Minggu, 21 Desember 2008

Antrian Tak Separah Sewaktu Naik, Tapi Tetap Mengusik

Ketika BBM Turun, dan yang Lain Belum Ikut Turun

Sesuai keputusan pemerintah Senin (01/12) kemarin, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium atau bensin bersubsidi, turun Rp 500 dari Rp 6000 menjadi Rp 5500. merespon kondisi ini kalau di kota-kota lain berbagai ekspresi langsung diluapkan masyarakat, di Jambi rupanya masih relatif biasa-biasa saja.

YUPNICAl, DWI & SUZAN, KOTA JAMBI

Buktinya, dari pantauan Posmetro Jambi seharian kemarin, memang sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap antrian di Stasiun pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Meski antrian yang terjadi tidaklah sampai seheboh dan separah sewaktu kenaikan ‘si emas cair’ itu beberapa bulan lalu.

Sikap publik malah bisa dibilang biasa saja, tak ada yang terlalu istimewa. Meskipun banyak yang mengaku senang karena adanya penurunan harga BBM ketika di tengah kenaikan harga-harga barang yang lainnya, namun kalau dibandingkan dengan tingkat kesulitan hidup yang dialami warga saat ini, penurunan yang hanya Rp 500 perak itu tidaklah berarti apa-apa. bahkan masih tidak sepadan dengan harga sebatang rokok. Masih sangat jauh dari yang semestinya seperti diharapkan warga.

“Alhamdulillah, BBM turun jugo, meskipun dikit tapi jadilah dari pado idak samosekali. Setidaknya ini biso mengurangi pengeluaran kito dikit,” ungkap Anggo salah seorang warga yang kesahariannya bekerja sebagai PKL.

Hal senada juga diungkapkan warga lainnya. Umumnya mereka mengaku menyambut gembira turunnya harga BBM bensin ini. akan tetapi kegembiraan itu belum bisa terekspresikan karena ternyata penurunannya itu samasekali tidak atau belum diikuti oleh harga-harga barang lainnya yang telah terlanjur dulu ikut-ikutan naik seiring naiknya harga BBM. Kini saat BBM turun mereka ternyata masih ogah turun bersama ‘sang inang’.
“Bensin turun, tapi minyak yang lainnya tak ikut turun, minyak tanah tetap mahal. Gas jugo mahal, minyak sayur jugo, Sembako lainnyo jugo masih mahal, bahkan ongkos ojek dan oplet jugo masih segitu la, cuman sawit hargo saawit yang masih melorot,” celetuk antrian yang lainnya.

“Mestinyo kan yang dulu ikut naik sekarang ni jugo ikut turunla, jangan masih enak-enakan di atas,” timpal yang lainnya.
Kembali ke soal antrian. Antrian yang cukup panjang memang sempat terjadi di hampir semua SPBU yang ada di Kota Beradat Jambi. pantauan di SPBU di Kebun Jeruk misalnya, salah satu SPBU Utama di kota Jambi, antrian di situ telihat memanjang sampai ke sisi jalan.

SPBU itu dipadati oleh antrian kendaraan yang ingin mengisi atau membeli premium bersubsidi yang sudah resmi turun itu. Antrian pada hari itu tidak seperti biasanya karena antrian sampai ke pinggir jalan.

Kepada koran ini kemarin, Ani Waty, pengawas SPBU Kebun Jeruk mengatakan bahwa SPBU Kebun jeruk masih menggunakan stok lama dan juga menggunakan stok premium dengan harga sekarang.

Melihat meningkatnya jumlah pembeli kemarin agar kebutuhan pembeli akan premium terpenuhi Ani menghubungi pertamina agar mengirimkan premium lagi. “melihat jumlah pembeli meningkat, saya tadi sudah menghubungi pertamina untuk dikirimkan premium lagi” katanya.

“Semoga dengan turunnya harga premium saat ini, jumlah pembeli semakin meningkat,” pungkasnya.

Kondisi serupa juga terlihat di SPBU Lainnya. Umumnya alasan warga mengantri tersebut adalah karena kekuatiran kemungkinan terjadinya lagi kelangkaan seperti waktu kenaikan harga dulu. Tapi, sampai kemarin sore, justeru tidak terlihat ada SPBU yang bermasalah dengan stok persediaannya. Kondisi stabil ini tentu saja memberikan kepercayaan dan keyakinan bagi publik kalau tidak akan terjadi kelangkaan, meskipun dengan harga yang lebih murah dipastikan konsumen juga akan naik. Demikian.***

Takkan Pernah Bisa, Selama Masih Tak Akui Keberadaan dan Kekuatan Budayanya

Siapkah Jambi Ber-Ekonomi Kreatif?

‘Ekonomi Kreatif’ telah ditetapkan presiden sebagai cetak biru pembangunan bangsa Indonesia ke depan. Sebuah konsep pembangunan yang bersumber dan berporos serta harus sernantiasa terkait dengan kebudayaan bangsa. Ada 14 item yang termasuk ke dalam aspek-apeknya. Lalu bagaimana dengan Jambi, sudah siapkah menyongsong dan mengaplikasikan apa yang telah dicanangkan pemerintah untuk jangka waktu sampai 2030 mendatang itu ke dalam konsep pembangunannya. Ataukah pada tahun itu Jambi tetaplah sebuah negeri yang stagnan seperti sekarang ini.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Kemarin Posmetro Jambi memperbinmcangkan kemungkinan kesiapan Jambi ini dengan seorang budayawan Jambi Jafar rasuh dan Drs Rahman salah seorang kasubdin bidang objek pariwisata di dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi di kantor Budpar.
Kebetulan, ikut pula nimbrung dalam perbincangan itu seorang eks mahasiswa Jambi yang kuliah di Kota Budaya Jogjakarta yang dulunya juga seorang petualang pendaki gunung dan bikers yang doyan turing hingganya dia begitu sarat dengan pengalaman dan wawasan kebudayaan, maka perbincangan pun jadi semakin hangat.

“Apa Pak yang bisa diandalkan Jambi untuk bisa berarti dan berguna hingga mampu berbicara banyak di pentas dunia, saya semenjak kepulangan saya beberapa tahun lalu sama sekali Jambi hampa kebudayaan. Saya nogmong begini karena selama mahasiswa dulu saya sudah melancong menjelajahi hampir segenap negeri yang ada di Pulau Jawa dan Bali, disitu segala sesuatu yang disebutnya kebudayaan masyarakatnya, kesemuanaya dapat dipastikan pastilah akan laku dijual,” pancing sang mantan mahasiswa itu pada Jafar Rasuh.

Yang ditanya jelas kaget, tak menyangka dapat tohokan seperti itu dan selanjutnya, seperti biasanya dia, mulut bapak satu ini pun membeberkan sedereat fakta untuk meng-konter anggapan sang penanya yang seolah menantangnya itu.
“Siapa bilang Jambi tak punya budaya apa-apa yang bisa dijual dan jadi ‘mata uang’ baru seperti yang jadi visi ekonomi kreatif pembangunan gelombang keempat yang dicanangkan presiden itu. Jambi punya semuanya bahkan lebih dari yang dipunyai oleh Jawa dan Bali. Persoalannya selama ini aset dan potensi kebudayaan baik yang tengible (benda) maupun yang ingtengibel (non benda) yang dipunyai Jambi itu, tidak pernah terkelola dengan baik. Itu persoalannya lho,” potong Jafar.

Seperti senapan mesin mulut sang tokoh lalu merentetkan peluru alibinya. Memamparkan segenap khazanah yang selama ini memang telah tersia-siakan itu. “Soal potensi untuk wisata alam, kita punya aset yang tak kan pernah habis-habisnya, kita punya kerinci yang elok jelita alamnya, kita punya empat taman nasional, kita punya gunung tertinggi, kita punya danau tertinggi, kita punya sungai tertinggi, kita punya hutan terlebat, kita punya Harimau Sumatera yang merupakan fauna maskot kita punya pulau Berhala yang indah,”

“Di potensi wisata budaya, kita punya kebudayaan purba dan melayu tua yakni Kerinci, kita punya suku primitif yakni kubu yang eksotis, kita punya komplek percandian Budhis terluas di Asia Tenggara, kita punya banyak prasasti dan peninggalan sejarah lainnya, kita punya perkampungan tua, kita punya berbagai cerita mitos, dongeng dan legenda, kita punya ratusan jenis tari tradisi, kita punya ratusan bahkan mungkin ribuan khazanah seni rupa, kita punya sejarah yang luar biasa, kita punya kebudayaan pluralisme yang luar biasa, dan lain sebagainya,”

“Begitu juga potensi wisata minbat khusus, kita punya banyak gunung tinggi dan pnya daya tarik tantangan tersendiri untuk didaki, kita punya sungai Merangin wahana arung jeram termenantang di Sumatera, kita punya Berbak yang jadi wahana transit burung-burung imigran, kita rawa-rawa yang menantang untuk ditaklukkan adrenalin, kita punya perkebunan karet dan sawit yang luas untuk wahana berburu dan rally otomotif adventurer, kita punya danau kerinci yang bisa jadi wahana wisata air, kita punya kebun teh kayu aro yang bisa saja jadi seperti Puncak di Bogor. Pendeknya, kita punya segalanya yang dipunyai daerah lain,” rincinya begitu akurat.

Namun, lanjutnya, selama ini semua potensi itu nyaris tidak pernah bisa kita angkat ke permukaan dan dijadikan sumber ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. “Penyebabnya, bukan hanya karena satu faktor, tapi karena kesemua faktor menyeluruh yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Kita Jambi sampai kini belum mampu sampai menemukan formulasi ampuh guna membangkitkan energi dan sinergi sehingganya mampu memobilisasi kemajuan perekonomian masyarakatnya. Kesemua kita selama ini masih bekerja sendiri-sendiri. itulah kelemahan kita,” imbuhnya lagi.

Ya, diakui ataupun tidak, selama ini setiap komponen penggerak kebudayaan itu memang benar selalu bergerak sendiri-sendiri, seolah tanpa koordinasi sedikitpun. Setiap Pemerintah Daerah, baik provinsi, kabupaten kota, lalu pihak swasta, pihak seniman dan pelaku budaya itu sendiri, masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri, pihak pengelola event dan asosiasi pengusaha, semua berjalan sendiri, juga kebudayaannya itu sendiri, juga bergerak sendirian, berusaha bertahan dari serbuan derasnya invansi, inkulturasi, maupun akulturasi kebudayaan dari luar.

Samasekali belum pernah terlihat ada koordinasi apalagi sinergi yang memungkinkan berikutnya jadi arena kompetisi yang sehat. Semua pihak seolah masih memandang sebelah mata pada kesenian dan kebudayaan itu. Pasalnya kalau mau dihitung dengan mata uang, maka keduanya tidak akan pernah memberikan apa-apa. Itu kata kita.

Pasalnya di daerah lain, kebudayaan malah sudah menjadi sumber perekonomian baru yang tidak pernah berhenti mengalirkan uang kepada pelaku dan pemiliknya. Dalam skala internasional lihat keberhasilan Amerika dengan Hollywood-nya, lihat India dengan musik dan tari-nyalihat Mesir dengan kebudayaan megalitiknya, yunani dengan kebudayaan purbanya, lihat Mandarin, China dengan kungfunya, Jepang dengan teknologi dan strategi kebudayaannya, Korea dan Thailand dengan beladirinya, dan Malaysia dengan Melayunya. Dalam skala nasional lihatlah Bali, dan Jogja. Semua mereka di sana hidup dari kebudayaannya.

Lalu Jambi, kenapa tidak hidup dari apa yang menjadi kekayaan khazanah kebudayaannya, kenapa masyarakat Kerinci masih merasa harus berlomba-lomba mencari ringgit ke Malaysia, kenapa kota Jambi masih begitu tergantung pada pendapatan dari orang-orang yang transit dan singgah di sini, kenapa Tungkal dan Sabak masihlah kota yang teramat tradisional padahal dia adalah pintu gerbang laut bagi Jambi, kenapa sampai Berhala sampai jadi sengketa tak berkesudahan seperti sekarang ini.

Kenapa Batanghari, Muarojambi, Bungo-Tebo belum juga mampu hidup dari kebun sawit dan karetnya yang ratusan hektar itu. lalu kenapa mesti Butet Manurung yang sampai mau masuk hutan bukit 12 dan 30, Kenapa bukan para guru lulusan Unja atau perguruan tinggi lainnya di Jambi. kenapa Lasykar pelangi harus bersumber dari Bangka-Belitung, padahal Jambi juga punya banyak kisah serupa, dan sastrawan yang juga tak kalah hebatnya, Kenapa sungai batanghari harus jadi keruh dan penuh tinja manusia. Kenapa begini kenapa begitu.

Ke depan, ketika konsep ekonomi kreatif yang mengharuskan semua aspek pembangunan bersumber dan berkaitan dengan potensi atau khazanah kebudayaan, Jambi tentu tidak boleh lagi begini. Segala bentuk pembangunan yang dipacu haruslah senantiasa dipicu dan mengacu pada potensi kebudayaan. Semaua harus terapresiasi dan teraplikasikan dari kebudayaan Jambi.

Semua Bangunan infra struktur harus berdisain motif-motif yang ada di senirupa Jambi, seperti halnya Twin Tower atau menara kembar di Kuala Lumpur yang terinspirasi dari motif ‘pucuk rebung’ dalam batik dan songket melayu.

Rimba Jambi baik TNKS maupun Bukit 12 dan 30 harus bisa jadi setting filem dan sinetron produksi anak negeri, karya-karya sastra Jambi harus jadi sumber referensi dan inspirasi pembangunan pendidikan mental generasi Jambi. karya-karya seni pertunjukan haruslah hasil pengolahan dan pengembangan potensi budaya daerah hingga bisa menjadi sumber atau mata pencarian para pelakunya.

Sungai Batanghari, haruslah jadi sumber pemasukan, kehidupan masyarakat apapun juga. Baik yang petani, aktivitas atau perayaan keagamaan, haruslah bisa menjadi objek wisata bagi turis luar negeri. Danau sipin harus jadi tempat rekreasi, Sungai Merangin harus terus jadi tempat arung jeram, disain-disain fesyen yang diangkat dari batik Jambi haruslah laku dijual. Cawat kubu harus bisa jadi sovenir yang unik milik Jambi. Begitu juga kulit manis, bunga karet, biji saawit harus bisa pula dikreasikan jadi sovenir Jambi.

Kebun sawit dan karet, kebun durian haruslah bisa punya multi fungsi, tidak semata pekerjaan petani, tapi juga bisa jadi arena rally otomotif, berburu babi, lintas alam dan lain sebagainya. Festival danau Kerinci dan Festival Candi Muarojambi haruslah bernilai ekonomi, tidak melulu sebatas seremoni.

Jambi harus terus cetak rekor Muri, tapi bukan rekor yang direkayasa sendiri. Generasi Jambi harus terus unjuk gigi, makanya mereka harus kembali menggali tradisi, tidak melulu kaku dan terpaku pada budaya luar yang tidak berperi. Mereka harus bisa kreasikan dideang, bakunun, batale jadi hiphop, krinok jadi musik rock. Harus.

Kini, semua itu tentu tak akan pernah terjadi, kalau Jambi masih saja seperti sekarang ini, pemerintah berbuat tapi seakan tak pernah terdengar berbunyi, pengusaha pariwisata ada asiasinya tapi tak punya gigi. Sastrawan terus buat puisi buat novel tapi tak pernah bisa mendapat peluang dan kesempatan laku terjual. Lukis hidupnya miris.

Semua mulai kini harus saling berkoordinasi, saling sinergi. Biar segenap potensi Jambi tidak hanya jadi sebata potensi, tapi tak ada guna tak ada arti. Ingat Jambi, ekonomi kreatif ini adalah cetak biru dan presiden yang menetapkannya. Makanya, kalau ternyata di tahun-tahun berikutnya masih juga tak berubah, maka bersiap-siaplah dimarahi sang presiden. Ingat ya.***

Kebudayaan, Mulai Kini Harus Jadi Poros Roda Pembangunan

Tentang Indonesia dan Cetak Biru Ekonomi Kreatif Gelombang Keempat

Seperti telah disampaikan Drs Jafar Rasuh, Pemimpin Rombongan duta budaya Jambi pada helatan Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 di Kota Bogor dalam artikelnya yang dimuat Posmetro Jambi kemarin, tentang arah kebijakan pembangunan bangsa Indonesia ke depan adalah pengembangan ekonomi kreatif yang merupakan wujud dari gerakan memberdaya gunakan potensi aset budaya negeri hingga bernilai ekonomi bagi kesejahteraan segenap masyarakatnya.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Seperti baru tersadar dari lupa ingatan atau tersentak bangun dari tidur panjang, kini pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepertinya langsung bergegas mengejar ketertinggalan kereta.

Diakui ataupun tidak memang benarlah adanya negeri ini selama ini memang telah melupakan budaya dan kebudayaan, karena keasyikannya mengejar mimpi bisa jadi ‘selebriti’ di pentas dunia. Sibuk membangun raga dan luput samasekali menoleh barang sekejap pada budaya, hanya karena dia dinilai tidak mampu memberikan kesejateraan kepada masyarakatnya.

Untung saja ada presiden negeri ini yang tersadar akan keteledoran bangsanya itu. dan itu pun ketika menteri yang dipercayanya menanagi bidang kebudayaan dan pariwisata adalah orang dari bidang perekonomian yang memiliki sedikit sense of art.
Sayangnya, meski terbilang sudah teramat terlambat, karena di depan mata, gerbang globalisasi sudah terbuka lebar, ketika negara-negara lain sudah bersiap diri dengan jati diri yang bersumber dari ketahanan budaya lokalnya sendiri seperti Jepang, China, India dan Malaysia, Indonesia baru saja terjaga dan mengucek-ngeucek mata.

Indonesia baru tersulut ketika mendapati banyak aset budayanya yang sudah dicuri negeri tetangga, bahkan negeri orang yang berada di seberang nun jauh di sana. Bahkan mungkin presiden baru menyadari keampuhan dari sebuah budaya ketika putranya yang memimpin ‘Pasukan Garuda’ penjaga perdamaian PBB di Lebanon sana ternyata telah mampu menggetarkan nyali, membuat minder dan keder sederet batalyon pasukan elit dunia lainnya di sana hanya dengan peragaan ‘debus’ oleh para anggota personil Pasukan Garuda Indonesia, samasekali bukan karena keunggulan teknologi militer maupun senjata.

Baru tersadar kalau sesungguhnya Indonesia belumlah pernah akan bisa apa-apa, tak pernah bisa bicara di pentas dunia apalagi sampai tampil perbawa di sana kalau hanya mengandalkan rupa fisik semata. Pasalnya, semaju-majunya pembangunan fisik negeri ini maka dia sesungguhnya tidaklah akan pernah mampu sama dengan satu negari bagian pun di Amerika sana.

Sehebat-hebat apapun prestasi olah raga di negeri ini, tidaklah akan mampu lebih dari sekedar jadi juara di kelas bulu. Apalagi mau mimpi bisa jadi runner up Olimpic Game, merebut kembali tangga juara di pentas SEA Game saja negeri ini tak pernah bisa lagi. Seharusnya semakin terbuka mata ini negara, ketika Prof Budi Supandji, seorang dari Departemen Pertahanan (Dephan) yang dihadirkan sebagai pembicara pada kongres kebudayaan di Bogor beberapa waktu lalu itu, secara blak-blakkan membeberkan hasil penelitian seorang profesor ahli DNA dunia yang menyimpulkan, ternyata DNA orang Indonesia sangat spesifik seni budaya dan kerja psikis atau kejiwaan lainnya. Samasekali bukan DNA untuk jadi olahragawan atau kerja fisik lainnya.

Lihat, selain Badminton, Indonesia rupanya hanya bisa dipandang karena olah raga beladiri Pencak Silat-nya yang notabene adalah memang benar warisan budaya nenek moyangnya sendiri. Apalagi mau berjaya di pentas perekonomian dunia, mau mampu capai taraf kesejateraan menyeluruh bagi segenap warga negaranya, gaji presidennya saja ratusan lipat jauhnya di bawah gaji seorang Cassano tokoh AIG yang dituding sebagai biang kerok terjadinya krisis perekonomian Amerika yang berikutnya berimbas pula pada perekonomian dunia.

Pernah bermimpi ingin jadi mercusuar teknologi dunia setidaknya yang terperkasa di Asia Tenggara, sampai berdiri IPTN, lahir produk mobil Taruna, dan lain sebagainya, padahal pada kenyataannya, untuk melakukan produk sepeda motornya saja seperti Kanzen, Motorindo, harus berjibaku habis-habisan dengan para produsen tamu yang sudah lama bercokol menjajah di sini.

Belakangan bermimpi pula hendak jadi penguasa persinetronan, tapi justeru yang terjadi malah Betty Lapea lebih berjiwa lebih bermakna. Dan sinetron negeri ini, ternyata hanya lah skenerio-skenerio picisan yang tak jarang Cuma bisa cabul dan nakut-nakuti orang dengan cerita-cerita horor-nya. Parah memang, negeri ini sepertinya selalu sial disemua langkah, di semua rencana semua wacana, kenapa.

Benar, jawabnya seperti yang diakui Menbudpar Jero wacik dan Menko Kesra Aburizal Bakri, itu semua karena negeri ini belum pernah mampu menemukan jati diri bangsa. Padahal nilai-nilai kebanggaan berkebangsaan itu selama ini berseliweran bebas, menggelandang di sekeliling. Sungguh ini sama dengan makna peribahasa semut ayam nyasar di lumbung padi, semut mati karena gula.

Benar sekali, kalau kini presiden SBY kembali mengoreksi dan mengakui kalau sesungguhnya bangsa ini telah salah langkah selama ini, menapikan dan menepikan sisi seni yang bisa jadi jati diri negeri. Teramat benar kalau kini diakhir masa pemerintahannya dia buru-buru membuat cetak biru pembangunan kebudayaan bangsa dalam visi penciptaan ruang dan peluang ekonomi kreatif, cetak biru yang akan jadi visi nasional jangka panjang sampai 2030 mendatang.

Teramat benar kalau kini dia menyebut pergerakan pembangunan bangsa mulai saat ini memasuki ‘gelombang keempat’ satu gelombang yang bertumpu pada poros kebudayaan sebagai kekuatan dan sumber inspirasi kemajuan bangsa.

Benar sekali ketika Menbudpar Indonesia dengan teramat yakin berkoar di hadapan satu forum para menteri kebudayaan senatero dunia di Perancis beberapa tahun lalu, Indonesia adalah satu bengsa di dunia yang tak kan punah kebudayaannya. Karena pertimbangannya adalah kehidupan kebudayaan di negeri ini kesemuanya berkaitan erat dengan kehidupan religiusitas masyarakatnya.

Arti kata kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang bersumber dan bertumbuh berbarengan dengan agama, dan Indonesia adalah negara beragama bukan komunis atau pun tergantung pada ideologi tertentu, negara yang kesemua penduduknya harus dan wajib mempunyai dan menganut agama. Agama dominan yang dianut masyarakatnya adalah Islam, makanya kebudayaan negeri-negeri yang mayoritas umat islam kebudayaannya adalah kebudayaan yang bersumber dan tumbuh berbarengan dengan Islam itu sendiri.

Lihat saja aceh, Minang, Melayu, jawa Barat, dan lain sebagainya, mereka semua tumbuh dengan agamanya itu dengan identitas nya masing-masing yang khas. Lihat pula Bali yang mayoritas Hindu, kebudayaan di situ pun tumbuh berbarengan.

Jadi, selama penduduk Indonesia masih beragama maka selama itu pula mereka akan masih terus berbudaya dan membangun budayanya. Sungguh Indonesia berbeda dengan bangsa lain di dunia.

Kebudayaan Cowboy di Amerika suatu saat bisa saja punah dan digantikan oleh kebudayaan lainnya. Kebudayaan sosialis di Sovyet kini telah musnah seiring hancurnya negera komunius itu semasa pemerintahan Gorbachev dulu. Sama halnya dengan kebudayaan Nazi. Telah lama mati bersama matinya Hitler.

Tapi kebudayaaan kesenian Wayang Purwa di Jawa, sampai kini masih tetap lestari meski Sunan Kalijaga selaku perestorasi kebudayaan itu telah berabad-abad lamanya wafat. Kebudayaan Keris sampai kini masih berjaya meski Mpu Gandring sudah lama mati dibunuh Ken Arok. Kesenian dan kebudayaan gurindam Melayu masih terus abadi sampai kini, meski H Ali seudah lama mangkat. Borobudur masih berdiri kokoh hingga kini. Bali masih eksotis sampai kini meski sempat berkali dihantam bom teroris.

Itulah kebudayaan Indonesia. Yang mungkin saja beberapa masa ke depan akan semakin berjaya, ketika cetak biru ekonomi kreatif yang telah disepakati kongres kebudayaan di bogor beberapa hari lalu, benar-benar berhasil direalisasikan. Maka diyakini, Indonesia pada masa itu akan tumbuh dan lahir sebagai salah satu poros perkebangan kebudayaan dunia.

Mengalahkan dan menggantikan posisi kedigdayaan Amerika dengan Hollywood-nya yang telah menjajah dunia semenjak seabad belakangan. Biar pun apa yang telah disepakati kini sudah terbilang teraamat terlambat, namun tidak lah salah untuk bergegas memulai sedari kini.

Karena membangun negeri manapun, membangun apapun, bersumber dan berbasis pada budaya apalagi budaya yang bersinergi dengan nafas agama, adalah hal yang tidak ada salahnya samasekali untuk mengincar dan menggencar visi dan misi membangun jati diri bangsa. Itu kalau semua memang ingin berjuang menuju hidup yang sebenarnya. Riri Reza sudah memulainya dengan Lasykar Pelangi, lalu siapa lagi laskar-laskar lainnya, ayo berkarya, ayo berniaga, hingga semua kita sejahtera Semoga.***

Mojang Modern yang Makin Anggun Dibalut Busana Kampung

Yang Bisa Dipetik dari Bogor Sebagai Oleh-oleh untuk Jambi (3)

Dua kuntum sudah bebunggaan telah kami rangkai dari Bogor dan persembahkan sebagai oleh-oleh untuk anda semua pembaca setia. Puas yang sudah tercicip ternyata malah semakin membuat dahaga jiwa-jiwa Jambi yang lapa, hingganya kemarin di sebuah kantor pemerintah Posmetro Jambi terang-terangan ditagih pembacanya yang minta diberi kembang gula berikutnya. Dia begitu yakin pasti kuntum ketiga yang akan diberikan akan jauh lebih ranum lagi. Baiklah, kini kami persembahkan kepada anda kuntum ter-ranum.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Kalau di dua edisi sebelumnya yang kami suguhkan masih seputar benda yang kaku, maka kali ini kami sajikan sesuatu yang bisa membuat hidup lebih hidup. Kami sajikan makluk hidup, bernyawa, punya hasrat dan kehendak.

Inilah tentang manusianya, yang menghuni sebuah kota kabupaten yang kelasnya setara dengan ibu kota provinsi seperti Jambi ini. Tentang manusia Bogor, tentang gadis-gadis yang mendiami rumah-rumah tua bersahaja di kota yang senantiasa basah itu.
Mungkin diilustrasikan dalam bahasa puitis begitu hayalan anda semua jadi langsung memabukkan rabu. Terbayang gadis di kota yang senantiasa basah, tubuh sintal pualam itu pun pastilah akan setiap saat terlihat basah.

Wajah bersih basah, rambut panjang lurus basah, bibir merekah basah leher jenjang yang basah, lalu pasti berbusana yang sepertinya selalu basah, wow siapa dia tidak mabuk minta mati, alamaaak.

Tapi rupayanya anda harus menahan selera dulu. Karena mereka yang akan kami ceritakan ini tidaklah seperti gadis yang ada dalam hayalan anda yang liar itu. pasalnya, ini Bogor bung, bukannya Jambi. di Bogor teramat berbeda dengan di Jambi. gadisnya memang cantik-cantik tapi mereka semua adalah sosok kaum hawa yang pintas dan cerdas mematut diri, menjaga kehormatan.

Ya, mungkin karena di Jambi anda tidak pernah kesulitan untuk bisa menikmati lawan jenis anda dengan segenap keindahan sensualitasnya yang kian hari kian terbuka saja, sampai-sampai berbusana lengkappun sudah terlihat seperti telanjang. Body dibungkus ketat, model terkini, regging, pencil, tayet.
Atau yang serba mini rok mini, celana short yang teramat short ketat dan sampai ke selangkanan, kaos tank top, you can see, singlet dan lain sebagainya. Bahkan sampai ke model yang serba terbuka, vulgar.

Paha putih mulus seperti susu terbuka sampai pangkal selangkangan bisa dijumpai dimana-mana. Wajah inosen polesan yang begitu merangsang ada di mana saja. Cewek nunggin dibonceng naik motor adalah hal biasa.

Rambut lurus di rebonding berparfum menyengat lalu dikibar-kibarkan laksana bendera perang ketika mereka naik motor tanpa helm, bibir sensual yang terlihat terus menantang, telah jadi barang pameran di pusat-pusat perbelanjaan, di pasar, di tempat hiburan dan rekreasi, di kantor-kantor.
Bahkan di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. pendeknya, kalau sekedar untuk mencuci mata menghibur diri yang galau pergi saja ke luar rumah sejenak. Pasti semua risau akan langsung bablas. Itu di Jambi, bukan di bogor. Samasekali bukan.

Di bogor, jangan harap anda bisa menemui ada cewek bercelana ketat baju transparan melenggang di pusat perbelanjaan. Apalagi mau dapat lihat paha gempal kuning langsat yang terbuka. Di sana, jangankan gadis berambut rebonding, wanita berpakaian sedikit trendy saja tidak ada.

Mana ada cewek ber-tank top di sana, mana ada cewek bercelana pendek di sana. Mana ada. Toh rok sekolah saja tidak ada yang di atas lutut. Umumnya mereka memakai rok panjang model rok payung. Mana ada kata ‘seksi’ jadi pujian yang berseliweran bebas di udara seperti di Jambi di sana, mana ada.

Di sana para ceweknya begitu berbudaya dan teramat manut budaya negerinya. mereka adalah para mojang yang begitu anggun, karena senantiasa menjaga kehormatannya, menyembunyikan auratnya, selalu mematut diri, dan terus menerus menghormati adab serta takut pada azab. Sungguh mereka para mojang yang teramat anggun dengan kewanitaannya yang agung.

Meski selalu tampil biasa, jauh dari trendi seperti cewek-cewek kota pada umumnya. Mereka tetap jadi wanita seutuhnya, tetap mampu tampil sempurna, anggun dan berwibawa. Meski hanya busana ketinggalan zaman yang dikenakannya, ketinggalan kampung sebut para pendatang, tetap saja keayuan mereka terpancar begitu nyata, tanpa sedikitpun terkesan menggoda.

Bahkan pakaian yang mereka kenakan itu lebih pantaslah mungkin disebut hanya busana cewek kampung, tapi sungguh mereka bukan cewek kampungan, apalagi gampangan. Busana kampung yang tradisif tak pernah membuat nilai kepribadian mereka yang tangguh dan anggun jadi luntur.

Mereka tetap cantik meski tanpa fasyen trendi. Jadi jangan coba tanya dalam bahasa Inggris pada mereka, meski daalam angkot dalam bahasa Perancis, Jepang, Arab pun mereka bisa beri Jawab. Jangan tanya soal logaritma, tentang realitas dunia maya pun mereka mampu meretasnya.

Jangan pernah mimpi mau bisa lihat para cewek kongkow-kongkow tanpa makna tanpa guna. Di kafe atau warung, mereka pasti kerja di situ atau memang tengah mampir untuk makan. Di pertokoan mereka pasti SPG, amat jarang ada yang shoping, makanya mall-mall di kota itu lebih seringlah dijumpai sepi pengunjung ketimbang mall-mall yang ada di Jambi. buktinya di gerai-gerai dalam mall di situ amat jarang terlihat ada busana model terbaru terpanjang.

Kalau kebetulan di taman, amat jarang terlihat ada yang berpasang-pasangan dengan lawan jenis, pacaran. Kalau pun ada itu pasti mereka sudah suami istri, meski terlihat masih seperti cewek ABG.

Di sekolah mereka belajar dan benar-benar belajar, tak pernah terlihat ada yang bolos, buktinya saat jam sekolah tak pernah kami jumpai atau pernah terlihat ada anak berseragam sekolah berkeliaran di jalanan atau pusat-pusat pertokoan.

Lagian, di kota itu teamat jarang terlihat ada anak cewek yang mengendarai motor, apalagi anak pada usia sekolah atau cewek berseragam sekolah. jadi jangan mimpi bisa bertemu cewek nungging di atas motor seperti di Jambi di sana. Atau kalau anda cewek yang kebetulan berkesempatan berwisata ke sana, ingat coba sekali-kali bawa gaya di Jambi ke sana, bisa habis anda jadi sasaran kritik.

Sama dengan nasib yang diterima Djenar maesa Ayu, seorang novelis yang ternyata juga hadir pada helatan Kongres Budaya Indonesia di kota Bogor itu kala itu. Langsung jadi sorotan dan tatapan mata sinis serta kritikan maha pedas dari forum, bukan semata karena novelnya yang memang kontroversial dengan gaya berceritanya yang vulgar dan cabul, tapi lebih dikarenakan penampilan di forum dengan blus yang bagian dadanya terbuka lebar hingga hampir memamerkan utuh sepasang buah dada sang ‘sastrawangi’ yang berwarna putih susu saat itu.

Mata siapa tak terbelalak, kenjantanan siapa tak menggeliat, suhu di Bogor cukup dingin saat itu. “Kepada panitia ya, tolong janganlah anda menghadirkan pembicara seperti wanita yang ada di hadapan kami saat ini, sangat tidak membuat tenang kami,” rutuk seorang penanya saat itu.

Yap, benar seperti dugaan anda, salah satu faktor begitu berhati-hatinya para mojang Bogor dalam memilih busana memang dikarenakan cuaca di kota itu kurang bersahabat bagi mereka untuk buka-bukaan seperti di kota Jambi yang berhawa panas. Tapi itu hanyalah faktor lain, samasekali tidak bisa dijadikan alibi. Faktor yang paling penting berperan adalah faktor pola dan cara pikir positif yang memang telah menciri tumbuh dengan sendirinya di setiap sanubari putri Bogor sedari dulu. Kesetiaan mereka untuk menjaga nilai-nilai budaya positif warisan leluhurnya di masa lalu adalah faktor utama.

Amat berbeda dengan di Jambi, sedari dulu sepertinya memang sudah tidak punya filterisasi yang bisa mematut dan menjaga penampilan mereka di hadapan publik agar tetap bertata krama dan tampil jumawa. Pemahaman masnyarakat generasi Jambi terhadap nilai-nilai budaya, moral dan agama sepertinya memang tidak pernah terbina.
Makanya kini pemerintah merasa perlu dan butuh bantuan Perda APP. Di Bogor tidak ada Perda serupa itu. karena masyarakatnya sudah punya Perda sendiri-sendiri di dalam dirinya tentang ‘daerah-daerah’ yang ada pada tubuhnya.

Jadi, Jangan pernah coba bayangkan macam-macam ya terhadap cewek-cewek Bogor. Bogor samasekali bukan Jambi, yang sampai kini masih terus tenar dengan ‘Pucuk’-nya di ingatan para tamunya. Sedang Bogor juga terus tenar, tapi dengan ‘Puncak’nya, tak serupa tak sama.

Demikian, telah kami sajikan oleh-oleh sederhana untuk anda semua. Meski meungkin masih ada cerita tersisa, namun cukuplah kiranya apa yang ada. Sebab, kalau kami beri lebih dari ini, maka tak satupun lagi yang bisa kita nikmati dan resapi ‘arti’nya.

Kalau masih penasaran dan merasa tergoda, silakan anda datang dan berkunjung saja sendiri, ke kota kabut di tengah hutan itu secara langsung. Pasti anda akan dapati sendiri kuntum-kuntum makna tumbuh subur di situ. Anda pasti aka mabuk sendiri. Sekian dan, semoga ada guna ada makna pula. Sampai jumpa lagi.***

Kota Tua di Era Mesin, Bikin Hidup Makin Cantik Makin Ciamik

Yang Bisa Dipetik dari Bogor Sebagai Oleh-oleh untuk Jambi (2)

Kalau kemarin kami sudah mendedahkan perihal ‘kebersihan dan kerapihan’ yang begitu ciamik dan terasa laksana buah yang sangat ranum ketika disantap, dari sebuah ‘kota di tengah hutan’, Bogor, seperti yang kami janjikan sebelumnya kali ini temuan lainnya yang tak kalah menarik kembali kami persembahkan untuk anda semua, segenap warga Jambi yang telah sepenuh hati memberikan kepercayaan kepada kami untuk pergi ke situ mewakili anda semua. Ini dia kuntum kedua;

YUPNICAL SAKETI, JAMBI


Kali ini kami semakin memasuki aorta darah dan celah-celah otot kota yang namanya sudah begitu tidak asing lagi itu. kami jelajahi kota itu dalam waktu yang teramat singkat dan sempit. tapi, meski sedikit tapi selangit yang kami dapat.
Sungguh mata kami kali ini tertunju ke deretan bangunan bangunan yang sepertinya tumbuh bersama pepohonan itu. berbagai macam bangunan terlihat begitu tertata dan membumi dengan kehidupan masyarakatnya.

Baik itu rumahy penduduk, perkantoran, pusat perbelanjaan, bangunan milik publik, maupun milik swasta atau persoal tertentu. Ya, di sini bangunan tersedia segala bentuk segala jenis, mulai dari istana kepresidenan sampai lapak-lapak pedagang Kaki Lima (PKL).

Tapi satu hal yang begitu luar biasa sehingganya sampai membius mata semua kami sampai terasa ogah berkedip, terkedip atau pun dikedipkan. Jiwa kami terpanah gendewa asmara dari masa lalu, ketika mendapati arsitektur bangunan yang tersaji di sekeliling kami.
Sungguh terasa sangat bermakna ketika mendapati bangunan-bangunan dalam disain dan arsitektur gaya lama, layaknya bangunan peninggalan para menner dari zaman kolonial dulu, masih terlihat berdiri kokoh dan perbawa, dengan fungsi dan kegunaannya yang kini tentu saja sudah berubah mengikuti perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakatnya yang kini juga pasti sudah teramat modern seiring kemajuan zaman.

Arsitektur unik peninggalam aman dulu itulah yang telah membawa kami seakan kembali ke masa lampau, menyelami makna kehidupan hakiki sedalam mungkin di dalamnya. Sungguh hal itu tentunya takkan dapat kamu temui dan lakukan di Jambi, karena di Jambi ini sudah hampir tidak tersisa lagi sesuatu yang bisa menjadi jembatan sejarah guna melintasi dunia paralel ke masa lalu.

Di Jambi nyaris punah semua benda bukti sejarah. Tak ada istana raja, tak ada bekas kantor residen, tak ada bekas markas opas (polisi kompeni), tak ada rumah tua, bahkan juga mungkin sudah tidak ada lagi situs sejarah yang tertimbun yang masih bisa kami gali sekedar membasuh hati.

Di Bogor lah kami justeru temukan pintu dan jendela sejarah terbuka begitu nyata, itu mesin waktu yang bisa membawa kami melaju, mengantar bebunga rindu ini ke kearifan nilai-nilai masa lalu seperti yang selalu ganggu tidur kami yang kelambu.

Coba lihat bangunan-bangunan itu, rumah-rumah itu, gedung-gedung itu, semuanya terlihat masih berdiri bersahaja dengan gaya lamanya. Mereka berjejer berbaris di sepanjang sisi jalanan. Dia sepertinya tak pernah rapuh dimakan usia dan cuaca. Padahal di kota hutan kota hujan ini, embun dan udara lembab pastilah rentan lapukkan apa saja.

Jangankan bangunan, belulang kita yang manusia saja mampu terus digigilkannya. Tapi rupanya cuaca tidak rusak bangunan-bangunan renta itu. mereka sepertinya tak goyah sedikitpun, tak koyak cat dindingnya secuilpun. Mereka masih saja terus setia berdiri sepanjang jalan, menyisi hidup yang silih berganti, seakan kota ini kesemuanya adalah ‘bangunan cagar budaya’.

Modernisasi rupanya hanyalah secuil warna kehidupan bagi masyarakat kota ini. mereka ogah tinggalkan kebanggaan masa lalu yang telah diwariskan para moyangnya. Termasuklah salah satunya gaya arsitektur yang unik ini. kehidupan dan pemikiran masyarakat Bogor memang jangan pernah coba-coba meragukan, mereka teramat cerdas dan modernis.

Tapi jangan anggap mereka kuno atau kolot ketika mendapati masih mendiami sebuah rumah tua yang sudah berumur ratusan tahun peninggalan kakek buyutnya. “Inilah adalah wujud kesetiaan dan rasa terimakasih kami kepada semua para orang tua terdahulu yang telah mewariskan harta pusaka ini. kita tentu wajib menjaganya agar tidak punah,” begitu alasan seorang tokoh masyarakat setempat menjawab kami.

Lihatlah gedung-gedung yang jadi pusat pertokoan dan perbelanjaan modern alias mall itu. di situ pun disain arsitekturnya masih disenyawakan dengan bangunan lainnya di kota ini yang sudah menjadi ciri. Juga lihat pula cafe-cafe atau warung-warung yang berjejer di sepanjang sisi jalan tertentu itu. sungguh tertata teramat Indonesia sekali.

Atapnya rumbia, tempat duduknya adalah lesehan. Dan sadarilah warung cafe itu ternyata dibangun di teras, balkon atau pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Maka wajar saja bangunan dibelakangnya amat berasa sekali sebagai bangunan tua peninggalan masa lalu.

Tapi sungguh teramat kreatif masyarakat sini memanfaatkan peluang. Mereka berdaya gunakan setiap ruang halaman atau pekarangan yang tersedia untuk jadi bernilai ekonomi, menghasilkan alias jadi sumber pendapatan. Mereka begitu lihai mebaca gelagat para tamu yang mendambakan suasana dan nuansa unik untuk melepaskan lelah.

Sungguh lain dengan di Jambi. rumah tua yang ada dan masih tersisa seakan terus dipaksa agar dipunahkan saja. Biar berikutnya di atas lahannya bisa berdiri bangunan lain yang diharapkan bisa bernilai ekonomi seperti ruko-ruko atau rumah-rumah walet. Berkali-kali sudah para tokoh dan budayawan seperti Junaidi T Noor, Fachrudin Saudagar, Yusdi Andra dan lainnya mengingatkan agar diberlakukan cagar budaya untuk menyalamatkan keberadaan bangunan-bangunan tua yang masih tersisa di Kota Jambi ini.

Maksud mereka tentu saja agar Jambi masih bisa mengeja makna dan perjalanan sejarah dirinya sendiri di masa-masa mendatang. Pasalnya itu adalah salah satu bentuk kebanggaan yang takkan bisa dibeli oleh siapa pun, tapi bisa mengantarkannya untuk mati dengan tenang.

Begitu kisah kedua telah kami sajikan, semoga ada makna ada guna. Bagaimana, masih belum cukup. Baiklah, besok kita lanjutkan lagi, insyaallah.***

Ke Depan, Kebudayaan Akan Jadi ‘Mata Uang’ Baru

Menkokesra: Karena di Masa Pertumbuhan Ekonomi Gelombang Keempat, Maka Pemerintah Mencanangkan Ekonomi Kreatif

KOTAJAMBI-Di era Globalisasi yang sudah dimulai sekarang ini, Indonesia sesungguhnya sudah memasuki satu babak baru yang esensinya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di masa ini setiap elemen masyarakat terus ditantang untuk menciptakan terobosan pembangunan guna bisa mensejahterakan masayarakatnya sendiri guna menghindari sifat ketergantungan kepada bangsa lain.

Demikian catatan penting yang disampaikan Menteri Koordinator Kesejateraan Rakyat (Menkokesra) Ir Aburizal Bakrie saat meewakili presideng mewakili Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuka Kongres Kebudayaan Indonesia yang dilangsungkan di Kota Bogor pada 9 sampai 12 Desember lalu.

“Pada masa sekarang ini disebut masa pertumbuhan ekonomi gelombang keempat. Di mana pada masa itu roda perekonomian akan berporos pada pengembangan aspek kebudayaan sehingga dapat menjadi jati diri bangsa yang bernailai ekonomi bagi kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan,” katanya dihadapan sekitar 500-an orang budayawan peserta kongres di saat itu.

Dia lalu menjabarkan kalau untuk mencapai tujuan visi dan misi mensejaterakan warga negara dengan segenap asset kebudayaan yang dimiliki maka pemerintah telah merancang dan memprogramkan dimulainya gerakan ekonomi kreatif.

“Ada banyak item dari ekonomi kreatif yang bertolak dari basis kekayaan khazanah budaya yang dimiliki bangsa ini. Diantaranya adalah industri film dan media, senirupa, seni pertunjukan, sastra, kerajinan masyarakat, disain, arsitektur dan lain sebagainya. Kesemua itu potensial untuk dikemas sehingganya ke depan bisa menjadi mata uang baru bagi segenap warga masyarakat pemilik dan pelaku dari kebudayaan itu sendiri,” urai Aburizal.

Karena itu diharapkn di mas ke depannya, mayarakat selaku pemilik dn pelaku kebudayaan itu sendiri bisa teru berbuat untuk mengembangkan dirinya sehingganya budaya mereka tersebut bisa jadi bernilai ekonomi yang pada agilirannya bisa menghidupi mereka dan mesejahterakan banga dan negara.

“Kedepan semua kita diharapkan semua bisa kreatif dalam mengembangkn potensi budayanya. Sehingga di mas mendaatang akan muncul karya-karya anak negeri yang mampu menjadi jati diri bangsa,” tandasnya.(c@l)

Direkomendasikan Departemen Kebudayaan Tersendiri dan Mandiri

Tidak Dicampur Aduk Lagi dengan Urusan Pembangunan Lainnya, Turunan-nya Didaerah Juga Harus Menyesuaikan

KOTAJAMBI-Salah satu rekomendasikan penting dari para budayawan se Indonesia yang berkongres di Kota Bogor semenjak 9 sampai 12 Desember lalu adalah dipresurnya pemerintah untuk bisa segera membentuk departemen kebudayaan tersendiri yang mandiri.
Maksudnya tidak lain tidak bukan adalah keinginan budayawan Indonesia untuk dapat mengelola dan dikelola dirinya sendiri semua urusannya. Dasar pijaknya adalah pengalaman dan sejarah peradaban bangsa yang selama ini berjalan tidak normal dipengaruhi oleh sikap apriori pemerintah terhadap eksistensi kebudayaan itu sendiri dalam membangun jati diri bangsa.

Boleh dibilang pemerintah selama ini selalu bermuka dua dalam menyikapi perihal kebudayaan. Pada satu sisi mereka begitu menagungkan keberadaan unsur kebudayaan sebagai salah satu objek pembangunan bangsa dan negara sebagaimana di manaifestasikan dalam salah satu bait lagu kebangsaa Indonesia Raya yang berbunyi ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badangnya’.
Namun pada kenyataannya hasrat untuk membangun sisi jiwa yang merupakan aplikasi dari pembangunan kebudayaan itu sendiri selalu tidak pernah diberi peluang dsan kesempatan untuk bekerja sesuai dengan karekter dan mekanisme sewajarnya ia sebagai suatu wujud lain dari pembangunan dari sisi jiwa manusia.

Buktinya urusan kebudayaan selalu saja digabung-gabungkan dengan urusan lainnya. Seperti semasa Orde Baru pada susunan Kabinet Repelita Kebudayaan bergabung atau digabungkan dengan urusan pendidikan denhgan nama departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) . Lalu semasa pemerintah transisi presiden BJ Habibie tetap juga seperti itu.
Pada masa Orde Reformasi yang dimulai semasa pemerintahan presiden Abduurrahman Wahid atau Gus Dur tergabung dalam Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud). Selanjutnya semasa Megawati menjadi Pariwisata dan Kebudayaan (Parbud) dan terakhir semasa Presiden SBY dibalik menjadi Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar).

Pendeknya apapun yang dibuat pemerintah selama ini selalu saja tidak pernah menyentuh esensi dari arti penting salah satu tonggak pembangunan bangsa dan negara itu.
Lebih parahnya alagi ketika apa yang terjadi di turunannya di Pemerintahan-pemerintahan Daerah (Pemda). Kegagapan menterjemahkan Otonomi Daerah (Otoda) Kebudayaan berikutnya meleber ke sana sini, dipaksa bergabung ke dinas-dinas lainnya yang tak jarang sama sekali tidak mempunyai koneksi kerja dengan kebudayaan.

Ada yang digabungkan dengan pendidikan, ada yang dengan pariwisata, ada yang dengan perindustrian, perekonomian, dan lain sebagainya. Bahkan ada kota atau kabupaten yang tidak memiliki dinas kebudayaan (kota Jambi adalah salah satunya). “Sungguh Ironis,” begitu komentar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Ir Jero Wacik SE sendiri pada saat seremoni pembukaan kongres.

“Padalah urusan kebudayaan itu tidaklah bisa berjalan seiring apalagi bergandengan tangan dengan urusan lain yang sifatnya fisik dan materi. Mencampur adukkannya jelas telah tubrukan yang berakibat semakin rancunya pertumbuhan dan eksistensi kebudayaan negara ini saat ini, negara ini kehilangan jati dirinya,” ketus Teja salah seorang budayawan dan sastrawan dari Riau ke hadapan forum.

“Itu karena kebudayaan yang sebenarnya bekerja di wilayah pembangunan jiwa dan mental warga negara malah dipaksa jadi barang komoditi ekonomi. Dampaknya masyarakat kita pun tumbuh jadi masyarakat yang materialis, konsumtif, anarkis dan borjuis seperti sekarang ini,” tambahnya.

“Ini salah siapa. Ya jelas ini indikasi menterinya tidak becus ngurus kebudayaan. Toh jangan untuk mengurus, untuk menyelami arti dan makna dari kata kebudayaan itu sendiri dia tidak mengerti,” tandasnya semakin ketus yang langsung disambut tepuk tangan dan sorak peserta kongres.

Mengingat pentingnya arti keberadaan kebudayaan di era globalisasi inilah berikutnya peserta kongres pada rapat pleni terakhirnya dengan suara bulat merekomendasikan ke depannya agar pemerintah dapat membuat Deparrtemen Kebudayaan (Depbud) tersendiri dan mandiri.

Tidak lagi digabung-gabungkan dengan urusan lain yang sesungguhnya sangat berseberangan dengasn esensi dan substansi dari kebudayaan itu sendiri. Sebab kalau tidak maka ke depan bangsa ini akan kehilangan kebudayaan dan jati dirinya samasekali, tak punya lagi apapun yang bisa dibanggakan. Demikian putusan kongres yang dibacakan panitia.(c@l)