Minggu, 21 Desember 2008

Direkomendasikan Departemen Kebudayaan Tersendiri dan Mandiri

Tidak Dicampur Aduk Lagi dengan Urusan Pembangunan Lainnya, Turunan-nya Didaerah Juga Harus Menyesuaikan

KOTAJAMBI-Salah satu rekomendasikan penting dari para budayawan se Indonesia yang berkongres di Kota Bogor semenjak 9 sampai 12 Desember lalu adalah dipresurnya pemerintah untuk bisa segera membentuk departemen kebudayaan tersendiri yang mandiri.
Maksudnya tidak lain tidak bukan adalah keinginan budayawan Indonesia untuk dapat mengelola dan dikelola dirinya sendiri semua urusannya. Dasar pijaknya adalah pengalaman dan sejarah peradaban bangsa yang selama ini berjalan tidak normal dipengaruhi oleh sikap apriori pemerintah terhadap eksistensi kebudayaan itu sendiri dalam membangun jati diri bangsa.

Boleh dibilang pemerintah selama ini selalu bermuka dua dalam menyikapi perihal kebudayaan. Pada satu sisi mereka begitu menagungkan keberadaan unsur kebudayaan sebagai salah satu objek pembangunan bangsa dan negara sebagaimana di manaifestasikan dalam salah satu bait lagu kebangsaa Indonesia Raya yang berbunyi ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badangnya’.
Namun pada kenyataannya hasrat untuk membangun sisi jiwa yang merupakan aplikasi dari pembangunan kebudayaan itu sendiri selalu tidak pernah diberi peluang dsan kesempatan untuk bekerja sesuai dengan karekter dan mekanisme sewajarnya ia sebagai suatu wujud lain dari pembangunan dari sisi jiwa manusia.

Buktinya urusan kebudayaan selalu saja digabung-gabungkan dengan urusan lainnya. Seperti semasa Orde Baru pada susunan Kabinet Repelita Kebudayaan bergabung atau digabungkan dengan urusan pendidikan denhgan nama departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) . Lalu semasa pemerintah transisi presiden BJ Habibie tetap juga seperti itu.
Pada masa Orde Reformasi yang dimulai semasa pemerintahan presiden Abduurrahman Wahid atau Gus Dur tergabung dalam Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud). Selanjutnya semasa Megawati menjadi Pariwisata dan Kebudayaan (Parbud) dan terakhir semasa Presiden SBY dibalik menjadi Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar).

Pendeknya apapun yang dibuat pemerintah selama ini selalu saja tidak pernah menyentuh esensi dari arti penting salah satu tonggak pembangunan bangsa dan negara itu.
Lebih parahnya alagi ketika apa yang terjadi di turunannya di Pemerintahan-pemerintahan Daerah (Pemda). Kegagapan menterjemahkan Otonomi Daerah (Otoda) Kebudayaan berikutnya meleber ke sana sini, dipaksa bergabung ke dinas-dinas lainnya yang tak jarang sama sekali tidak mempunyai koneksi kerja dengan kebudayaan.

Ada yang digabungkan dengan pendidikan, ada yang dengan pariwisata, ada yang dengan perindustrian, perekonomian, dan lain sebagainya. Bahkan ada kota atau kabupaten yang tidak memiliki dinas kebudayaan (kota Jambi adalah salah satunya). “Sungguh Ironis,” begitu komentar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Ir Jero Wacik SE sendiri pada saat seremoni pembukaan kongres.

“Padalah urusan kebudayaan itu tidaklah bisa berjalan seiring apalagi bergandengan tangan dengan urusan lain yang sifatnya fisik dan materi. Mencampur adukkannya jelas telah tubrukan yang berakibat semakin rancunya pertumbuhan dan eksistensi kebudayaan negara ini saat ini, negara ini kehilangan jati dirinya,” ketus Teja salah seorang budayawan dan sastrawan dari Riau ke hadapan forum.

“Itu karena kebudayaan yang sebenarnya bekerja di wilayah pembangunan jiwa dan mental warga negara malah dipaksa jadi barang komoditi ekonomi. Dampaknya masyarakat kita pun tumbuh jadi masyarakat yang materialis, konsumtif, anarkis dan borjuis seperti sekarang ini,” tambahnya.

“Ini salah siapa. Ya jelas ini indikasi menterinya tidak becus ngurus kebudayaan. Toh jangan untuk mengurus, untuk menyelami arti dan makna dari kata kebudayaan itu sendiri dia tidak mengerti,” tandasnya semakin ketus yang langsung disambut tepuk tangan dan sorak peserta kongres.

Mengingat pentingnya arti keberadaan kebudayaan di era globalisasi inilah berikutnya peserta kongres pada rapat pleni terakhirnya dengan suara bulat merekomendasikan ke depannya agar pemerintah dapat membuat Deparrtemen Kebudayaan (Depbud) tersendiri dan mandiri.

Tidak lagi digabung-gabungkan dengan urusan lain yang sesungguhnya sangat berseberangan dengasn esensi dan substansi dari kebudayaan itu sendiri. Sebab kalau tidak maka ke depan bangsa ini akan kehilangan kebudayaan dan jati dirinya samasekali, tak punya lagi apapun yang bisa dibanggakan. Demikian putusan kongres yang dibacakan panitia.(c@l)

0 komentar: