Minggu, 21 Desember 2008

Kebudayaan, Mulai Kini Harus Jadi Poros Roda Pembangunan

Tentang Indonesia dan Cetak Biru Ekonomi Kreatif Gelombang Keempat

Seperti telah disampaikan Drs Jafar Rasuh, Pemimpin Rombongan duta budaya Jambi pada helatan Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 di Kota Bogor dalam artikelnya yang dimuat Posmetro Jambi kemarin, tentang arah kebijakan pembangunan bangsa Indonesia ke depan adalah pengembangan ekonomi kreatif yang merupakan wujud dari gerakan memberdaya gunakan potensi aset budaya negeri hingga bernilai ekonomi bagi kesejahteraan segenap masyarakatnya.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Seperti baru tersadar dari lupa ingatan atau tersentak bangun dari tidur panjang, kini pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepertinya langsung bergegas mengejar ketertinggalan kereta.

Diakui ataupun tidak memang benarlah adanya negeri ini selama ini memang telah melupakan budaya dan kebudayaan, karena keasyikannya mengejar mimpi bisa jadi ‘selebriti’ di pentas dunia. Sibuk membangun raga dan luput samasekali menoleh barang sekejap pada budaya, hanya karena dia dinilai tidak mampu memberikan kesejateraan kepada masyarakatnya.

Untung saja ada presiden negeri ini yang tersadar akan keteledoran bangsanya itu. dan itu pun ketika menteri yang dipercayanya menanagi bidang kebudayaan dan pariwisata adalah orang dari bidang perekonomian yang memiliki sedikit sense of art.
Sayangnya, meski terbilang sudah teramat terlambat, karena di depan mata, gerbang globalisasi sudah terbuka lebar, ketika negara-negara lain sudah bersiap diri dengan jati diri yang bersumber dari ketahanan budaya lokalnya sendiri seperti Jepang, China, India dan Malaysia, Indonesia baru saja terjaga dan mengucek-ngeucek mata.

Indonesia baru tersulut ketika mendapati banyak aset budayanya yang sudah dicuri negeri tetangga, bahkan negeri orang yang berada di seberang nun jauh di sana. Bahkan mungkin presiden baru menyadari keampuhan dari sebuah budaya ketika putranya yang memimpin ‘Pasukan Garuda’ penjaga perdamaian PBB di Lebanon sana ternyata telah mampu menggetarkan nyali, membuat minder dan keder sederet batalyon pasukan elit dunia lainnya di sana hanya dengan peragaan ‘debus’ oleh para anggota personil Pasukan Garuda Indonesia, samasekali bukan karena keunggulan teknologi militer maupun senjata.

Baru tersadar kalau sesungguhnya Indonesia belumlah pernah akan bisa apa-apa, tak pernah bisa bicara di pentas dunia apalagi sampai tampil perbawa di sana kalau hanya mengandalkan rupa fisik semata. Pasalnya, semaju-majunya pembangunan fisik negeri ini maka dia sesungguhnya tidaklah akan pernah mampu sama dengan satu negari bagian pun di Amerika sana.

Sehebat-hebat apapun prestasi olah raga di negeri ini, tidaklah akan mampu lebih dari sekedar jadi juara di kelas bulu. Apalagi mau mimpi bisa jadi runner up Olimpic Game, merebut kembali tangga juara di pentas SEA Game saja negeri ini tak pernah bisa lagi. Seharusnya semakin terbuka mata ini negara, ketika Prof Budi Supandji, seorang dari Departemen Pertahanan (Dephan) yang dihadirkan sebagai pembicara pada kongres kebudayaan di Bogor beberapa waktu lalu itu, secara blak-blakkan membeberkan hasil penelitian seorang profesor ahli DNA dunia yang menyimpulkan, ternyata DNA orang Indonesia sangat spesifik seni budaya dan kerja psikis atau kejiwaan lainnya. Samasekali bukan DNA untuk jadi olahragawan atau kerja fisik lainnya.

Lihat, selain Badminton, Indonesia rupanya hanya bisa dipandang karena olah raga beladiri Pencak Silat-nya yang notabene adalah memang benar warisan budaya nenek moyangnya sendiri. Apalagi mau berjaya di pentas perekonomian dunia, mau mampu capai taraf kesejateraan menyeluruh bagi segenap warga negaranya, gaji presidennya saja ratusan lipat jauhnya di bawah gaji seorang Cassano tokoh AIG yang dituding sebagai biang kerok terjadinya krisis perekonomian Amerika yang berikutnya berimbas pula pada perekonomian dunia.

Pernah bermimpi ingin jadi mercusuar teknologi dunia setidaknya yang terperkasa di Asia Tenggara, sampai berdiri IPTN, lahir produk mobil Taruna, dan lain sebagainya, padahal pada kenyataannya, untuk melakukan produk sepeda motornya saja seperti Kanzen, Motorindo, harus berjibaku habis-habisan dengan para produsen tamu yang sudah lama bercokol menjajah di sini.

Belakangan bermimpi pula hendak jadi penguasa persinetronan, tapi justeru yang terjadi malah Betty Lapea lebih berjiwa lebih bermakna. Dan sinetron negeri ini, ternyata hanya lah skenerio-skenerio picisan yang tak jarang Cuma bisa cabul dan nakut-nakuti orang dengan cerita-cerita horor-nya. Parah memang, negeri ini sepertinya selalu sial disemua langkah, di semua rencana semua wacana, kenapa.

Benar, jawabnya seperti yang diakui Menbudpar Jero wacik dan Menko Kesra Aburizal Bakri, itu semua karena negeri ini belum pernah mampu menemukan jati diri bangsa. Padahal nilai-nilai kebanggaan berkebangsaan itu selama ini berseliweran bebas, menggelandang di sekeliling. Sungguh ini sama dengan makna peribahasa semut ayam nyasar di lumbung padi, semut mati karena gula.

Benar sekali, kalau kini presiden SBY kembali mengoreksi dan mengakui kalau sesungguhnya bangsa ini telah salah langkah selama ini, menapikan dan menepikan sisi seni yang bisa jadi jati diri negeri. Teramat benar kalau kini diakhir masa pemerintahannya dia buru-buru membuat cetak biru pembangunan kebudayaan bangsa dalam visi penciptaan ruang dan peluang ekonomi kreatif, cetak biru yang akan jadi visi nasional jangka panjang sampai 2030 mendatang.

Teramat benar kalau kini dia menyebut pergerakan pembangunan bangsa mulai saat ini memasuki ‘gelombang keempat’ satu gelombang yang bertumpu pada poros kebudayaan sebagai kekuatan dan sumber inspirasi kemajuan bangsa.

Benar sekali ketika Menbudpar Indonesia dengan teramat yakin berkoar di hadapan satu forum para menteri kebudayaan senatero dunia di Perancis beberapa tahun lalu, Indonesia adalah satu bengsa di dunia yang tak kan punah kebudayaannya. Karena pertimbangannya adalah kehidupan kebudayaan di negeri ini kesemuanya berkaitan erat dengan kehidupan religiusitas masyarakatnya.

Arti kata kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang bersumber dan bertumbuh berbarengan dengan agama, dan Indonesia adalah negara beragama bukan komunis atau pun tergantung pada ideologi tertentu, negara yang kesemua penduduknya harus dan wajib mempunyai dan menganut agama. Agama dominan yang dianut masyarakatnya adalah Islam, makanya kebudayaan negeri-negeri yang mayoritas umat islam kebudayaannya adalah kebudayaan yang bersumber dan tumbuh berbarengan dengan Islam itu sendiri.

Lihat saja aceh, Minang, Melayu, jawa Barat, dan lain sebagainya, mereka semua tumbuh dengan agamanya itu dengan identitas nya masing-masing yang khas. Lihat pula Bali yang mayoritas Hindu, kebudayaan di situ pun tumbuh berbarengan.

Jadi, selama penduduk Indonesia masih beragama maka selama itu pula mereka akan masih terus berbudaya dan membangun budayanya. Sungguh Indonesia berbeda dengan bangsa lain di dunia.

Kebudayaan Cowboy di Amerika suatu saat bisa saja punah dan digantikan oleh kebudayaan lainnya. Kebudayaan sosialis di Sovyet kini telah musnah seiring hancurnya negera komunius itu semasa pemerintahan Gorbachev dulu. Sama halnya dengan kebudayaan Nazi. Telah lama mati bersama matinya Hitler.

Tapi kebudayaaan kesenian Wayang Purwa di Jawa, sampai kini masih tetap lestari meski Sunan Kalijaga selaku perestorasi kebudayaan itu telah berabad-abad lamanya wafat. Kebudayaan Keris sampai kini masih berjaya meski Mpu Gandring sudah lama mati dibunuh Ken Arok. Kesenian dan kebudayaan gurindam Melayu masih terus abadi sampai kini, meski H Ali seudah lama mangkat. Borobudur masih berdiri kokoh hingga kini. Bali masih eksotis sampai kini meski sempat berkali dihantam bom teroris.

Itulah kebudayaan Indonesia. Yang mungkin saja beberapa masa ke depan akan semakin berjaya, ketika cetak biru ekonomi kreatif yang telah disepakati kongres kebudayaan di bogor beberapa hari lalu, benar-benar berhasil direalisasikan. Maka diyakini, Indonesia pada masa itu akan tumbuh dan lahir sebagai salah satu poros perkebangan kebudayaan dunia.

Mengalahkan dan menggantikan posisi kedigdayaan Amerika dengan Hollywood-nya yang telah menjajah dunia semenjak seabad belakangan. Biar pun apa yang telah disepakati kini sudah terbilang teraamat terlambat, namun tidak lah salah untuk bergegas memulai sedari kini.

Karena membangun negeri manapun, membangun apapun, bersumber dan berbasis pada budaya apalagi budaya yang bersinergi dengan nafas agama, adalah hal yang tidak ada salahnya samasekali untuk mengincar dan menggencar visi dan misi membangun jati diri bangsa. Itu kalau semua memang ingin berjuang menuju hidup yang sebenarnya. Riri Reza sudah memulainya dengan Lasykar Pelangi, lalu siapa lagi laskar-laskar lainnya, ayo berkarya, ayo berniaga, hingga semua kita sejahtera Semoga.***

0 komentar: