagainya,”

“Begitu juga potensi wisata minbat khusus, kita punya banyak gunung tinggi dan pnya daya tarik tantangan tersendiri untuk didaki, kita punya sungai Merangin wahana arung jeram termenantang di Sumatera, kita punya Berbak yang jadi wahana transit burung-burung imigran, kita rawa-rawa yang menantang untuk ditaklukkan adrenalin, kita punya perkebunan karet dan sawit yang luas untuk wahana berburu dan rally otomotif adventurer, kita punya danau kerinci yang bisa jadi wahana wisata air, kita punya kebun teh kayu aro yang bisa saja jadi seperti Puncak di Bogor. Pendeknya, kita punya segalanya yang dipunyai daerah lain,” rincinya begitu akurat.

Namun, lanjutnya, selama ini semua potensi itu nyaris tidak pernah bisa kita angkat ke permukaan dan dijadikan sumber ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. “Penyebabnya, bukan hanya karena satu faktor, tapi karena kesemua faktor menyeluruh yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Kita Jambi sampai kini belum mampu sampai menemukan formulasi ampuh guna membangkitkan energi dan sinergi sehingganya mampu memobilisasi kemajuan perekonomian masyarakatnya. Kesemua kita selama ini masih bekerja sendiri-sendiri. itulah kelemahan kita,” imbuhnya lagi.

Ya, diakui ataupun tidak, selama ini setiap komponen penggerak kebudayaan itu memang benar selalu bergerak sendiri-sendiri, seolah tanpa koordinasi sedikitpun. Setiap Pemerintah Daerah, baik provinsi, kabupaten kota, lalu pihak swasta, pihak seniman dan pelaku budaya itu sendiri, masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri, pihak pengelola event dan asosiasi pengusaha, semua berjalan sendiri, juga kebudayaannya itu sendiri, juga bergerak sendirian, berusaha bertahan dari serbuan derasnya invansi, inkulturasi, maupun akulturasi kebudayaan dari luar.

Samasekali belum pernah terlihat ada koordinasi apalagi sinergi yang memungkinkan berikutnya jadi arena kompetisi yang sehat. Semua pihak seolah masih memandang sebelah mata pada kesenian dan kebudayaan itu. Pasalnya kalau mau dihitung dengan mata uang, maka keduanya tidak akan pernah memberikan apa-apa. Itu kata kita.

Pasalnya di daerah lain, kebudayaan malah sudah menjadi sumber perekonomian baru yang tidak pernah berhenti mengalirkan uang kepada pelaku dan pemiliknya. Dalam skala internasional lihat keberhasilan Amerika dengan Hollywood-nya, lihat India dengan musik dan tari-nyalihat Mesir dengan kebudayaan megalitiknya, yunani dengan kebudayaan purbanya, lihat Mandarin, China dengan kungfunya, Jepang dengan teknologi dan strategi kebudayaannya, Korea dan Thailand dengan beladirinya, dan Malaysia dengan Melayunya. Dalam skala nasional lihatlah Bali, dan Jogja. Semua mereka di sana hidup dari kebudayaannya.

Lalu Jambi, kenapa tidak hidup dari apa yang menjadi kekayaan khazanah kebudayaannya, kenapa masyarakat Kerinci masih merasa harus berlomba-lomba mencari ringgit ke Malaysia, kenapa kota Jambi masih begitu tergantung pada pendapatan dari orang-orang yang transit dan singgah di sini, kenapa Tungkal dan Sabak masihlah kota yang teramat tradisional padahal dia adalah pintu gerbang laut bagi Jambi, kenapa sampai Berhala sampai jadi sengketa tak berkesudahan seperti sekarang ini.

Kenapa Batanghari, Muarojambi, Bungo-Tebo belum juga mampu hidup dari kebun sawit dan karetnya yang ratusan hektar itu. lalu kenapa mesti Butet Manurung yang sampai mau masuk hutan bukit 12 dan 30, Kenapa bukan para guru lulusan Unja atau perguruan tinggi lainnya di Jambi. kenapa Lasykar pelangi harus bersumber dari Bangka-Belitung, padahal Jambi juga punya banyak kisah serupa, dan sastrawan yang juga tak kalah hebatnya, Kenapa sungai batanghari harus jadi keruh dan penuh tinja manusia. Kenapa begini kenapa begitu.

Ke depan, ketika konsep ekonomi kreatif yang mengharuskan semua aspek pembangunan bersumber dan berkaitan dengan potensi atau khazanah kebudayaan, Jambi tentu tidak boleh lagi begini. Segala bentuk pembangunan yang dipacu haruslah senantiasa dipicu dan mengacu pada potensi kebudayaan. Semaua harus terapresiasi dan teraplikasikan dari kebudayaan Jambi.

Semua Bangunan infra struktur harus berdisain motif-motif yang ada di senirupa Jambi, seperti halnya Twin Tower atau menara kembar di Kuala Lumpur yang terinspirasi dari motif ‘pucuk rebung’ dalam batik dan songket melayu.

Rimba Jambi baik TNKS maupun Bukit 12 dan 30 harus bisa jadi setting filem dan sinetron produksi anak negeri, karya-karya sastra Jambi harus jadi sumber referensi dan inspirasi pembangunan pendidikan mental generasi Jambi. karya-karya seni pertunjukan haruslah hasil pengolahan dan pengembangan potensi budaya daerah hingga bisa menjadi sumber atau mata pencarian para pelakunya.

Sungai Batanghari, haruslah jadi sumber pemasukan, kehidupan masyarakat apapun juga. Baik yang petani, aktivitas atau perayaan keagamaan, haruslah bisa menjadi objek wisata bagi turis luar negeri. Danau sipin harus jadi tempat rekreasi, Sungai Merangin harus terus jadi tempat arung jeram, disain-disain fesyen yang diangkat dari batik Jambi haruslah laku dijual. Cawat kubu harus bisa jadi sovenir yang unik milik Jambi. Begitu juga kulit manis, bunga karet, biji saawit harus bisa pula dikreasikan jadi sovenir Jambi.

Kebun sawit dan karet, kebun durian haruslah bisa punya multi fungsi, tidak semata pekerjaan petani, tapi juga bisa jadi arena rally otomotif, berburu babi, lintas alam dan lain sebagainya. Festival danau Kerinci dan Festival Candi Muarojambi haruslah bernilai ekonomi, tidak melulu sebatas seremoni.

Jambi harus terus cetak rekor Muri, tapi bukan rekor yang direkayasa sendiri. Generasi Jambi harus terus unjuk gigi, makanya mereka harus kembali menggali tradisi, tidak melulu kaku dan terpaku pada budaya luar yang tidak berperi. Mereka harus bisa kreasikan dideang, bakunun, batale jadi hiphop, krinok jadi musik rock. Harus.

Kini, semua itu tentu tak akan pernah terjadi, kalau Jambi masih saja seperti sekarang ini, pemerintah berbuat tapi seakan tak pernah terdengar berbunyi, pengusaha pariwisata ada asiasinya tapi tak punya gigi. Sastrawan terus buat puisi buat novel tapi tak pernah bisa mendapat peluang dan kesempatan laku terjual. Lukis hidupnya miris.

Semua mulai kini harus saling berkoordinasi, saling sinergi. Biar segenap potensi Jambi tidak hanya jadi sebata potensi, tapi tak ada guna tak ada arti. Ingat Jambi, ekonomi kreatif ini adalah cetak biru dan presiden yang menetapkannya. Makanya, kalau ternyata di tahun-tahun berikutnya masih juga tak berubah, maka bersiap-siaplah dimarahi sang presiden. Ingat ya.***

0 komentar: