Senin, 01 Desember 2008

Membolak-Balik Lembar Buku Tamu PLDPS


Pejabat, Pengusaha dan Para Caleg Kalah oleh Pelajar, Bahkan oleh Siswa SLB

Sampai separo jalan Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) XI Jambi, ternyata masih belum mampu mengetuk hati membangkitkan kesadaran dan menstimulus hasrat para kaum cendikia di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini untuk sekedar mau meluangkan waktu dan menyempatkan diri mengunjungi arena pameran yang terbuka luas untuk semua kalangan itu.

YUPNICAL SAKETI, SUNGAI KAMBANG


Sampai kemarin, buku tamu panitia, selain lembar pertama yang berisi nama dan gelar para tokoh dari kalangan pmerintahan yang memang saat itu diundang hadir saat acara seremoni pembukaan, lembar-lembar lainnya didapati Posmetro Jambi hanya terisi oleh nama-nama pelajar dari berbagai sekolah di Kota Beradat Jambi ini.

Tak satu pun ada lagi nama kaum cendikia di situ, baik itu dari kalangan pejabat pemerintahan, pengusaha, maupun nama para Calon Legislator (Caleg) yang semestinya lebih rajin turun ke keramaian masyarakat guna mensosialisasikan diri. Padahal sesunggunya mengunjungi PLDPS adalah salah satu strateginya.

Apalagi kesempatan itu sesungguhnya lebih bisa memberikan peluang lebih bagi mereka untuk menarik simpati massa, karena pada saat yang bersamaan sangat sedikit para caleg lainnya yang menjadi pesaing mereka memanfaatkan momentum itu.

Tapi apa kenyataannya, sampai hari ketiga kemarin, kalau bisa diumpamakan Arena PLDPS sebagai sebuah ring pertandingan tinju maka skor telak telah berhasil ditorehkan oleh para pelajar. Mereka yang masih teramat hijau itu, masih polos pemikirannya, tak memiliki pengalaman berdiplomasi sedikitpun, apalagi pengalaman berkelahi politis, tapi pada kenyataanya mereka berhasil mempecundangi sosok lawan yang jauh lebih berpengalaman, cerdik pandai mahir muslihat, yang lebih layak mereka panggil ayah ibu, atau mungkin kakek nenek itu.

Sesungguhnya pula para pelajar, bahkan dari komunitas siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) sekalipun yang mungkin memiliki kelemahan dan kekurangan fisik dibandingkan tubuh tambun para cendikia, telah berhasil menghajar lawan tandingnya tanpa ampun. Tiga hari skornyo telak 3-0. Ya, para cendikia negeri, sepertinya masih asyik untuk cuek bebek, acuh, sok sibuk dan sok gengsi itu.

Sungguh masih sangat minim ya atensi dan apresiasi publik cendikia Jambi terhadap gelaran seni. Tu buktinya sama anak pelajar saja mereka kalah, keok. Padahal selama ini mereka sering beretorika ‘mari sinsingkan lengan baju, kita berjuang membangun Jambi, agar sehat jiwa raganya, agar sejahtera semua manusianya’. Ah, ternyata Cuma klise, lip servis, penglaris jualan saat kampanye semata. Toh mana buktinya. Tak ada secuil pun sejarah ada yang berani meneken kontrak politik dengan membeli lukisan dan membubuhkan tanda tangan di atas nota terkeren di atas nota pembayarannya.

Mungkin dikarenakan minimnya atensi dari kaum yang diharapkan mengerti makna sebuah lukisan ketimbang pelajar yang hanya bisa bertanya soal nama, alamat dan nomor HP pelukis yang karyanya dikaguminya itu. Maka berikutnya ruangan pameran itu pun sampai kemarin dirasakan koran ini masihlah terlalu hambar sunyi senyap, lengang sentosa.
Para panitia pun sepertinya mulai apatis, kini sudah tidak ada lagi yang menjadi petugas penjaga stand. Setiap pelukis pemilik karya kini jadi bertanggung jawab pada karyanya masing-masing. Mereka jadi harus menunggui karyanya. Itu guna mengantisipasi kalau ternyata nanti ada pelajar yang mau tahu tentang cara melukis, bahkan untung-untung ada pelajar itu berminat membeli meskipun bisa dipastikan mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk bisa menebus lukisan yang sangat dikaguminya itu.

Para tokoh seni Jambi yang dimintai tanggapannya soal kondisi tersebut, hanya bisa tersenyum masam yang dipaksakan. “Hanya belum terpanggil jiwanya untuk datang, mungkin PLDPS ini sama seperti kematian ya, kalau belum terpanggil maka yang bersangkutan tidak akan mati-mati juga, meski sudah tua renta dan telah pula dibenamkan ke dalam lumpur sampai bertahun sekalipun...he...he...he...” begitu celetuk miris seorang tokoh pemerhati seni Jambi 5AW yang selama ini telah mendedikasikan dirinya untuk kegairahan kehidupan perkesenianan di Jambi ini.

Yang lainnya hanya menimpali; “Biarlah begitu, mungkin memang akan lebih baik mereka tak datang, dari pada nantinya mereka hadir di sini, lalu terjadi perang gengsi-gengsian. Sampai semuanya berlomba-lomba ingin menunjukkan dirinya paling kaya dan paling mengerti serta berminat mengoleksi lukisan, dan lalu membeli bahkan memborong semua yang dipamerkan saat itu juga,”
“Lalu yang lain yang tidak kebagian tak ada yang masih bisa dibeli lagi, lantas jadi hilang akal dan balik membeli pula semua seniman dan panitianya. Yang lainnya lagi lalu membalas membeli dan memborong semua yang tersisa termasuk gedung taman budaya (TBJ)-nya beserta semua perangkat dan pegawainya, termasuk toilet dan ‘tai’ kucing yang suka buang kotoran di sudut-sudut pekarangan di komplek gedung itu,”
“Nah lho, kalau sudah begitu kan urusannya jadi runyam, lebih runyam dari sekedar urusan politik dan urusan menandantangani rekomendasi Perda ini itu, iya toh. Kan jadinya yang sibuk dan bingung kita juga para seniman yang kehilangan pekerjaan...he...he...he...” semua yang hadir di situ pun terkekeh mendengarnya.
Oke, kalau memang sudah begitu kondisinya, apalagi yang bisa dilakukan. Mungkin menyapa mereka dengan ‘palu godam’ seperti tulisan ini adalah hal ampuh yang masih tersisa. Kalau ternyata dengan begini pun tidak juga ada efeknya, berikutnya pantaslah kita curiga mungkin mereka semua memang sudah tidak memiliki hati lagi.
Kalau sudah begitu kan wajar saja kalau negeri ini selama ini melulu saja dirundung masalah dan dilema tak berkesudahan. Para pelukis, hayo maklumi sajalah itu. Dan stop-lah bermimpi ‘pada suatu saat nanti akan ada para cendikia yang akan membeli karya kalian’.

Itu takkan pernah terjadi, kalau pun terjadi mungkin yang bersangkutan tengah iseng dan tak sengaja naksir dan ingin punya lukisan untuk dipajangkan di ruang tamunya agar setiap yang datang bisa melihat kalau dia sesungguhnya adalah ‘kawan lama’ dari almarhum Affandi. Yang jelas dia beli itu bukan karena dia ada hati lho, apalagi itu kalau dituduh dia telah ‘berpindah ke lain hati’. he...he...he... Semoga cerita kita ini tidak sampai jadi kenyataan, semoga.***

0 komentar: