Senin, 01 Desember 2008

Membaca ‘Manuver’ Mirwan Yusuf?


Mencontoh China yang Menciplak Barat, Kenapa?

Terus terang, features ini dirangkaikan (ditulis) berdasarkan dari data-data lepas yang berseliweran di pekarangan Taman Budaya Jambi (TBJ) pasca dialog perupa yang dilangsungkan di tempat tersebut dari pukul 10.00 WIB siang kemarin berlangsung.

YUPNICAL SAKETI, SUNGAI KAMBANG


Suara-suara gedumbel bernada kurang puas bahkan penolakan atas apa yang telah disampaikan para kurator yang menjadi pembicara dalam ruangan dialog, terus beriak di luaran. Seperti layaknya arena kongres apapun itu suara-suara di luaran arena memang senantiasa kerap lebih nyaring dari apa yang tengah diperbincangkan diperdebatkan, bahkan dipertaruhkan di dalam ruangan dialog itu sendiri.

Suara-suara walk out itu terus beriak, lalu bergolak, sampai jadi gelombang. Dahsyat, tak jarang mendobrak melibas layaknya tsunami segala yang sudah disimpulkan di dalam arena perbincangan sebelumnya. Itu yang biasa terjadi. Ketika rasa tidak puas atau pertentangan pemikiran memang senantiasa menjadi sebentuk hasil tidak tertulis dari sebuah perbincangan. Dianggap hanya uneg-uneg lepas yang tidak bisa mengubah apapun yang sudah diputuskan dalam ruang sidang.

Meski begitu, walau hanya pembicaraan-pembicaraan lepas di luar arena pertarungan, Posmetro Jambi memandang tetap saja segala yang berseliweran di halaman itu adalah sesuatu yang juga penting. Bahkan tidak jarang jauh lebih penting dan esensial dari apa yang dihasilkan dalam forum dialognya sendiri.

Karena itu, sebelum semua yang terserak itu berikutnya diterbangkan angin, Posmetro Jambi langsung menangkapnya, lalu dirangkai sampai jadi seperti feature ini.
Mirwan Yusuf, adalah sosok yang pada hari kemarin pantas disebut sebagai man of the matchnya PLDPS di hari itu. Pasalnya audiens bahkan publik luas terlihat begitu terbius untuk membicarakan segala sesuatu yang telah di dedahkan kurator satu ini ke hadapan peserta dalam dialog sebelumnya. Nada pro dan kontra mengalir begitu deras, sampai merembes ke kantin dan stan-stan bazar yang menggelar dagangan dalam pekarangan TBJ hari itu.

“Kalau kita sudah diingatkan untuk tidak melulu menolehkan kepala ke saudara kita di Jawa atau Bali Sana, lalu kenapa pula malah sekarang kita seperti diajak, dirayu untuk mau ngikut pada China, apa hebatnya, kalau sesungguhnya malah saudara kita jauh lebih hebat,” celetuk seorang perupa muda usia, sepertinya dia begitu emosional.
Memang, diakui maupun tidak, Mirwan Yusuf, salah seorang kurator yang dipercayakan panitia PLDPS XI, sepertinya jauh-jauh hari memang telah menyiapkan misi dan diri menggelontorkan pemikirannya atas China yang dinilainya telah berhasil membangun khazanah senirupa kotemporer-nya.

Ya, seperti yang telah diutarakannya tentang hal itu saat sesampainya diTBJ sehari pra pembukaan, Mirwan memang sepertinya sudah begitu terpesona oleh China. Negeri trirai Bambu itu menurutnya telah berhasil mengupas barat (Eropa) dan lalu menggantikan bagian-bagian anatomi fisik inangnya itu dengan identitas-identitas kebudayaan mereka sendiri.

Sehingga pada perkembangan berikutnya kebudayaan kotemporer negeri itu bangkit dengan wajah baru, tanpa diketahui satu pun aslinya oleh Barat. Bisa dibilang barat telah dijiplak dan lalu dikelabui mentah-mentah, tapi justeru mereka malah turut merasa bangga dan memuji sang plagiator. Mereka hanya senyum-senyum sumringah ketika mendapati di China ada lukisan monalisa dalam wajah China dan gaya China. Luar biasa
Hal inilah yang menurut Mirwan sebagai bentuk keberhasilan, yang berikutnya layak pula ditiru oleh Sumatera. Hal ini rupanya tidak serta merta mendapat persetujuan publik perkesenianan Sumatera yang terwakili oleh peserta PLDPS yang berkumpul di Jambi tahun ini.

Buktinya, nada kritis dan penolakan menggelontor begitu dahsyat. Bahkan ada yang sampai menilai sang Mirwan hanya tengah bermanuver dan melemparkan bola panas. Bola panas yang jika dibiarkan terus menyala malah akan jadi bongkahan meteor.
Maka sebagian mereka pun menolak mntah-mentah jika disarankan untuk harus meniru ‘negeri panda’ itu. Alasan ketidak setujuan itu pun beragam. Namun yang paling dominan adalah perihal tata cara yang dilakukan itu samasekali dinilai masih menyalahi kaidah-kaidah kekaryaan dan berkesenian semestinya.

“Karena apapun alasannya, menciplak ya selamanya akan tetap disebut menciplak, tak peduli bagaimanapun bentuk dan cara yang dipakai, tak peduli bagaimanapun dia bisa diterima dan diapresiasi oleh publik luas dunia,” ketus seorang yang lainnya.
Lebih radikal malah ada yang menilai apa yang dilakukan china tersebut belumlah apa-apa. Karena tindakan menchop atau memotong-motong karya orang lain yang sudah maestro itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Di tanah air ini sudah lebih dulu ada. Raden Saleh, dulu telah melakukannya, Basuki Abdullah juga.

Lalu di zaman sekarang pun ada. Hanya saja hal itu teraplikasi ke dalam media dan bentuk yang berbeda. Adalah mereka para builder dan modifikator atau seniman otomatif yang terus melakukannya sampai mencetak prestasi dan prestise internasional.
Lihat saja konsep-konsep modifikasi otomotif seperti sepeda motor yang terus menerus diusung dan diangkat para builder dan modifikator ‘negeri Khatulistiwa’ ini. Tak jarang hasil jarahan mereka malah diakui berkualitas dan orisinil oleh pabrikan motor ternama Amerika dan Eropa seperti Harley Davidson.
Padahal mereka hanya mencontek konsep choper, lalu mengawinkannya dengan gaya ekstrim dari keliaran kreativitas mereka sendiri. makal lahirlah moge bergaya sport, bergaya moped, bergaya adventurer dan lain sebagainya yang memang ternyata sesuai dengan tipografi alam di negera kepulauan tropis ini.

Hanya saja, berbeda dari Indonesia, China malah mengaplikasi kreativitas ciplak menciplak itu ke dalam aktivitas senirupa kanvas, bukan otomotif. Jadi, bukankah itu sama saja. Lalu kenapa harus meniru China, kenapa mesti jauh-jauh kalau memang harus belajar menciplak, mending berguru saja kepada para modivikator motor di negeri sendiri. Kan bisa lebih simpel, sederhana dan lebih murah, toh tinggal change atau ganti media, dari mesin otomotif ke kanvas.

Lagi pula, kalau memang semua di dunia ini ingin mengejar yang namanya kotemporer, maka sesungguhnta itu sama artinya Sumatera kembali melupakan essensi dirinya sendiri yang saat ini, dengan Sumatera Imaginable ini sudah mulai terketemukan.
Sibuk mendefinisikan makna ‘kotemporer’, pelukis Sumatera malah sebenarnya diajak untuk latah, dan akhirnya kembali lupa, kalau sesungguhnya ada yang lebih penting pada diri mereka saat ini. Menyadari potensi diri sendiri, dan mungkin juga akan jauh lebih penting menjawab pertanyaan pendek Jafar Rasuh, “Adakah roh Sumatera dalam ‘Sumatera Imaginable’?”
Mungkin saja benar, Mirwan samasekali tidak bermaksud memprovokasi Sumatera untuk mau mencontoh atau meniru China dalam konteks kekaryaan, mungkin saja yang dimaksudkannya adalah meniru essensi spirit dan semangat meeka dalam berproses, mengejar sampai menciptakan perubahan dan kemajuan basgi dirinya itu di mata dunia, mungkin itu yang ingin disampaikan Mirwan. Tapi, memang beginilah adanya yang namanya dialog, selalu saja sarat dengan perdebatan pro dan kontra. Tapi karena itulah justeru sebuah tradisi dialog bisa semakin dinamis dan hidup. Jadi, apapuyn itu maksud Mirwan, tanpa disadari dia telah menyalakan api dialog yang penuh dinamika di PLDPS ini.

Demikiankah adanya gejolak yang terjadi di arena dialog PLDPS kemarin. Kalau begitu, terlepas dari apapun kebenarannya, Mirwan Yusuf hanya tengah bermanuver atau benar-benar tulus demi kemajuan dunia senirupa sumatera, mengutif apa yang dikritisi pelukis muda Jambi Boslam Tobing alias Ucok Tato di akhir sesi dialog kemarin.
Cukuplah sudah menggeliat, hayo bangun, saatnya bangun dan membuat meledakkan bom karya yang bermutu seperti yang berhasil ditorehkan Affandi. “Kita berkumpul dan berdebat di sini pakai duit rakyat oi, jadi stoplah mendebatkan segala hal yang tidak ada kaitannya dengan acara ini sendiri, terlalu susah untuk dicerna, capek kita,” ketusnya mengingatkan.***

0 komentar: