Minggu, 21 Desember 2008

Antrian Tak Separah Sewaktu Naik, Tapi Tetap Mengusik

Ketika BBM Turun, dan yang Lain Belum Ikut Turun

Sesuai keputusan pemerintah Senin (01/12) kemarin, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium atau bensin bersubsidi, turun Rp 500 dari Rp 6000 menjadi Rp 5500. merespon kondisi ini kalau di kota-kota lain berbagai ekspresi langsung diluapkan masyarakat, di Jambi rupanya masih relatif biasa-biasa saja.

YUPNICAl, DWI & SUZAN, KOTA JAMBI

Buktinya, dari pantauan Posmetro Jambi seharian kemarin, memang sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap antrian di Stasiun pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Meski antrian yang terjadi tidaklah sampai seheboh dan separah sewaktu kenaikan ‘si emas cair’ itu beberapa bulan lalu.

Sikap publik malah bisa dibilang biasa saja, tak ada yang terlalu istimewa. Meskipun banyak yang mengaku senang karena adanya penurunan harga BBM ketika di tengah kenaikan harga-harga barang yang lainnya, namun kalau dibandingkan dengan tingkat kesulitan hidup yang dialami warga saat ini, penurunan yang hanya Rp 500 perak itu tidaklah berarti apa-apa. bahkan masih tidak sepadan dengan harga sebatang rokok. Masih sangat jauh dari yang semestinya seperti diharapkan warga.

“Alhamdulillah, BBM turun jugo, meskipun dikit tapi jadilah dari pado idak samosekali. Setidaknya ini biso mengurangi pengeluaran kito dikit,” ungkap Anggo salah seorang warga yang kesahariannya bekerja sebagai PKL.

Hal senada juga diungkapkan warga lainnya. Umumnya mereka mengaku menyambut gembira turunnya harga BBM bensin ini. akan tetapi kegembiraan itu belum bisa terekspresikan karena ternyata penurunannya itu samasekali tidak atau belum diikuti oleh harga-harga barang lainnya yang telah terlanjur dulu ikut-ikutan naik seiring naiknya harga BBM. Kini saat BBM turun mereka ternyata masih ogah turun bersama ‘sang inang’.
“Bensin turun, tapi minyak yang lainnya tak ikut turun, minyak tanah tetap mahal. Gas jugo mahal, minyak sayur jugo, Sembako lainnyo jugo masih mahal, bahkan ongkos ojek dan oplet jugo masih segitu la, cuman sawit hargo saawit yang masih melorot,” celetuk antrian yang lainnya.

“Mestinyo kan yang dulu ikut naik sekarang ni jugo ikut turunla, jangan masih enak-enakan di atas,” timpal yang lainnya.
Kembali ke soal antrian. Antrian yang cukup panjang memang sempat terjadi di hampir semua SPBU yang ada di Kota Beradat Jambi. pantauan di SPBU di Kebun Jeruk misalnya, salah satu SPBU Utama di kota Jambi, antrian di situ telihat memanjang sampai ke sisi jalan.

SPBU itu dipadati oleh antrian kendaraan yang ingin mengisi atau membeli premium bersubsidi yang sudah resmi turun itu. Antrian pada hari itu tidak seperti biasanya karena antrian sampai ke pinggir jalan.

Kepada koran ini kemarin, Ani Waty, pengawas SPBU Kebun Jeruk mengatakan bahwa SPBU Kebun jeruk masih menggunakan stok lama dan juga menggunakan stok premium dengan harga sekarang.

Melihat meningkatnya jumlah pembeli kemarin agar kebutuhan pembeli akan premium terpenuhi Ani menghubungi pertamina agar mengirimkan premium lagi. “melihat jumlah pembeli meningkat, saya tadi sudah menghubungi pertamina untuk dikirimkan premium lagi” katanya.

“Semoga dengan turunnya harga premium saat ini, jumlah pembeli semakin meningkat,” pungkasnya.

Kondisi serupa juga terlihat di SPBU Lainnya. Umumnya alasan warga mengantri tersebut adalah karena kekuatiran kemungkinan terjadinya lagi kelangkaan seperti waktu kenaikan harga dulu. Tapi, sampai kemarin sore, justeru tidak terlihat ada SPBU yang bermasalah dengan stok persediaannya. Kondisi stabil ini tentu saja memberikan kepercayaan dan keyakinan bagi publik kalau tidak akan terjadi kelangkaan, meskipun dengan harga yang lebih murah dipastikan konsumen juga akan naik. Demikian.***

Takkan Pernah Bisa, Selama Masih Tak Akui Keberadaan dan Kekuatan Budayanya

Siapkah Jambi Ber-Ekonomi Kreatif?

‘Ekonomi Kreatif’ telah ditetapkan presiden sebagai cetak biru pembangunan bangsa Indonesia ke depan. Sebuah konsep pembangunan yang bersumber dan berporos serta harus sernantiasa terkait dengan kebudayaan bangsa. Ada 14 item yang termasuk ke dalam aspek-apeknya. Lalu bagaimana dengan Jambi, sudah siapkah menyongsong dan mengaplikasikan apa yang telah dicanangkan pemerintah untuk jangka waktu sampai 2030 mendatang itu ke dalam konsep pembangunannya. Ataukah pada tahun itu Jambi tetaplah sebuah negeri yang stagnan seperti sekarang ini.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Kemarin Posmetro Jambi memperbinmcangkan kemungkinan kesiapan Jambi ini dengan seorang budayawan Jambi Jafar rasuh dan Drs Rahman salah seorang kasubdin bidang objek pariwisata di dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi di kantor Budpar.
Kebetulan, ikut pula nimbrung dalam perbincangan itu seorang eks mahasiswa Jambi yang kuliah di Kota Budaya Jogjakarta yang dulunya juga seorang petualang pendaki gunung dan bikers yang doyan turing hingganya dia begitu sarat dengan pengalaman dan wawasan kebudayaan, maka perbincangan pun jadi semakin hangat.

“Apa Pak yang bisa diandalkan Jambi untuk bisa berarti dan berguna hingga mampu berbicara banyak di pentas dunia, saya semenjak kepulangan saya beberapa tahun lalu sama sekali Jambi hampa kebudayaan. Saya nogmong begini karena selama mahasiswa dulu saya sudah melancong menjelajahi hampir segenap negeri yang ada di Pulau Jawa dan Bali, disitu segala sesuatu yang disebutnya kebudayaan masyarakatnya, kesemuanaya dapat dipastikan pastilah akan laku dijual,” pancing sang mantan mahasiswa itu pada Jafar Rasuh.

Yang ditanya jelas kaget, tak menyangka dapat tohokan seperti itu dan selanjutnya, seperti biasanya dia, mulut bapak satu ini pun membeberkan sedereat fakta untuk meng-konter anggapan sang penanya yang seolah menantangnya itu.
“Siapa bilang Jambi tak punya budaya apa-apa yang bisa dijual dan jadi ‘mata uang’ baru seperti yang jadi visi ekonomi kreatif pembangunan gelombang keempat yang dicanangkan presiden itu. Jambi punya semuanya bahkan lebih dari yang dipunyai oleh Jawa dan Bali. Persoalannya selama ini aset dan potensi kebudayaan baik yang tengible (benda) maupun yang ingtengibel (non benda) yang dipunyai Jambi itu, tidak pernah terkelola dengan baik. Itu persoalannya lho,” potong Jafar.

Seperti senapan mesin mulut sang tokoh lalu merentetkan peluru alibinya. Memamparkan segenap khazanah yang selama ini memang telah tersia-siakan itu. “Soal potensi untuk wisata alam, kita punya aset yang tak kan pernah habis-habisnya, kita punya kerinci yang elok jelita alamnya, kita punya empat taman nasional, kita punya gunung tertinggi, kita punya danau tertinggi, kita punya sungai tertinggi, kita punya hutan terlebat, kita punya Harimau Sumatera yang merupakan fauna maskot kita punya pulau Berhala yang indah,”

“Di potensi wisata budaya, kita punya kebudayaan purba dan melayu tua yakni Kerinci, kita punya suku primitif yakni kubu yang eksotis, kita punya komplek percandian Budhis terluas di Asia Tenggara, kita punya banyak prasasti dan peninggalan sejarah lainnya, kita punya perkampungan tua, kita punya berbagai cerita mitos, dongeng dan legenda, kita punya ratusan jenis tari tradisi, kita punya ratusan bahkan mungkin ribuan khazanah seni rupa, kita punya sejarah yang luar biasa, kita punya kebudayaan pluralisme yang luar biasa, dan lain sebagainya,”

“Begitu juga potensi wisata minbat khusus, kita punya banyak gunung tinggi dan pnya daya tarik tantangan tersendiri untuk didaki, kita punya sungai Merangin wahana arung jeram termenantang di Sumatera, kita punya Berbak yang jadi wahana transit burung-burung imigran, kita rawa-rawa yang menantang untuk ditaklukkan adrenalin, kita punya perkebunan karet dan sawit yang luas untuk wahana berburu dan rally otomotif adventurer, kita punya danau kerinci yang bisa jadi wahana wisata air, kita punya kebun teh kayu aro yang bisa saja jadi seperti Puncak di Bogor. Pendeknya, kita punya segalanya yang dipunyai daerah lain,” rincinya begitu akurat.

Namun, lanjutnya, selama ini semua potensi itu nyaris tidak pernah bisa kita angkat ke permukaan dan dijadikan sumber ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. “Penyebabnya, bukan hanya karena satu faktor, tapi karena kesemua faktor menyeluruh yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Kita Jambi sampai kini belum mampu sampai menemukan formulasi ampuh guna membangkitkan energi dan sinergi sehingganya mampu memobilisasi kemajuan perekonomian masyarakatnya. Kesemua kita selama ini masih bekerja sendiri-sendiri. itulah kelemahan kita,” imbuhnya lagi.

Ya, diakui ataupun tidak, selama ini setiap komponen penggerak kebudayaan itu memang benar selalu bergerak sendiri-sendiri, seolah tanpa koordinasi sedikitpun. Setiap Pemerintah Daerah, baik provinsi, kabupaten kota, lalu pihak swasta, pihak seniman dan pelaku budaya itu sendiri, masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri, pihak pengelola event dan asosiasi pengusaha, semua berjalan sendiri, juga kebudayaannya itu sendiri, juga bergerak sendirian, berusaha bertahan dari serbuan derasnya invansi, inkulturasi, maupun akulturasi kebudayaan dari luar.

Samasekali belum pernah terlihat ada koordinasi apalagi sinergi yang memungkinkan berikutnya jadi arena kompetisi yang sehat. Semua pihak seolah masih memandang sebelah mata pada kesenian dan kebudayaan itu. Pasalnya kalau mau dihitung dengan mata uang, maka keduanya tidak akan pernah memberikan apa-apa. Itu kata kita.

Pasalnya di daerah lain, kebudayaan malah sudah menjadi sumber perekonomian baru yang tidak pernah berhenti mengalirkan uang kepada pelaku dan pemiliknya. Dalam skala internasional lihat keberhasilan Amerika dengan Hollywood-nya, lihat India dengan musik dan tari-nyalihat Mesir dengan kebudayaan megalitiknya, yunani dengan kebudayaan purbanya, lihat Mandarin, China dengan kungfunya, Jepang dengan teknologi dan strategi kebudayaannya, Korea dan Thailand dengan beladirinya, dan Malaysia dengan Melayunya. Dalam skala nasional lihatlah Bali, dan Jogja. Semua mereka di sana hidup dari kebudayaannya.

Lalu Jambi, kenapa tidak hidup dari apa yang menjadi kekayaan khazanah kebudayaannya, kenapa masyarakat Kerinci masih merasa harus berlomba-lomba mencari ringgit ke Malaysia, kenapa kota Jambi masih begitu tergantung pada pendapatan dari orang-orang yang transit dan singgah di sini, kenapa Tungkal dan Sabak masihlah kota yang teramat tradisional padahal dia adalah pintu gerbang laut bagi Jambi, kenapa sampai Berhala sampai jadi sengketa tak berkesudahan seperti sekarang ini.

Kenapa Batanghari, Muarojambi, Bungo-Tebo belum juga mampu hidup dari kebun sawit dan karetnya yang ratusan hektar itu. lalu kenapa mesti Butet Manurung yang sampai mau masuk hutan bukit 12 dan 30, Kenapa bukan para guru lulusan Unja atau perguruan tinggi lainnya di Jambi. kenapa Lasykar pelangi harus bersumber dari Bangka-Belitung, padahal Jambi juga punya banyak kisah serupa, dan sastrawan yang juga tak kalah hebatnya, Kenapa sungai batanghari harus jadi keruh dan penuh tinja manusia. Kenapa begini kenapa begitu.

Ke depan, ketika konsep ekonomi kreatif yang mengharuskan semua aspek pembangunan bersumber dan berkaitan dengan potensi atau khazanah kebudayaan, Jambi tentu tidak boleh lagi begini. Segala bentuk pembangunan yang dipacu haruslah senantiasa dipicu dan mengacu pada potensi kebudayaan. Semaua harus terapresiasi dan teraplikasikan dari kebudayaan Jambi.

Semua Bangunan infra struktur harus berdisain motif-motif yang ada di senirupa Jambi, seperti halnya Twin Tower atau menara kembar di Kuala Lumpur yang terinspirasi dari motif ‘pucuk rebung’ dalam batik dan songket melayu.

Rimba Jambi baik TNKS maupun Bukit 12 dan 30 harus bisa jadi setting filem dan sinetron produksi anak negeri, karya-karya sastra Jambi harus jadi sumber referensi dan inspirasi pembangunan pendidikan mental generasi Jambi. karya-karya seni pertunjukan haruslah hasil pengolahan dan pengembangan potensi budaya daerah hingga bisa menjadi sumber atau mata pencarian para pelakunya.

Sungai Batanghari, haruslah jadi sumber pemasukan, kehidupan masyarakat apapun juga. Baik yang petani, aktivitas atau perayaan keagamaan, haruslah bisa menjadi objek wisata bagi turis luar negeri. Danau sipin harus jadi tempat rekreasi, Sungai Merangin harus terus jadi tempat arung jeram, disain-disain fesyen yang diangkat dari batik Jambi haruslah laku dijual. Cawat kubu harus bisa jadi sovenir yang unik milik Jambi. Begitu juga kulit manis, bunga karet, biji saawit harus bisa pula dikreasikan jadi sovenir Jambi.

Kebun sawit dan karet, kebun durian haruslah bisa punya multi fungsi, tidak semata pekerjaan petani, tapi juga bisa jadi arena rally otomotif, berburu babi, lintas alam dan lain sebagainya. Festival danau Kerinci dan Festival Candi Muarojambi haruslah bernilai ekonomi, tidak melulu sebatas seremoni.

Jambi harus terus cetak rekor Muri, tapi bukan rekor yang direkayasa sendiri. Generasi Jambi harus terus unjuk gigi, makanya mereka harus kembali menggali tradisi, tidak melulu kaku dan terpaku pada budaya luar yang tidak berperi. Mereka harus bisa kreasikan dideang, bakunun, batale jadi hiphop, krinok jadi musik rock. Harus.

Kini, semua itu tentu tak akan pernah terjadi, kalau Jambi masih saja seperti sekarang ini, pemerintah berbuat tapi seakan tak pernah terdengar berbunyi, pengusaha pariwisata ada asiasinya tapi tak punya gigi. Sastrawan terus buat puisi buat novel tapi tak pernah bisa mendapat peluang dan kesempatan laku terjual. Lukis hidupnya miris.

Semua mulai kini harus saling berkoordinasi, saling sinergi. Biar segenap potensi Jambi tidak hanya jadi sebata potensi, tapi tak ada guna tak ada arti. Ingat Jambi, ekonomi kreatif ini adalah cetak biru dan presiden yang menetapkannya. Makanya, kalau ternyata di tahun-tahun berikutnya masih juga tak berubah, maka bersiap-siaplah dimarahi sang presiden. Ingat ya.***

Kebudayaan, Mulai Kini Harus Jadi Poros Roda Pembangunan

Tentang Indonesia dan Cetak Biru Ekonomi Kreatif Gelombang Keempat

Seperti telah disampaikan Drs Jafar Rasuh, Pemimpin Rombongan duta budaya Jambi pada helatan Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 di Kota Bogor dalam artikelnya yang dimuat Posmetro Jambi kemarin, tentang arah kebijakan pembangunan bangsa Indonesia ke depan adalah pengembangan ekonomi kreatif yang merupakan wujud dari gerakan memberdaya gunakan potensi aset budaya negeri hingga bernilai ekonomi bagi kesejahteraan segenap masyarakatnya.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Seperti baru tersadar dari lupa ingatan atau tersentak bangun dari tidur panjang, kini pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepertinya langsung bergegas mengejar ketertinggalan kereta.

Diakui ataupun tidak memang benarlah adanya negeri ini selama ini memang telah melupakan budaya dan kebudayaan, karena keasyikannya mengejar mimpi bisa jadi ‘selebriti’ di pentas dunia. Sibuk membangun raga dan luput samasekali menoleh barang sekejap pada budaya, hanya karena dia dinilai tidak mampu memberikan kesejateraan kepada masyarakatnya.

Untung saja ada presiden negeri ini yang tersadar akan keteledoran bangsanya itu. dan itu pun ketika menteri yang dipercayanya menanagi bidang kebudayaan dan pariwisata adalah orang dari bidang perekonomian yang memiliki sedikit sense of art.
Sayangnya, meski terbilang sudah teramat terlambat, karena di depan mata, gerbang globalisasi sudah terbuka lebar, ketika negara-negara lain sudah bersiap diri dengan jati diri yang bersumber dari ketahanan budaya lokalnya sendiri seperti Jepang, China, India dan Malaysia, Indonesia baru saja terjaga dan mengucek-ngeucek mata.

Indonesia baru tersulut ketika mendapati banyak aset budayanya yang sudah dicuri negeri tetangga, bahkan negeri orang yang berada di seberang nun jauh di sana. Bahkan mungkin presiden baru menyadari keampuhan dari sebuah budaya ketika putranya yang memimpin ‘Pasukan Garuda’ penjaga perdamaian PBB di Lebanon sana ternyata telah mampu menggetarkan nyali, membuat minder dan keder sederet batalyon pasukan elit dunia lainnya di sana hanya dengan peragaan ‘debus’ oleh para anggota personil Pasukan Garuda Indonesia, samasekali bukan karena keunggulan teknologi militer maupun senjata.

Baru tersadar kalau sesungguhnya Indonesia belumlah pernah akan bisa apa-apa, tak pernah bisa bicara di pentas dunia apalagi sampai tampil perbawa di sana kalau hanya mengandalkan rupa fisik semata. Pasalnya, semaju-majunya pembangunan fisik negeri ini maka dia sesungguhnya tidaklah akan pernah mampu sama dengan satu negari bagian pun di Amerika sana.

Sehebat-hebat apapun prestasi olah raga di negeri ini, tidaklah akan mampu lebih dari sekedar jadi juara di kelas bulu. Apalagi mau mimpi bisa jadi runner up Olimpic Game, merebut kembali tangga juara di pentas SEA Game saja negeri ini tak pernah bisa lagi. Seharusnya semakin terbuka mata ini negara, ketika Prof Budi Supandji, seorang dari Departemen Pertahanan (Dephan) yang dihadirkan sebagai pembicara pada kongres kebudayaan di Bogor beberapa waktu lalu itu, secara blak-blakkan membeberkan hasil penelitian seorang profesor ahli DNA dunia yang menyimpulkan, ternyata DNA orang Indonesia sangat spesifik seni budaya dan kerja psikis atau kejiwaan lainnya. Samasekali bukan DNA untuk jadi olahragawan atau kerja fisik lainnya.

Lihat, selain Badminton, Indonesia rupanya hanya bisa dipandang karena olah raga beladiri Pencak Silat-nya yang notabene adalah memang benar warisan budaya nenek moyangnya sendiri. Apalagi mau berjaya di pentas perekonomian dunia, mau mampu capai taraf kesejateraan menyeluruh bagi segenap warga negaranya, gaji presidennya saja ratusan lipat jauhnya di bawah gaji seorang Cassano tokoh AIG yang dituding sebagai biang kerok terjadinya krisis perekonomian Amerika yang berikutnya berimbas pula pada perekonomian dunia.

Pernah bermimpi ingin jadi mercusuar teknologi dunia setidaknya yang terperkasa di Asia Tenggara, sampai berdiri IPTN, lahir produk mobil Taruna, dan lain sebagainya, padahal pada kenyataannya, untuk melakukan produk sepeda motornya saja seperti Kanzen, Motorindo, harus berjibaku habis-habisan dengan para produsen tamu yang sudah lama bercokol menjajah di sini.

Belakangan bermimpi pula hendak jadi penguasa persinetronan, tapi justeru yang terjadi malah Betty Lapea lebih berjiwa lebih bermakna. Dan sinetron negeri ini, ternyata hanya lah skenerio-skenerio picisan yang tak jarang Cuma bisa cabul dan nakut-nakuti orang dengan cerita-cerita horor-nya. Parah memang, negeri ini sepertinya selalu sial disemua langkah, di semua rencana semua wacana, kenapa.

Benar, jawabnya seperti yang diakui Menbudpar Jero wacik dan Menko Kesra Aburizal Bakri, itu semua karena negeri ini belum pernah mampu menemukan jati diri bangsa. Padahal nilai-nilai kebanggaan berkebangsaan itu selama ini berseliweran bebas, menggelandang di sekeliling. Sungguh ini sama dengan makna peribahasa semut ayam nyasar di lumbung padi, semut mati karena gula.

Benar sekali, kalau kini presiden SBY kembali mengoreksi dan mengakui kalau sesungguhnya bangsa ini telah salah langkah selama ini, menapikan dan menepikan sisi seni yang bisa jadi jati diri negeri. Teramat benar kalau kini diakhir masa pemerintahannya dia buru-buru membuat cetak biru pembangunan kebudayaan bangsa dalam visi penciptaan ruang dan peluang ekonomi kreatif, cetak biru yang akan jadi visi nasional jangka panjang sampai 2030 mendatang.

Teramat benar kalau kini dia menyebut pergerakan pembangunan bangsa mulai saat ini memasuki ‘gelombang keempat’ satu gelombang yang bertumpu pada poros kebudayaan sebagai kekuatan dan sumber inspirasi kemajuan bangsa.

Benar sekali ketika Menbudpar Indonesia dengan teramat yakin berkoar di hadapan satu forum para menteri kebudayaan senatero dunia di Perancis beberapa tahun lalu, Indonesia adalah satu bengsa di dunia yang tak kan punah kebudayaannya. Karena pertimbangannya adalah kehidupan kebudayaan di negeri ini kesemuanya berkaitan erat dengan kehidupan religiusitas masyarakatnya.

Arti kata kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang bersumber dan bertumbuh berbarengan dengan agama, dan Indonesia adalah negara beragama bukan komunis atau pun tergantung pada ideologi tertentu, negara yang kesemua penduduknya harus dan wajib mempunyai dan menganut agama. Agama dominan yang dianut masyarakatnya adalah Islam, makanya kebudayaan negeri-negeri yang mayoritas umat islam kebudayaannya adalah kebudayaan yang bersumber dan tumbuh berbarengan dengan Islam itu sendiri.

Lihat saja aceh, Minang, Melayu, jawa Barat, dan lain sebagainya, mereka semua tumbuh dengan agamanya itu dengan identitas nya masing-masing yang khas. Lihat pula Bali yang mayoritas Hindu, kebudayaan di situ pun tumbuh berbarengan.

Jadi, selama penduduk Indonesia masih beragama maka selama itu pula mereka akan masih terus berbudaya dan membangun budayanya. Sungguh Indonesia berbeda dengan bangsa lain di dunia.

Kebudayaan Cowboy di Amerika suatu saat bisa saja punah dan digantikan oleh kebudayaan lainnya. Kebudayaan sosialis di Sovyet kini telah musnah seiring hancurnya negera komunius itu semasa pemerintahan Gorbachev dulu. Sama halnya dengan kebudayaan Nazi. Telah lama mati bersama matinya Hitler.

Tapi kebudayaaan kesenian Wayang Purwa di Jawa, sampai kini masih tetap lestari meski Sunan Kalijaga selaku perestorasi kebudayaan itu telah berabad-abad lamanya wafat. Kebudayaan Keris sampai kini masih berjaya meski Mpu Gandring sudah lama mati dibunuh Ken Arok. Kesenian dan kebudayaan gurindam Melayu masih terus abadi sampai kini, meski H Ali seudah lama mangkat. Borobudur masih berdiri kokoh hingga kini. Bali masih eksotis sampai kini meski sempat berkali dihantam bom teroris.

Itulah kebudayaan Indonesia. Yang mungkin saja beberapa masa ke depan akan semakin berjaya, ketika cetak biru ekonomi kreatif yang telah disepakati kongres kebudayaan di bogor beberapa hari lalu, benar-benar berhasil direalisasikan. Maka diyakini, Indonesia pada masa itu akan tumbuh dan lahir sebagai salah satu poros perkebangan kebudayaan dunia.

Mengalahkan dan menggantikan posisi kedigdayaan Amerika dengan Hollywood-nya yang telah menjajah dunia semenjak seabad belakangan. Biar pun apa yang telah disepakati kini sudah terbilang teraamat terlambat, namun tidak lah salah untuk bergegas memulai sedari kini.

Karena membangun negeri manapun, membangun apapun, bersumber dan berbasis pada budaya apalagi budaya yang bersinergi dengan nafas agama, adalah hal yang tidak ada salahnya samasekali untuk mengincar dan menggencar visi dan misi membangun jati diri bangsa. Itu kalau semua memang ingin berjuang menuju hidup yang sebenarnya. Riri Reza sudah memulainya dengan Lasykar Pelangi, lalu siapa lagi laskar-laskar lainnya, ayo berkarya, ayo berniaga, hingga semua kita sejahtera Semoga.***

Mojang Modern yang Makin Anggun Dibalut Busana Kampung

Yang Bisa Dipetik dari Bogor Sebagai Oleh-oleh untuk Jambi (3)

Dua kuntum sudah bebunggaan telah kami rangkai dari Bogor dan persembahkan sebagai oleh-oleh untuk anda semua pembaca setia. Puas yang sudah tercicip ternyata malah semakin membuat dahaga jiwa-jiwa Jambi yang lapa, hingganya kemarin di sebuah kantor pemerintah Posmetro Jambi terang-terangan ditagih pembacanya yang minta diberi kembang gula berikutnya. Dia begitu yakin pasti kuntum ketiga yang akan diberikan akan jauh lebih ranum lagi. Baiklah, kini kami persembahkan kepada anda kuntum ter-ranum.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Kalau di dua edisi sebelumnya yang kami suguhkan masih seputar benda yang kaku, maka kali ini kami sajikan sesuatu yang bisa membuat hidup lebih hidup. Kami sajikan makluk hidup, bernyawa, punya hasrat dan kehendak.

Inilah tentang manusianya, yang menghuni sebuah kota kabupaten yang kelasnya setara dengan ibu kota provinsi seperti Jambi ini. Tentang manusia Bogor, tentang gadis-gadis yang mendiami rumah-rumah tua bersahaja di kota yang senantiasa basah itu.
Mungkin diilustrasikan dalam bahasa puitis begitu hayalan anda semua jadi langsung memabukkan rabu. Terbayang gadis di kota yang senantiasa basah, tubuh sintal pualam itu pun pastilah akan setiap saat terlihat basah.

Wajah bersih basah, rambut panjang lurus basah, bibir merekah basah leher jenjang yang basah, lalu pasti berbusana yang sepertinya selalu basah, wow siapa dia tidak mabuk minta mati, alamaaak.

Tapi rupayanya anda harus menahan selera dulu. Karena mereka yang akan kami ceritakan ini tidaklah seperti gadis yang ada dalam hayalan anda yang liar itu. pasalnya, ini Bogor bung, bukannya Jambi. di Bogor teramat berbeda dengan di Jambi. gadisnya memang cantik-cantik tapi mereka semua adalah sosok kaum hawa yang pintas dan cerdas mematut diri, menjaga kehormatan.

Ya, mungkin karena di Jambi anda tidak pernah kesulitan untuk bisa menikmati lawan jenis anda dengan segenap keindahan sensualitasnya yang kian hari kian terbuka saja, sampai-sampai berbusana lengkappun sudah terlihat seperti telanjang. Body dibungkus ketat, model terkini, regging, pencil, tayet.
Atau yang serba mini rok mini, celana short yang teramat short ketat dan sampai ke selangkanan, kaos tank top, you can see, singlet dan lain sebagainya. Bahkan sampai ke model yang serba terbuka, vulgar.

Paha putih mulus seperti susu terbuka sampai pangkal selangkangan bisa dijumpai dimana-mana. Wajah inosen polesan yang begitu merangsang ada di mana saja. Cewek nunggin dibonceng naik motor adalah hal biasa.

Rambut lurus di rebonding berparfum menyengat lalu dikibar-kibarkan laksana bendera perang ketika mereka naik motor tanpa helm, bibir sensual yang terlihat terus menantang, telah jadi barang pameran di pusat-pusat perbelanjaan, di pasar, di tempat hiburan dan rekreasi, di kantor-kantor.
Bahkan di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. pendeknya, kalau sekedar untuk mencuci mata menghibur diri yang galau pergi saja ke luar rumah sejenak. Pasti semua risau akan langsung bablas. Itu di Jambi, bukan di bogor. Samasekali bukan.

Di bogor, jangan harap anda bisa menemui ada cewek bercelana ketat baju transparan melenggang di pusat perbelanjaan. Apalagi mau dapat lihat paha gempal kuning langsat yang terbuka. Di sana, jangankan gadis berambut rebonding, wanita berpakaian sedikit trendy saja tidak ada.

Mana ada cewek ber-tank top di sana, mana ada cewek bercelana pendek di sana. Mana ada. Toh rok sekolah saja tidak ada yang di atas lutut. Umumnya mereka memakai rok panjang model rok payung. Mana ada kata ‘seksi’ jadi pujian yang berseliweran bebas di udara seperti di Jambi di sana, mana ada.

Di sana para ceweknya begitu berbudaya dan teramat manut budaya negerinya. mereka adalah para mojang yang begitu anggun, karena senantiasa menjaga kehormatannya, menyembunyikan auratnya, selalu mematut diri, dan terus menerus menghormati adab serta takut pada azab. Sungguh mereka para mojang yang teramat anggun dengan kewanitaannya yang agung.

Meski selalu tampil biasa, jauh dari trendi seperti cewek-cewek kota pada umumnya. Mereka tetap jadi wanita seutuhnya, tetap mampu tampil sempurna, anggun dan berwibawa. Meski hanya busana ketinggalan zaman yang dikenakannya, ketinggalan kampung sebut para pendatang, tetap saja keayuan mereka terpancar begitu nyata, tanpa sedikitpun terkesan menggoda.

Bahkan pakaian yang mereka kenakan itu lebih pantaslah mungkin disebut hanya busana cewek kampung, tapi sungguh mereka bukan cewek kampungan, apalagi gampangan. Busana kampung yang tradisif tak pernah membuat nilai kepribadian mereka yang tangguh dan anggun jadi luntur.

Mereka tetap cantik meski tanpa fasyen trendi. Jadi jangan coba tanya dalam bahasa Inggris pada mereka, meski daalam angkot dalam bahasa Perancis, Jepang, Arab pun mereka bisa beri Jawab. Jangan tanya soal logaritma, tentang realitas dunia maya pun mereka mampu meretasnya.

Jangan pernah mimpi mau bisa lihat para cewek kongkow-kongkow tanpa makna tanpa guna. Di kafe atau warung, mereka pasti kerja di situ atau memang tengah mampir untuk makan. Di pertokoan mereka pasti SPG, amat jarang ada yang shoping, makanya mall-mall di kota itu lebih seringlah dijumpai sepi pengunjung ketimbang mall-mall yang ada di Jambi. buktinya di gerai-gerai dalam mall di situ amat jarang terlihat ada busana model terbaru terpanjang.

Kalau kebetulan di taman, amat jarang terlihat ada yang berpasang-pasangan dengan lawan jenis, pacaran. Kalau pun ada itu pasti mereka sudah suami istri, meski terlihat masih seperti cewek ABG.

Di sekolah mereka belajar dan benar-benar belajar, tak pernah terlihat ada yang bolos, buktinya saat jam sekolah tak pernah kami jumpai atau pernah terlihat ada anak berseragam sekolah berkeliaran di jalanan atau pusat-pusat pertokoan.

Lagian, di kota itu teamat jarang terlihat ada anak cewek yang mengendarai motor, apalagi anak pada usia sekolah atau cewek berseragam sekolah. jadi jangan mimpi bisa bertemu cewek nungging di atas motor seperti di Jambi di sana. Atau kalau anda cewek yang kebetulan berkesempatan berwisata ke sana, ingat coba sekali-kali bawa gaya di Jambi ke sana, bisa habis anda jadi sasaran kritik.

Sama dengan nasib yang diterima Djenar maesa Ayu, seorang novelis yang ternyata juga hadir pada helatan Kongres Budaya Indonesia di kota Bogor itu kala itu. Langsung jadi sorotan dan tatapan mata sinis serta kritikan maha pedas dari forum, bukan semata karena novelnya yang memang kontroversial dengan gaya berceritanya yang vulgar dan cabul, tapi lebih dikarenakan penampilan di forum dengan blus yang bagian dadanya terbuka lebar hingga hampir memamerkan utuh sepasang buah dada sang ‘sastrawangi’ yang berwarna putih susu saat itu.

Mata siapa tak terbelalak, kenjantanan siapa tak menggeliat, suhu di Bogor cukup dingin saat itu. “Kepada panitia ya, tolong janganlah anda menghadirkan pembicara seperti wanita yang ada di hadapan kami saat ini, sangat tidak membuat tenang kami,” rutuk seorang penanya saat itu.

Yap, benar seperti dugaan anda, salah satu faktor begitu berhati-hatinya para mojang Bogor dalam memilih busana memang dikarenakan cuaca di kota itu kurang bersahabat bagi mereka untuk buka-bukaan seperti di kota Jambi yang berhawa panas. Tapi itu hanyalah faktor lain, samasekali tidak bisa dijadikan alibi. Faktor yang paling penting berperan adalah faktor pola dan cara pikir positif yang memang telah menciri tumbuh dengan sendirinya di setiap sanubari putri Bogor sedari dulu. Kesetiaan mereka untuk menjaga nilai-nilai budaya positif warisan leluhurnya di masa lalu adalah faktor utama.

Amat berbeda dengan di Jambi, sedari dulu sepertinya memang sudah tidak punya filterisasi yang bisa mematut dan menjaga penampilan mereka di hadapan publik agar tetap bertata krama dan tampil jumawa. Pemahaman masnyarakat generasi Jambi terhadap nilai-nilai budaya, moral dan agama sepertinya memang tidak pernah terbina.
Makanya kini pemerintah merasa perlu dan butuh bantuan Perda APP. Di Bogor tidak ada Perda serupa itu. karena masyarakatnya sudah punya Perda sendiri-sendiri di dalam dirinya tentang ‘daerah-daerah’ yang ada pada tubuhnya.

Jadi, Jangan pernah coba bayangkan macam-macam ya terhadap cewek-cewek Bogor. Bogor samasekali bukan Jambi, yang sampai kini masih terus tenar dengan ‘Pucuk’-nya di ingatan para tamunya. Sedang Bogor juga terus tenar, tapi dengan ‘Puncak’nya, tak serupa tak sama.

Demikian, telah kami sajikan oleh-oleh sederhana untuk anda semua. Meski meungkin masih ada cerita tersisa, namun cukuplah kiranya apa yang ada. Sebab, kalau kami beri lebih dari ini, maka tak satupun lagi yang bisa kita nikmati dan resapi ‘arti’nya.

Kalau masih penasaran dan merasa tergoda, silakan anda datang dan berkunjung saja sendiri, ke kota kabut di tengah hutan itu secara langsung. Pasti anda akan dapati sendiri kuntum-kuntum makna tumbuh subur di situ. Anda pasti aka mabuk sendiri. Sekian dan, semoga ada guna ada makna pula. Sampai jumpa lagi.***

Kota Tua di Era Mesin, Bikin Hidup Makin Cantik Makin Ciamik

Yang Bisa Dipetik dari Bogor Sebagai Oleh-oleh untuk Jambi (2)

Kalau kemarin kami sudah mendedahkan perihal ‘kebersihan dan kerapihan’ yang begitu ciamik dan terasa laksana buah yang sangat ranum ketika disantap, dari sebuah ‘kota di tengah hutan’, Bogor, seperti yang kami janjikan sebelumnya kali ini temuan lainnya yang tak kalah menarik kembali kami persembahkan untuk anda semua, segenap warga Jambi yang telah sepenuh hati memberikan kepercayaan kepada kami untuk pergi ke situ mewakili anda semua. Ini dia kuntum kedua;

YUPNICAL SAKETI, JAMBI


Kali ini kami semakin memasuki aorta darah dan celah-celah otot kota yang namanya sudah begitu tidak asing lagi itu. kami jelajahi kota itu dalam waktu yang teramat singkat dan sempit. tapi, meski sedikit tapi selangit yang kami dapat.
Sungguh mata kami kali ini tertunju ke deretan bangunan bangunan yang sepertinya tumbuh bersama pepohonan itu. berbagai macam bangunan terlihat begitu tertata dan membumi dengan kehidupan masyarakatnya.

Baik itu rumahy penduduk, perkantoran, pusat perbelanjaan, bangunan milik publik, maupun milik swasta atau persoal tertentu. Ya, di sini bangunan tersedia segala bentuk segala jenis, mulai dari istana kepresidenan sampai lapak-lapak pedagang Kaki Lima (PKL).

Tapi satu hal yang begitu luar biasa sehingganya sampai membius mata semua kami sampai terasa ogah berkedip, terkedip atau pun dikedipkan. Jiwa kami terpanah gendewa asmara dari masa lalu, ketika mendapati arsitektur bangunan yang tersaji di sekeliling kami.
Sungguh terasa sangat bermakna ketika mendapati bangunan-bangunan dalam disain dan arsitektur gaya lama, layaknya bangunan peninggalan para menner dari zaman kolonial dulu, masih terlihat berdiri kokoh dan perbawa, dengan fungsi dan kegunaannya yang kini tentu saja sudah berubah mengikuti perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakatnya yang kini juga pasti sudah teramat modern seiring kemajuan zaman.

Arsitektur unik peninggalam aman dulu itulah yang telah membawa kami seakan kembali ke masa lampau, menyelami makna kehidupan hakiki sedalam mungkin di dalamnya. Sungguh hal itu tentunya takkan dapat kamu temui dan lakukan di Jambi, karena di Jambi ini sudah hampir tidak tersisa lagi sesuatu yang bisa menjadi jembatan sejarah guna melintasi dunia paralel ke masa lalu.

Di Jambi nyaris punah semua benda bukti sejarah. Tak ada istana raja, tak ada bekas kantor residen, tak ada bekas markas opas (polisi kompeni), tak ada rumah tua, bahkan juga mungkin sudah tidak ada lagi situs sejarah yang tertimbun yang masih bisa kami gali sekedar membasuh hati.

Di Bogor lah kami justeru temukan pintu dan jendela sejarah terbuka begitu nyata, itu mesin waktu yang bisa membawa kami melaju, mengantar bebunga rindu ini ke kearifan nilai-nilai masa lalu seperti yang selalu ganggu tidur kami yang kelambu.

Coba lihat bangunan-bangunan itu, rumah-rumah itu, gedung-gedung itu, semuanya terlihat masih berdiri bersahaja dengan gaya lamanya. Mereka berjejer berbaris di sepanjang sisi jalanan. Dia sepertinya tak pernah rapuh dimakan usia dan cuaca. Padahal di kota hutan kota hujan ini, embun dan udara lembab pastilah rentan lapukkan apa saja.

Jangankan bangunan, belulang kita yang manusia saja mampu terus digigilkannya. Tapi rupanya cuaca tidak rusak bangunan-bangunan renta itu. mereka sepertinya tak goyah sedikitpun, tak koyak cat dindingnya secuilpun. Mereka masih saja terus setia berdiri sepanjang jalan, menyisi hidup yang silih berganti, seakan kota ini kesemuanya adalah ‘bangunan cagar budaya’.

Modernisasi rupanya hanyalah secuil warna kehidupan bagi masyarakat kota ini. mereka ogah tinggalkan kebanggaan masa lalu yang telah diwariskan para moyangnya. Termasuklah salah satunya gaya arsitektur yang unik ini. kehidupan dan pemikiran masyarakat Bogor memang jangan pernah coba-coba meragukan, mereka teramat cerdas dan modernis.

Tapi jangan anggap mereka kuno atau kolot ketika mendapati masih mendiami sebuah rumah tua yang sudah berumur ratusan tahun peninggalan kakek buyutnya. “Inilah adalah wujud kesetiaan dan rasa terimakasih kami kepada semua para orang tua terdahulu yang telah mewariskan harta pusaka ini. kita tentu wajib menjaganya agar tidak punah,” begitu alasan seorang tokoh masyarakat setempat menjawab kami.

Lihatlah gedung-gedung yang jadi pusat pertokoan dan perbelanjaan modern alias mall itu. di situ pun disain arsitekturnya masih disenyawakan dengan bangunan lainnya di kota ini yang sudah menjadi ciri. Juga lihat pula cafe-cafe atau warung-warung yang berjejer di sepanjang sisi jalan tertentu itu. sungguh tertata teramat Indonesia sekali.

Atapnya rumbia, tempat duduknya adalah lesehan. Dan sadarilah warung cafe itu ternyata dibangun di teras, balkon atau pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Maka wajar saja bangunan dibelakangnya amat berasa sekali sebagai bangunan tua peninggalan masa lalu.

Tapi sungguh teramat kreatif masyarakat sini memanfaatkan peluang. Mereka berdaya gunakan setiap ruang halaman atau pekarangan yang tersedia untuk jadi bernilai ekonomi, menghasilkan alias jadi sumber pendapatan. Mereka begitu lihai mebaca gelagat para tamu yang mendambakan suasana dan nuansa unik untuk melepaskan lelah.

Sungguh lain dengan di Jambi. rumah tua yang ada dan masih tersisa seakan terus dipaksa agar dipunahkan saja. Biar berikutnya di atas lahannya bisa berdiri bangunan lain yang diharapkan bisa bernilai ekonomi seperti ruko-ruko atau rumah-rumah walet. Berkali-kali sudah para tokoh dan budayawan seperti Junaidi T Noor, Fachrudin Saudagar, Yusdi Andra dan lainnya mengingatkan agar diberlakukan cagar budaya untuk menyalamatkan keberadaan bangunan-bangunan tua yang masih tersisa di Kota Jambi ini.

Maksud mereka tentu saja agar Jambi masih bisa mengeja makna dan perjalanan sejarah dirinya sendiri di masa-masa mendatang. Pasalnya itu adalah salah satu bentuk kebanggaan yang takkan bisa dibeli oleh siapa pun, tapi bisa mengantarkannya untuk mati dengan tenang.

Begitu kisah kedua telah kami sajikan, semoga ada makna ada guna. Bagaimana, masih belum cukup. Baiklah, besok kita lanjutkan lagi, insyaallah.***

Ke Depan, Kebudayaan Akan Jadi ‘Mata Uang’ Baru

Menkokesra: Karena di Masa Pertumbuhan Ekonomi Gelombang Keempat, Maka Pemerintah Mencanangkan Ekonomi Kreatif

KOTAJAMBI-Di era Globalisasi yang sudah dimulai sekarang ini, Indonesia sesungguhnya sudah memasuki satu babak baru yang esensinya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di masa ini setiap elemen masyarakat terus ditantang untuk menciptakan terobosan pembangunan guna bisa mensejahterakan masayarakatnya sendiri guna menghindari sifat ketergantungan kepada bangsa lain.

Demikian catatan penting yang disampaikan Menteri Koordinator Kesejateraan Rakyat (Menkokesra) Ir Aburizal Bakrie saat meewakili presideng mewakili Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuka Kongres Kebudayaan Indonesia yang dilangsungkan di Kota Bogor pada 9 sampai 12 Desember lalu.

“Pada masa sekarang ini disebut masa pertumbuhan ekonomi gelombang keempat. Di mana pada masa itu roda perekonomian akan berporos pada pengembangan aspek kebudayaan sehingga dapat menjadi jati diri bangsa yang bernailai ekonomi bagi kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan,” katanya dihadapan sekitar 500-an orang budayawan peserta kongres di saat itu.

Dia lalu menjabarkan kalau untuk mencapai tujuan visi dan misi mensejaterakan warga negara dengan segenap asset kebudayaan yang dimiliki maka pemerintah telah merancang dan memprogramkan dimulainya gerakan ekonomi kreatif.

“Ada banyak item dari ekonomi kreatif yang bertolak dari basis kekayaan khazanah budaya yang dimiliki bangsa ini. Diantaranya adalah industri film dan media, senirupa, seni pertunjukan, sastra, kerajinan masyarakat, disain, arsitektur dan lain sebagainya. Kesemua itu potensial untuk dikemas sehingganya ke depan bisa menjadi mata uang baru bagi segenap warga masyarakat pemilik dan pelaku dari kebudayaan itu sendiri,” urai Aburizal.

Karena itu diharapkn di mas ke depannya, mayarakat selaku pemilik dn pelaku kebudayaan itu sendiri bisa teru berbuat untuk mengembangkan dirinya sehingganya budaya mereka tersebut bisa jadi bernilai ekonomi yang pada agilirannya bisa menghidupi mereka dan mesejahterakan banga dan negara.

“Kedepan semua kita diharapkan semua bisa kreatif dalam mengembangkn potensi budayanya. Sehingga di mas mendaatang akan muncul karya-karya anak negeri yang mampu menjadi jati diri bangsa,” tandasnya.(c@l)

Direkomendasikan Departemen Kebudayaan Tersendiri dan Mandiri

Tidak Dicampur Aduk Lagi dengan Urusan Pembangunan Lainnya, Turunan-nya Didaerah Juga Harus Menyesuaikan

KOTAJAMBI-Salah satu rekomendasikan penting dari para budayawan se Indonesia yang berkongres di Kota Bogor semenjak 9 sampai 12 Desember lalu adalah dipresurnya pemerintah untuk bisa segera membentuk departemen kebudayaan tersendiri yang mandiri.
Maksudnya tidak lain tidak bukan adalah keinginan budayawan Indonesia untuk dapat mengelola dan dikelola dirinya sendiri semua urusannya. Dasar pijaknya adalah pengalaman dan sejarah peradaban bangsa yang selama ini berjalan tidak normal dipengaruhi oleh sikap apriori pemerintah terhadap eksistensi kebudayaan itu sendiri dalam membangun jati diri bangsa.

Boleh dibilang pemerintah selama ini selalu bermuka dua dalam menyikapi perihal kebudayaan. Pada satu sisi mereka begitu menagungkan keberadaan unsur kebudayaan sebagai salah satu objek pembangunan bangsa dan negara sebagaimana di manaifestasikan dalam salah satu bait lagu kebangsaa Indonesia Raya yang berbunyi ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badangnya’.
Namun pada kenyataannya hasrat untuk membangun sisi jiwa yang merupakan aplikasi dari pembangunan kebudayaan itu sendiri selalu tidak pernah diberi peluang dsan kesempatan untuk bekerja sesuai dengan karekter dan mekanisme sewajarnya ia sebagai suatu wujud lain dari pembangunan dari sisi jiwa manusia.

Buktinya urusan kebudayaan selalu saja digabung-gabungkan dengan urusan lainnya. Seperti semasa Orde Baru pada susunan Kabinet Repelita Kebudayaan bergabung atau digabungkan dengan urusan pendidikan denhgan nama departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) . Lalu semasa pemerintah transisi presiden BJ Habibie tetap juga seperti itu.
Pada masa Orde Reformasi yang dimulai semasa pemerintahan presiden Abduurrahman Wahid atau Gus Dur tergabung dalam Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud). Selanjutnya semasa Megawati menjadi Pariwisata dan Kebudayaan (Parbud) dan terakhir semasa Presiden SBY dibalik menjadi Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar).

Pendeknya apapun yang dibuat pemerintah selama ini selalu saja tidak pernah menyentuh esensi dari arti penting salah satu tonggak pembangunan bangsa dan negara itu.
Lebih parahnya alagi ketika apa yang terjadi di turunannya di Pemerintahan-pemerintahan Daerah (Pemda). Kegagapan menterjemahkan Otonomi Daerah (Otoda) Kebudayaan berikutnya meleber ke sana sini, dipaksa bergabung ke dinas-dinas lainnya yang tak jarang sama sekali tidak mempunyai koneksi kerja dengan kebudayaan.

Ada yang digabungkan dengan pendidikan, ada yang dengan pariwisata, ada yang dengan perindustrian, perekonomian, dan lain sebagainya. Bahkan ada kota atau kabupaten yang tidak memiliki dinas kebudayaan (kota Jambi adalah salah satunya). “Sungguh Ironis,” begitu komentar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Ir Jero Wacik SE sendiri pada saat seremoni pembukaan kongres.

“Padalah urusan kebudayaan itu tidaklah bisa berjalan seiring apalagi bergandengan tangan dengan urusan lain yang sifatnya fisik dan materi. Mencampur adukkannya jelas telah tubrukan yang berakibat semakin rancunya pertumbuhan dan eksistensi kebudayaan negara ini saat ini, negara ini kehilangan jati dirinya,” ketus Teja salah seorang budayawan dan sastrawan dari Riau ke hadapan forum.

“Itu karena kebudayaan yang sebenarnya bekerja di wilayah pembangunan jiwa dan mental warga negara malah dipaksa jadi barang komoditi ekonomi. Dampaknya masyarakat kita pun tumbuh jadi masyarakat yang materialis, konsumtif, anarkis dan borjuis seperti sekarang ini,” tambahnya.

“Ini salah siapa. Ya jelas ini indikasi menterinya tidak becus ngurus kebudayaan. Toh jangan untuk mengurus, untuk menyelami arti dan makna dari kata kebudayaan itu sendiri dia tidak mengerti,” tandasnya semakin ketus yang langsung disambut tepuk tangan dan sorak peserta kongres.

Mengingat pentingnya arti keberadaan kebudayaan di era globalisasi inilah berikutnya peserta kongres pada rapat pleni terakhirnya dengan suara bulat merekomendasikan ke depannya agar pemerintah dapat membuat Deparrtemen Kebudayaan (Depbud) tersendiri dan mandiri.

Tidak lagi digabung-gabungkan dengan urusan lain yang sesungguhnya sangat berseberangan dengasn esensi dan substansi dari kebudayaan itu sendiri. Sebab kalau tidak maka ke depan bangsa ini akan kehilangan kebudayaan dan jati dirinya samasekali, tak punya lagi apapun yang bisa dibanggakan. Demikian putusan kongres yang dibacakan panitia.(c@l)

Kota di Tengah Hutan, Tapi Amat Bersih Laksana Taman Syurgawi

Yang Bisa Dipetik dari Bogor Sebagai Oleh-oleh untuk Jambi (1)

Dari 9 sampai 12 Desember lalu, lima duta budaya Jambi yang salah satunya adalah Posmetro Jambi turut ikut larut dan hanyut dalam helatan kebudayaan akbar yakni Kongres Kebudayaan Indonesia di Kota Bogor Jawa Barat. Selain setumpuk rekomendasi kongres, ada pula banyak pengalaman menarik lainnya yang bisa kami petik dan bawa pulang ke Jambi, sebagai oleh-oleh penebus kepercayaan yang telah diberikan segenap warga Jambi kepada kami. Inilah beberapa kuntum diantaranya.

YUPNICAL SAKETI, JAMBI

Memasuki Kota Bogor nuansa dan suasana lain langsung dirasakan Posmetro Jambi. Maklum Kota Jambi memang teramat berbeda kondisi dan tifografinya dengan Bogor. Kalau Kota Jambi adalah ‘kota kemarau’ yang berhawa panas, Bogor adalah ‘kota kabut’ yang teduh, ‘kota hutan’ yang rindang.

Kalau kota Jambi adalah ‘kota transit’ para ‘musafir’, maka Bogor adalah kota istirahat para pekerja dari Jakarta. Tapi kesamaan diantara keduanya adalah soal ukuran luasnya, keduanya agaknya sama luas. Jadi, siapa tak tercengang mendapati suasana dan nuansa lain yang teramat beda dan teramat berasa. Mendapati Bogor ternyata adalah menemukan sebuah kota yang berdiri megah di tengah lebatnya hutan belantara.
Kerindangan dan keteduhan begitu terasa di setiap tempat. Pohon-pohon pelindung kota bediri kokoh menjulang seperti raksasa hijau pelindung kota. Entah sudah berapa ratus tahun mereka tumbuh di situ. Batangnya yang berotot kekar diserabuti lumut nan hijau dan lembab. Di situ anak-anak terlihat asyik bermain ayun-ayunan layaknya Tarzan. Akar-akarnya seperti menjuntai dari langit. Siapa tak terpana mendapati itu.

Dikota di tengah hutan itu pula berdiri sebuah istana. Ya itu istana kepresidenan yang lainnya selain istana negara di jakarta tentunya. Istana ini berikutnya telah mempertegas pula esensi atau keberadaan kota ini sebagai ‘kota istirahat’. Dan sebutan itu masih berlaku hingga kini, ketika zaman semakin memepet manusia dengan segala aktivitasnya yang komplek dan pelik di kota-kota besar lainnya di bawah sana seperti Jakarta, Bandung atau semarang.

Lalu yang semakin membuat kami tercengang adalah ketika mendapati betapa Kota itu benar-benar adalah kota yang bersih, bahkan teramat sangat bersih. Ruas jalan yang umumnya kecil-kecil, tidaklah sampai selebar dan seluas jalananan di Kota jambi, justeru terlihat teramat bersih.

Aspalnya terlihat hitam mengkilap, seperti baru saja dipel. Padahal kjalau melihat kenyataannya kota di tengah hutan yang dirindangi pepohonan raksasa berdaun lebat itu logikanya pula pasti akan banyak sampah dedauanan berguguran di bawahanya, Tapi rupanya tak terlihat adalah sehelai daun pun terserak sia-sia di jalanan kota yang sempit-sempit itu.

Ya, Mungkin memang embun yang basah dan renyai gerimisi yang selang satu jam sekali terus turun di situ telah turut membantu membasuh jalanan itu hingga terlihat selalu bersih. Tapi ternyata bukan karena itu semata kota itu nisa begitu bersih rapi mengkilap laksana taman syurgawi itu. kebersihan kota rupanya sudah menjadi perhatian dan kesadaran segenap warganya.

Bayangkan saja, ketika baru saja selembar daun terlepas dari tampuknya dan jatuh melayang ke jalanan, belum lagi daun itu sampai meyentuh aspal dari tiga penjuru tiga orang petugas bersenajatakan sapu dan serokan sudah berlari seakan ingin berebut sehelai daun kering itu, untuk berikutnya dipindahkan tempat sampah yang tersedia di hampir setiap ruas jalan.

Siapa tak berdecak kagum melihat etos kerja dan tanggung jawab besar yang ditunjukkan petugas kebersihan itu. mereka berlomba dan bahkan bersaing untuk membersihkan jalanan kotanya. Sungguh beda dengan Jambi, petugas kebersihan entah di mana, tempat sampah entah di mana.

Lalu, kita masih berkutat seputar jalan. Di kota yang pernah dijejak presiden Amerika serikat George W Bush bebeapa waktu lalu atau serombongan pemimpin dunia semasa anggota APEC semasa kepemimpinan presiden Soeharto dulu. Meskipun jalanannya kecil dan terlihat sempit-sempit, seperti jalan lingkungannya saja kalau di Jambi, tapi selain bersih jalanan itu samasekali tidak telihat ada atau pernah berlubang.
Buktinya tak terlihat ada sedikit ada tambalan aspal jalanan yang berliku turun naik bukit itu. semua seakan tidak pernah ada yang retak apalagi sampai rusak, bergelombang seperti rambut keriting, atau jadi kubangan kerbau dan badak seperti jalanan di Kota Jambi.

Ya mungkin saja, karena di situ ada istana negara maka pemerintah senantiasa mengucurkan dana besar untuk pembangunan dan pemeliharaan jalanan kotanya. Pasalnya tentu saja pemerintah tidak mau sampai malu pada para tamu negara yang diboyong bersantai ke situ.

Tapi ternyata bukan hanya karena itu. masyarakatnya sendiri juga terlihat begitu peduli dengan kondisi jalannya. Mereka begitu mematuhi peraturan lalulintas. Tak ada kendaraannya yang ovr kapasitas berlalu di atas jalanan itu. jangan muatan mobil, orang boncengan tiga naik motor saja tidak terlihat kecuali bersama anak kecil.

Ditanya mengapa begitu, jawab mereka begitu santai tapi jujur, karena mereka tak mau jalanan kota mereka rusak hanya karena motor mereka berlebih muatan. Sungguh luar biasa.
Lalu menilik ke sisi setiap jalan. Di situ got, selokan atau pun drainase, terlihat teramat bersih. Tak ada kotoran atau sampah yang nyangkut di situ. Begitu juga halnya dengan sungai dan anak sungai berbatu yang berair jernih melintasi kota mereka. Tak telihat samasekali ada sampah di situ, apalagi jamban pemandian MCK seperti di sungai dan anak sungai di Kota Jambi.

Memasuki pasar tradisionalnya, pemandangan bersih juga masih terlihat. Pasar itu sepertinya baru saja disapu petugas, padahal kesibukan di situ tak lebih tak kurang samalah dengan di pasar angsdouo Jambi. tapi di situ ada sampah yang sampai menimbulkan bau, sehingganya para turis bule pun mau berbetah-betah berbelanja di situ. Sungguh luar biasa.

Nah, setelah begitu, bagaimana dengan mun Jambi. masih soal kebersihan kau akan menyibukkan diri perihal perlu tidaknya menggunakan jasa pihak ketiga seperti yang terjadi belakangan ini. toh soal kebersihan bukanlah semata terletak pada siapa yang harus mengelolanya, tapi melainkan perihal karekter setiap individu masyarakat dan negerinya sendiri.

Seperti Bogor, sedari dulu mereka memang berkarekter hidup teratur dan bersih. Masih tak percaya, baiklah besok kita beberkan kisah lainnya yang berhasil kami petik dari kota hutan itu. sekian untuk saat ini.***

5 Budayawan Jambi Bertolak ke Istana Bogor

Ikuti Kongres Budaya Nasional Bersama Presiden SBY

KOTAJAMBI-Berbeda dari penyelenggaraan sebelum-sebelumnya keikutsertaan Jambi pada helatan Kongres Budaya, tidak pernah diekspos sedemikian rupa, bahkan boleh dibilang minim ekspos. Tahun ini pada penyelenggaraannya di Kota Bogor Jambi kembali mengirim utusan atau dutanya.

Kali ini Jambi mengirim lima orang seniman atau budayawannya dari berbagai latar belakang seperti yang dikehendaki oleh Panitia Penyelenggara Pusat. Kelima duta yang dinilai punya kredibilitas guna mewakili bidangnya masing-masing itu adalah para tokoh seni dan budaya Jambi yang sudah tak asing lagi dikenal publik.

Mereka adalah DR Sudaryono mewakili kalangan akademisi yang juga sastrawan, lalu Jafar Rasuh dari Disbudpar mewakili Pemprov yang juga seniman rupa dan budayawan. Suroso dari kalangan Birokrat yang juga seniman musik musik. Yang lainnya adalah Sakti Alam Watir yang merupakan pemerhati dan tokoh masyarakat seni Jambi, serta Yupnical Saketi mewakili kalangan pers dan media yang juga seniman Jambi.

Menurut kabar para duta budaya ini akan berbaur dengan puluhan duta dari daerah lainnya di Istana Negara Bogor, tempat yang beberapa waktu lalu dikunjungi Presiden Amerika Serikat (AS) yang kontroversial George Walker Bush, karena menurut jadwal panitia pada 9 Desember ini akan digelar acara pembukaan yang dilakukan langsung oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Helatan ini sendiri menurut jadwal panitia akan berlangsung sampai 12 Desember mendatang. Selama di helatan, para duta budaya daerah tersebut bakal berjibaku dalam agenda yang teramat ketat dan padat. “Hanya saja pada tanggal 10 kita akan disuguhi pertunjukan berbagai kesenian daerah dari pagi sampai malam. Selebihnya adalah agenda seminar dan sidang,” demikian diungkapkan Mas Suroso yang bertindak selaku Juri Bicara (Jubir) kepada Posmetro Jambi kemarin.(c@l)

Program Kebersihan Belum Bisa Efektif Kalau Tanpa Solusi Zonasi

Wako Pulang, Lapak Kembali Centang Prenang

KOTAJAMBI-Aksi Turun langsung membersihkan Kota Jambi dari sampah yang rajin dilakoni pasangan Walikota (Wako) dr Bambang Priyanto dan Wakil Walikota (Wawako) Sum Indra pasca dilentik beberapa waktu lalu, ternyata belumlah bisa efektif benar merubah prilaku masyarakat.

Buktinya, di bebeapa kawasan yang sudah disatroni keduanya guna ditertibkan ternyata samasekali belum mampu merubah kondisi ril kawasan bersangkutan. Pasalnya, baru saja bebeapa waktu Wako atau Wawako menyingsingkan lengan baju di situ membersihkan sampah-sampah berserakan serampangan.

Lalu sampai hampir bebuih muutnya memberikan wejangan kepada Pedagang Kaki Lilma (PKL) dan masyarakat setempat tentang arti pentingnya menjaga kebersihan ternyata samasekali belum bisa memberikan pemahaman yang berarti terhadap misi positif sang pemimpin baru tersebut.

Boleh dibilangm, belum seberapa jauh sang pemimpin berlalu dari tempat tersebut, berikutnya sudah ada lapak-lapak yang sebelumnya sudah disingkirkan atau dihancurkan itu kembali berdiri di tempatnya semula.

Semakin kentara ketika beberapa hari berikutnya saat masyarakat sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi hari raya Idul Adha, ketika pada saat yang sama tak ada lagi petugas yang mengawasi, lapak-lapak lainnya pun sudah kembali tumbuh subur di situ. Seperti spora jamur di musim penghujan. Kawasan itupun sudah kembali ke bentuk sediakalanya, centang prenang seperti kapal pecah.

Leihat saja di sepanjang Jalan Patimura yang disatroni Sum Indra bersama Pol PP malam-malam, lalu pasar Angsoduo, dan terakhir Pasar Baru Talangbanjar, kondisinya kini seakan tak ada beda ketika sebelum dan sesudah dibersihkan Wako.

Ditanya Posmetro Jambi, para pedagang itu malah dengan enteng memaparkan jawaban yang benar-benar masuk logika. “Nak pindah kemano Pak, orang nak lebaran haji kito butuh duit tuk biso beli daging, soalnyo kupon dak dapat sikok pun,” alibi seorang pedagang.

Hal senada pun diungkapkan oleh PKL dan masayrakat lainnya. Ditegaskan mereka, pihaknya bukannya tidak mau mematuhi dan mengikuti apa yang diinstruksikan Walikota, akan tetapi kondisilah yang terus memaksa mereka untuk tetap berjualan dan berjuang dfi tempat itu.
Mereka harus mempertahankan hidupnya, dari untung jualan yang hanya 10 atau 20 ribu rupiah sehari itu. Teramat klise memang, tapi juga sangat masuk akal.

Mereka menyambut baik misi Pemerintah Kota (Pemkot) menjadikan Kota Beradat Jambi jadi kota yang bersih dan rapih, tapi seyogyanya demi berjalan lancarnya program itu, pemerintah sudah menyiapkan solusi berupa tempat atau zonasi khusus bagi mereka untuk berjualan. “Kareno kalu tanpa itu, tak kan biso berjalan efektif, Pak,” alasan mereka berkilah.(c@l)

Masyarakat Budayanya Sudah Mandiri, Sudah Jadi Subjek Bukan Lagi Objek

Pelajaran Berharga dari Wakatobi yang Sukses Bangun Kebudayaannya

Sepulang dua duta budaya Jambi pada helatan Festival Tradisi Lisan Internasional (FTLI) VI yang berlangsung di Wakatobi Gorontalo sepekan lalu, Nukam Ss dan ‘Tumenggung’ Firdaus ‘Tan Malaka’ langsung disamperin Posmetro Jambi di Kantor Bahasa Jambi KBJ) kemarin.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Adalah rentetan kisah menarik yang bisa jadi pelajaran menarik bagi Jambi yang tengah masih belajar membangun kebudayaan negerinya sendiri ini, adalah oleh-oleh paling bernas paling bernilai dari Wakatobi sebuah kota kabupaten di provinsi pemekaran yang masih teramat muda belia seperti Gorontalo yang teramat pantas disuguhkan bagi publik seni dan budaya Jambi ini. Apa saja itu, berikut petikan beberapa diantaranya yang pasti akan terasa manis untuk dicicipi bersama.

“Ada banyak sekali pelajaran dan pengalaman menarik yang sejatinya semakin bermakna semakin bernilai guna kalau dibagi-bagikan kepada segenap saudara kita di sini,” kata Nukman memulai kisahnya sembari menyuguhkan sebungkus oleh-oleh berupa panganan ringan di meja. Waktu itu Firdaus sendiri belum hadir di situ. Dari SMS yang dikirimnya dia mengatakan masih dalam perjalanan kaki dari Taman Budaya Jambi (TBJ) menuju KBJ saat itu.

sembari menunggu kehadiran sang aktivis seni budaya Jambi yang di Wakatobi duduk sejajar dengan sederetan profesor dan doktor dari berbagai penjuru tanah air bahkan dunia itu, Nukman nyantai mengurai cerita, yang terkadang terasa mampu membengkakkan dada karena rasa bangga dan haru, terkadang juga terasa lucu bahkan sesekali miris dan terasa menyayat-nyayat sanubari.

Bagaimana tidak lucu namannya ketika kedua duta Jambi yang kesehariannya memang dikenal selebor dan slengean itu sempat bingung mematut gaya penampilan. Antara harus pakai sepatu apa sandal di helatan internasional itu.

“Saya menyuruh Pak Firdaus pakai sepatu karena dia pemakalah. Itu tentu sangat menganggu baginya karena di luar kebiasaan kesehariannya. Apalagi ketika dia sudah memakai sepatu saya malah mengganti sepatu saya dengan sendal, jela saja dia gondok, apalagi ketika penampilan dengan sandal itu rupanya mendapat apresiasi luar biasa dari publik sana yang menganggap betapa berseahajanya Jambi dengan kesederhanaannya,” kisah Nukman.

“Tapi yang paling berkesan dan membuat tercengang semua orang bahkan Bupatinya sendiri, adalah ketika kita mendapati betapa ramainya helatan yang dilangsungkan di lapangana terbuka itu oleh berbagai aksi dan atraksi kesenian tradisional masyarakat setempat,” sela Firdaus yang tiba-tiba sudah nongol di pintu ruangan bersama sang ‘tunangan’nya Aprileni SPd saat itu.

Wartawan harian ini bersama penggiat Komunitas Musikalisasi Puisi (Kompi) Indonesia-Jambi Ide Bagus Putera yang hadir saat itu pun langsung bergegas menyalami lelaki 40-an yang saat itu tampil rada neces tanpa jenggot dan cambang, apalagi saat itu dilehernya terlihat melilit slayer unik bercorak kotak-kotak warna merah dan putih seperti kain sarung yang bertuliskan ‘WAKATOBI’.

“Di sana kita mendapati betapa masyarakat budaya di situ sudah begitu mandiri. Mereka sudah berlaku sebagai subjek dalam pembangunan kebudayaan menyeluruh, bukan lagi objek seperti yang kerap terjadi selama ini. bayangkan saja, kita pikir apapun yang disuguhkan di situ saat itu adalah ramuan agenda atau materi acara yang sudah dikondisikan oleh panaitia penyelenggara dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi, ternyata kesemua itu adalah hasil karya inisiatif dari kemlompok dan individu masyarakat itu sendiri,” paparnya.

“Bayangkan saja, Bupatinya saja dalam peidato resminya sampai menitikkan air mata karena rasa haru yang teramat sangat, karena tak menyangka partisipasi masyarakatnya sedemikian besarnya dalam memeriahkan, dan memberikan makna serta menyukseskan helatan tersebut,” timpal Nukman.

“Kita di sana memang benar-benar tak menduga bakal mendapatkan pengalaman yang sangat luar biasa. Bayangkan saja, helatan bertaraf internasional diracik sederhana namun amat terasa begitu membumi. Jangan bayangkan para tamu negara akan mendapat hotel untuk penginapannya di situ, kita semua diinapkan di rumah-rumah penduduk,” imbuhnya.
“Lalu, jangan pikir di sini kita akan menyantap hidangan mewah seperti menus restoran, kita semua disuguhkan kuliner asli masyarakat setempat. Sungguh itu semua sangat luar biasa. coba pikir, seminar internasionalnya saja berlangsung di atas kapal nelayan. Jadinya kita bisa seminar sembari merasakan langsung kehidupan masyarakat maritim di negeri itu sambil sesekali menikmati indahnya alam laut,” giliran Firdaus yang menimpali.

Lalu beberapa waktu berikutnya seperti berlomba lari sprint mulut keduanya pun tak henti-hentinya berkisah, sampai-sampai harian ini jadi bingung hendak mencatan yang mana terlebih dahulu.

Yang jelas kesimpulan yang pantas menjadi pelajaran berharga guna dipetik publik seni dan budaya Jambi saat ini diantaranya adalah perihal konsep pelaksanaan helatan akbar itu yang diramu dan disajikan begitu membumi dengan masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.

Andai saja Jambi yang ternyata diloloskan dewan pertimbangan helatannya sebagai tuan rumah 2010 mendatang bukannya Bangka-Belitung (Babel) seperti yang telah diputuskan, maka tidak menutup kemungkinan helatan pada tahun itu akan bertemakan seputar ‘Tradisi Lisan (TL) masyarakat pedalaman’ seperti Kubu.

Pasalnya, merunut apa yang sudah dilakukan maka tematis TL Masyarakat Daratan dan Pedesaan, TL Masyarakat Kota, dan TL Masyarakat Maritim sudah diselenggarakan pada penyelenggaraan sebelum-sebelumnya.

Kalau itu jadi, maka Itu artinya Jambi idealnya amenyelenggarakan helatan itu di pedalaman rimba, mungkin itu idelanya adalah di pedalaman Bukit 12 atau Bukit 30. Para duta dari berbagai penjuru nusantara bahkan dunia akan berfestival bersama masyarakat Kubu itu sendiri. mereka akan merasakan sendiri secara langsung keberadaan tradisi dan kebudayaan yang hidup di tengah masyarakatnya di situ.

Itu artinya seminar di atas kapal di Wakatobi itu, kalau‘di-Jambi-kan’ maka mungkin akan sama artinya dengan menyelenggarakan seminar internasional di atas rakit bambu Kajanglako sembari menyusuri Batanghariu dari hulu sampai hilir.

“Tapi persoalannya sekarang sudah siapkan Jambi untuk melakukan terobosan seperti wakatobi itu. pasalnya kita punya SDA, SDB, dan bahkan SDM melimpah, tapi bagaimana mau mewujudkan ‘Jambi yang Mampu, Maju dan Mandiri’ kalau pembangunan kesenian dan kebudayaan masyarakatnya, sampai kini masih saja memposisikan mereka sebagi objek oleh kalangan pemerintah yang merasa merekalah yang profesional, merekalah yang paling jago memenej, yang paling tahu kondisi ril masyarakatnya,” kritik sang tokoh yang mendapat gelar ‘tumenggung’ dan ‘profesor’ Kubu dari peserta FTL Wakatobi itu.

buktinya, imbuhnya lagi, semua agenda budaya dan kesenian di Jambi saat ini masih dominan tersentralisasikan di Kota Jambi semata, seolah daerah lain tak punya kesempatan. Masyarakat pemiliki budaya itu sendiri, pun dihadirkan atas pinsip dan nilai kontrak, tampil sesaat di panggung.

“Lalu kalau di Wakatobi, ada pembuat parang yang memecahkan rekor dunia dengan karya spektakulernya berupa parang raksasa. Dan itu dia lakukan samasekali tanpa instruksi apalagi bantuan dana dari pihak manapun. Itu partisipasi murni, inisiatif dirinya sendiri yang merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk memajukan kebudayaan negerinya,”

Sedangkan di Jambi, tambahnya, ada banyak rekor MURI yang terpecahkan, tapi tak satupun yang esensial, terlahir dan tercipta sebagai berwujud partisipasi menyeluruh dari masyarakatnya. Semua rekor yang tercipta di Jambi adalah karena rekayasa kekuatan kelompok tertentu saja yang mengkondisikan masyarakat demi mengejar prestise dan populeritas semu milik merek dagang satu produk.

“Jadi, mana Jambi yang Mampu, Maju dan Mandiri itu. toh Wakatobi saja sudah mampu menciptakan ruang wacana kebudayaan yang begitu jumawa kepada dunia. Samasekali Wakatobi bukan labi-labi pemekaran. Entah nanti, kita lihat sepak terjang provinsi pemekaran baru lainnnya yang masiht ergolong tetangga kita 2010 nanti, Babel. Mungkinkah meeka juga akan mempecundangi kita? Entahlah,” tandas keduanya memungkas, seperti Magrib yang memungkas matahari saat itu.***

Pembangunan Budaya Masih Saja Diremehkan, APBD-nya Selalu Terkecil Masih Kena Pangkas

Mengingatkan Pemerintah Tentang Bait ‘Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya’ dalam Lagu Indonesia Raya

Jelang tutup tahun, di manapun, di lembaga apapun memang sudah jadi tradisi dapat dipastikan melakukan audit keuangan yang biasa disebut d3engan istilah ‘tutup buku’. Tak terkecuali di pemerintahan, saat ini tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tengah alot dibahas guna bisa gol jadi APBD bagi daerah dalam melakukan pembangunan selama setahun ke depan.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI


Dari berseliwerannya angka-angka dalam nominal yang puluhan dan ratusan juta bahkan miliar itu. sebenarnya kemana saja uang itu diarahkan. Mengamalkan amanat UUD 45 dan visi misi bangsa adalah tujuan kesemunya yang seharusnya.
Sekali seminggu, setiap upacara bendera setiap Senin mereka selalu menyanyikan ‘Bangunlah Jiwa, Bangunlah Badannya,’. Tapi bagian mana yang sebenarnya sudah tampak telah terbangun.

Tapi benarkah demikian adanya, ketika ternyata sampai kini apa-apa yang telah diprogramkan pemerintah selama ini lebih banyaklah tidak pernah bisa dirasakan oleh rakyat sebagai sumber uang APBD tersebut.

Sepertinya belum ada yang bangun atau terbangun-kan, semua masih terlelap tidur dibuai mimpi mayanya yang terlalu indah tentang ‘Indonesia Raya’ yang sejatera jiwa dan raga setiap rakyatnya. Faktanya yang ada kini masihlan mereka yang ‘menderita Jiwa dan Raganya’.

Yang miskin masih terus menjerit, merintih, perpekik terkaing-kaing, penderitaan mutlak mendera hidupnya. Harga semua barang naik. Lapangan pekerjaan payah, upah teramat kecil. Sudahlah begitu bathin mereka juga menderita karena kemiskinan mental, kedangkalan emosional, keterbatasan ruang wacana, keterkungkungan wawasan dan pengetahuan. Pendidikan yang rendah. Pendeknya jiwa dan raga mereka menderita teramat sangat, parah.

Tak beda halnya dengan mereka yang katanya sudah kaya berkecukupan ekonomi keluarganya. Punya rumah beton dan bergenteng mewah, Makan bisa kenyang, tapi ternyata masih saja menderita jiwa dan mentalnya. Di mulutnya mereka memang tertawa, tapi ternyata dalam hatinya mereka merintih menahan luka. Lacurnya mereka tidak tahu apa sesungguhnya yang telah menyebabkan hati mereka terasa hancur dan luluh sehingganya harus bersedih sedemikian lara itu.

Meeka tak tahu kalau kesedihan itu mereka dapatkan dari jiwa yang kamuflase. Jauh dari sentuhan kesejatian dan keutuhan seharusnya sebagaimana eksistensinya sebagai manusia. Mereka tidak tahu lagi bagaimana semestinya untuk bisa menjadi manusia seutuhnya. Mereka kehilangan kebahagiaan hakiki, karena mereka tak pernah punya karekter, jati diri, yang sesungguhnya adalah wujud kebanggaam sejati dari seorang anak man\usia.
Mereka punya rumah gedung bertingkat-tingkat, mereka punya jembatan berlipat-lipat, mereka punya deposito bank seperti ganggang, punya jabatan sepanjang jembatan, punya segala tapi ternyata kebahagiaan hidup tidak terletak di situ. Gedung bertingkat pencakar langit itu ternyata sekeropos rumah kardus. Bunga uang deposito itu ternyata hanya sebatas gincu. Jabatan jembatan itu itu ternyata hanya jerat mengincar nyawa.
Makanya dalam pencarian kebahagiaan itu mereka mencoba mencari tantangan. Lalu mencoba korupsi, lalu terbetik ingin merasakan masuk bui, tiba-tiba ingin menjual diri, lalu mencoba mengusik tuhan. Dan akhirnya karamlah dia di lembah durjana. Sama nasibnya seperti si miskin papa.

Itu semua karena mereka mengidap kemiskinan jiwa. Mereka tidak pernah mendapat pembangunan jiwa. Mereka tidak pernah dididik mentalnya. mereka tak pernah serius belajar agama, Mereka tidak pernah mau belajar mengenal dan memahami budaya apalagi untuk jadi berbudaya. Tubuh mereka hanya terdiri dari tulang, daging dan darah. Tak ada jiwa terbangun di situ. Jadi wajarlah kalau semua merana seperti sempana yang berkibar tanpa makna.

Berkaitan dengan kondisi itulah, sudah semestinya pemerintah kini mulai menyadari diri, dan lalu mengakui, kalau sesungguhnya selama ini mereka trelah menapikan pembangunsan sisi jiwa dan mental (agama dan budaya). Selalu mengutamakan sisi badan, raga atau fisik. Melulu gedung, atau mobil dinas. Lacurnya itupun tak lebih dari dimaksudkan untuk gengsi dan prestise semata. Bahkan tak jarang karena latah terpengaruh trendi semata.

Mobil dinas selalu dianggap lebih penting ketimbang festival seni atau budaya. Revitalisasi atau pelestarian rumah-rumah kuno, mengangkat khazanah sastra, dan lain sebagainya. Bukti dan faktanya, anggaran untuk urusan kesenian dan kebudayaan selalu yang teerkecil angkanya, sedari dulu kala. Kalah melulu dari urusan ATK kantor apalagi mobil dinas.

Akan semakin menyedihkan nasibnya ketika pemerintah berniat mengadakan efisiensi seperti sekarang ini. Ketika terjadi pemangkasan anggaran maka anggaran di dinas kebudayaan adalah yang paling pertama dan terbesar jumlah dipangkasnya. Begitu informasi seorang budayawan Jambi yang menolak dituliskan namanya karena kapasitasnya yang ‘mendua’, yang ternyata juga salah seorang aparatur pemerintahan.

Seperti yang terjadi saat ini, anggaran untuk Disbudpar ternyata hanya tersisa dijatahkan 9, padahal tahun sebelumnya meeka yang terkecil hanya 35. bayangkan bisa buat apa dengan budged yang hanya sebesar itu. lebih kecil dari anggaran mobil dinas salah satu instansi yang minta bebeapa buah mobil dinas baru.

Alasan pemangkasan itu pun kabaranya teramat klise. Mereka dipangkas karena saudara mereka yakni Diknas harus ditambah jatahnya sebagaimana amanat undang-undang. Kalau begini adanya bukankah sama saja artinya dengan ‘setali tiga uang’. Pada dasarnya tak pernah ada perubahan penggaran untuk pembangunan sisi ‘jiwanya’ tadi.

Mungkin dapat dimaklumi kalau yang dipangkas adalah jatah untuk Kimpraswil. Karena Kimpraswil dan Budpar atau Diknas beda ruang lingkup kerjanya. Kimpraswil membangun ‘badanya’, sama seperti Distan, DKP, Dinkes dan lainnya. Beda sekali dengan Budpar dan Diknas.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unja sampai kini masih terus mengkritisi arah dan sasaran penyaluran dari kekayaan negeri itu. mereka gerah dengan daftar program dan proyek yang diajukan pemerintah ke para wakil rakyat di DPRD ternyata lebih banyaklah atau lebih besarlah anggaran yang diperuntukkan menyenangkan kepentingan mereka sendiri ketimbang memenuhi kebutuhan kehdiuapn rakyatnya.

Mengganti mobil dinas yang sudah ketinggalan zaman dengan mobil dinas baru ternyata masih lah menjadi streotip yang mengalahkan arti pentingnya membangun jati diri bangsa. Kalau begitu silakan bangun terus gedung, jembatan, jalan, keramba dan lahan sawit sebanyaknya, seluasnya.

Tapi ingat banyak yang akan masuk rumah sakit jiwa dan bunuh diri kalau nanti bangunan itu runtuh diserang teroris atau hama seperti koruptor, karena pasti saat itu tak ada satu pun diantara ‘rakyatnya’ yang punya rumah lain, lahan lain di jiwanaya di hatinya yang tak pernah ‘terbangun-kan’ itu. tunggu dan lihat saja nanti, sepuluh atau duapuluh tahun ke depan. Masihkan akan ada Jambi saat itu.***.

ATL Internasional 2010 Gagal ‘Landing’ di Jambi, Berbelok ke Babel

Nukman Ss: Jambi Kalah Terhormat, Babel Memang Lebih Berambisi, Kadisbudpar-nya Langsung Hadir ke Wakatobi, 2012 Harus Jambi

GORONTALO-Meski kehadiran Jambi dengan makalah dan misinya jadi tuan rumah Festival ATL Internasional 2010 sempat mengundang apresiasi mendalam dari peserta, namun pada akhirnya Jambi ternyata harus legowo dan sangat berlapang ketika misi besarnya memboyong festival tersebut ke Jambi untuk 2010 mendatang harus tertunda.

Pasalnya, rapat dewan formatur ternyata lebih memilih Bangka Belitung (Babel) sebagai tuan rumah untuk dua tahun mendatang. Banyak sedikit kondisi itu tentu saja sempat menyesakkan dada dua orang duta Jambi yang dipercayakan pemerintah publik Jambi untuk memboyong agenda besar dwi tahunan itu ke negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.
“Kita tentu saja kecewa, mimpi membawa pesawat ATL Internasional ini landing di Jambi terpaksa harus buyar. Tapi apa boleh buat, kita sudah berjuang sebisa kita, habis-habisa mempromosikan Jambi dengan kesiapannya, tapi kita ternyata harus iklaskan tetangga kita Babel yang ditunjuk,” cerita Nukman Ss duta budaya Jambi itu dalam nada nelangsa.

“Semoga pemerintah dan publik Jambi yang menitipkan kepercayaannya kepada kami tidak kecewa dengan kabar berita yang akan kami bawa pulang sebagai oleh-oleh ini,” harapnya.
Di tambahkah Firdaus duta budaya Jambi yang lainnya, memang pada saat rapat penentuan tuan rumah itu Jambi dan Bangka Belitung adalah dua kadidat kuat. Tapi rupanya Babel jauh lebih ambisius. Buktinya guna berpromosi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Psariwisata (Kadisbudpar) Pemerintah Provinsi (Pemprov)-nya turun langsung atau hadir langsung di acara tersebut sebagai duta budaya negerinya.

“Mungkin itu yang menjadi salah satu faktor penentu atau bahan pertimbangan ekstrinsik hingganya pilihan dewan formatur menunjuk Babel. Tapi kita tidak boleh patah arang, dengan pengalaman ini, untuk dua tahun selanjutnya yakni 2012 Jambi harus jadi tuan rumah. Kenapa karena event sangat penting untuk membangun jati diri dan kebudayaan negeri guna membentuk pribadi-pribadi publik Jambi yang mumpuni untuk masa depannya. Apalagi Jambi memang memiliki kekayaan melimpah yang pantas untuk disimak negeri dan negara lain hingga nantinya bisa jadi devisi pula,” pungkas Nukman diamini firndaus.(c@l)

Kabar Langsung dari Duta Budaya Jambi

Kabar Langsung dari Duta Budaya Jambi di Arena Festival ATL Internasional di Wakatobi Gorontalo

Presentasi ‘Tumenggung’ Firdaus Pukau Profesor Antropolog Belanda, Seminar Berlangsung di Atas Kapal Pesiar

Ini Kabar langsung yang diterima Posmetro Jambi dari dua orang duta Festival Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Internasional 2008 yang berlangsung di kabupaten Wakatobi Provinsi Gorontalo semenjak 3 hari lalu hingga besok.

YUPNICAL SAKETI, GORONTAlO-JAMBI

Kemarin adalah giliran Firdaus, pemakalah dari Jambi yang mepresentasikan makalahnya ke hadapan audiens dan para tamu peserta maupun wisatawan pada festival tersebut. Diceritakan Nukman Ss salah seorang duta dari Jambi lainnya, meski harus ber-panel dengan para pemakalh lain dari Universitas Leiden Belanda yang nota adalah seorang profesor dan pakar antropolog dunia, Firdaus samasekali tidak terlihat canggung.
Bahkan menurut Nukman, meski tidak menyandang gelar akademis apapun selain nick name atau gelar sastra Firdaus ‘Fakir’ sebagai seorang penyair, Firdaus tampil dengan penuh percaya diri. Bahkan tanpa harus malu-malu, sang aktivis seni sastra dan budaya Jambi samasekali tak canggung ketika harus memperagakan isi dari makalahnya yang mengangkat perihal sistem tradisi lisan di masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) atau Kubu.

“Beliau samasekali tidak canggung ketika harus tampil bertelanjang dada tanpa baju layaknya keseharian suku Kubu seperti yang tengah dipaparkannya. Bahkan beliau tak kesulitan untuk memperagakan beberapa adegan gerak tubuh guna mepresantasikan tarian Kubu saat berupacara,” cerita Nukman via Ponselnya semalam.
“Bahkan dengan kejadian itu kini dia layak kita gelari selaku ‘Tumenggung’ Kubu seperti nara sumber dari makalahnya itu, Tumenggung Tarib dan kelompoknya. Kini ada ‘Tumenggung’ Firdaus juga lho,” selorohnya Nukman.

Sementara itu, Firdaus sendiri kepada Posmetro Jambi mengaku teramata puas dengan apa yang dipaparkananya, karena ternyata di luar dugaan mendapat apresiasi dan atensi yang teramat sangat dari audiens dan publik seerta para turis yang hadir di acara itu.
Bahkan, ceritanya, tingginya antusias audiens tidak saja terlihat dari bertubi-tubinya pertanyaan dari peserta. Panelis atau pemakalah lainnya yang seorang profesor pakar antropolog dari universitas Leiden Belanda pun ikut pula bertanya karena terpancing rasa penasarannya oleh gaya Firdaus yang amat sederhana namun bernas berisi itu.

“Panelis Profesor dari Belanda itu menyatakan sangat tertarik dengan keberadaan suku Kubu seperti yang di makalah saya itu. dia bahkan menyatakan akan mengajukan proyek penelitian ke universitasnya dan dua pemerintahan yakni Belanda dan Indonesia sendiri. hal ini tentu saja sebuah presden positif bagi Jambi,’ ungkasp Firdaus Bangga.

Di sisi lain, baik Firdaus mau pun Nukman juga menceritakan tentang helatan yang ternyata sangat unik itu. festival itu sendiri dilangsungkan di atas Kapal Ferri wisata yang tengah berlayar di atas laut lepas. Hal itu berkaitan pula dengan tema yang diangkat panitia yakni tradisi lisan masyarakat pantai wakatobi. Firdaus sendiri kemarin bahkan mengaku sangat surprise dengan seminar internasional yang dilangsungkan di atas kapal tersebut.

“Saya langsung ingat tentang pernjanjian Renville antaraPemerintah Indonesia dan Belanda yang dilangsung di atas geladak kapal juga. Pikir saya mungkin seperti inilah suasananya ya,” cerita Firdaus.

Sungguh model itu adalah garapan yang sangat menarik dan baru yang pantas pula diaplikasi oleh Jambi yang punya Sungai Terpanjang di Sumatera yakni Batanghari. Akan sangat memungkinkan helatan serupa bisa digelar di atas rakit Kajanglako menyusuri sungai terpanjang itu dari hulu sampai hilir atau muaro. Pastilah kesannya akan sangat luar biasa.

Lalu kapan kedua duta seni Jambi itu akan kembali ke kampung halamannya bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini. menurut mereka, kalau mengikuti agenda resminya helatan memang akan berakhir hari ini. setelah berakhir semua peserta akan kembali ke negerinya masing-masing membawa setumpuk cerita tentang pengalaman dan ilmu baru yang menarik di Wakatobi, beserta setumpuk oleh-oleh lainnya pula tentunya.

“Saya mungkin akan langsung balik ke Jambi, tapi rekan Firdaus masih ada agenda penting lainnya, dia akan menghadiri pula Kongres Kebudayaan yang 10 Desember nanti dihelat di Kotas Bogor. Dia kabarnya akan transit di Jakarta saja sembari menunggu momentum itu,” pungkas Nukman yang langsung diiyakan Firdaus.***

Senin, 01 Desember 2008

Jambi Ibukota Seni Lukis Sumatera



teks: Mirwan Yusuf, kurator PLDPS tengah memaparkan pemikirannya ke hadapan Audiens

Maka Segala Perangkatnya, Termasuk Infra Struktur Harus Diadakan

SUNGAIKAMBANG-Jambi mulai sekarang adalah ‘ibukota seni lukis di Sumatera’. Unkapan itu tidaklah bisa dibilang bombastis atau terlalu hiperbolais kalau menilik dari kiprah para seniman lukis Jambi dalam membangun jejaring seni lukis di pulau andalas ini. Begitu tanggapan para pelukis Sumatera ketika diminta tanggapannya mengenai Pameran Lukisan dan dialog Perupa se-Sumatera (PLDPS) yang sudah dipatenkan menjadi event tetap berskala regional yang diselenggarakan di Jambi semenjak tahun lalu.
Dan tahun ini adalah penyelenggaraannya yang ke-12 kalinya dan kedua kalinya secara kontinyu semenjak ditetapkan menjadi event berkala tetap di Jambi. Hal itu-pun direspon positif oleh pemerintah provinsi Jambi lewat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) seperti yang disampaikan dra mualimah dalam sesi jumpa pers yang digelar di Taman Budaya Jambi (TBJ) kemarin sore.

Namun yang menjadi persoalan berikutnya adalah bagaimana kesiapan Jambi sendiri untuk menjadi ‘ibukota’ tersebut. Pasalnya layaknya ibukota negara seperti Jakarta, yang menjadi pusat segala hal, baik pusat informasi, pusat bisnis, pusat pemerintahan, pusat gejolak sosial dan lain sebagainya.

Maka Jambi selaku ibukota senilukis di Sumatera pun tentu saja harus pula menjadi pusat atau sentra dari segala sesuatu tentang geliat seni lukis di ranah Sumatera yang membentang panjang dari Sabang di Nanggro Aceh Darusalam (NAD) di utara sampai Krakatau di ujung paling selatan Lampung.

“Berbagai persiapan telah dilakukan Jambi untuk PLDPS yang sudah ditetapkan menjadi event tetap Jambi ini, apalagi program inipun telah dijadikan momentum prioritas bagi Jambi untuk mengangkat khasanah budayanya dalam menyong Visit Jambi Years (VJY) 2010 mendatang,” begitu ditegaskan Mualimah.

“Tentu saja bukan sekedar kesiapan Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Budaya (SDB) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) semata, tapi juga kesiapan segenap infra struktur yang mendukung untuk itu,” ungkap Jafar Rasuh, salah seorang sesepuh senirupa di Sumatera yang juga seorang birokrat penting di Disbudpar.

Diakuinya, sampai saat ini hal itu belum optimal tergarap oleh publik seni lukis di Jambi. Hanya saja sebagai wujud keseriusan pemerintah untuk menuju jadi ‘ibukota’ tersebut telah ditunjukkan, dengan memasukkan PLDPS ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi. Dan mnggembirakan karena hal itu akan terus begitu untuk tahun-tahun selanjutnya.

“Artinya kita sudah menjadi PLDPS ini sebagai program prioritas di Disbudpar, tinggal berikutnya bagaiman para perupa selaku pelaku teknis di lapangan beruapa bertahan dan mengembangkan event ini hingga menjadi semakin baik setiap tahunnya ke depan,” tegas tokoh kritis yang juga dikenal sebagai seniman dan budayawan yang cukup meronai kancah perkesenianan di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah Ini menandaskan.(c@l)

Panpel PLDPS XI Bubar


HSRI Agendakan Berpameran Khusus untuk Ulang Tahun Jambi


SUNGAIKAMBANG-Tim Panitia Pelaksana (Panpel) Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) XI kemarin menggelar rapat koordinasi terakhirnya. Materi rapat penutup dari helatan tetap tahunan tersebut adalah eveluasi akhir penyelenggaraan dan pembubaran tim panitia.

Bertempat di Auditoriu Tari Taman Budaya Jambi (TBJ) rapat berlangsung penuh keakraban kekeluargaan. Edi Sukarno, selaku ketua baik Panpel maupun Himpunan Senirupawan Indonesia (HSRI) Jambi kepada para panitia yang hadir mengungkapkan terlepas dari apapun plus minus dari event yang telah digelar beberapa waktu lalu selama sepekan di Jambi, tetap saja etos kerja tim Panpel sesuatu yang harus mendapat apresiasi.

Menurutnya, dengan gelaran tahun ini, bearti Jambi sudah berhasil mewujudkan komitmen untuk menjaga keberlangsungan helatan yang sebelum-sebelum ini, ketika diselenggarakan secara bergilir di provinsi-provinsi lainnya pelaksanaannya sering tidak konsisten.

Lebih jauh dia juga menyampaikan betapa apresiasi publik terhadap event ini semakin baik sudah terlihat di tahun ini. karena itulah dia mengingatkan untuk pelaksanaan tahun berikutnya HSRI-J, Pemerintah dalam hal ini Disbudpar, TBJ, dan tim pantia berjanji akan terus menerus melakukan peningkatan kualitas, baik kualitas penyelenggaraan maupun kualitas materi.

Berbagai masukan yang telah disampaikan publik sebagai wujud apresiasi positif selama helatan bergulir lalu, tentu saja akan menjadi bahan pertimbangan yang akan selalu diperhatikan HSRI-J dan panitia untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan berikutnya.

Kembali ditegaskannya, PLDPS XII tahun depan akan kembali digelar pada bulan-bulan yang sama dengan penyelenggaraan tahun ini. Dan diharapkan tingkat apresiasi publik bisa semakin maju lagi dibanding tahun ini, semoga. Begitu ditandaskannya.

Selain agenda evaluasi dan pembubaran panitia HSRI-J kemarin juga membaha agenda penting HSRI-J lainnya yakni tentang rencana menggelar pameran yang didedikasikan untuk hari ulang tahun Provinsi Jambi dalam beberapa waktu ke depan. Menyambut momentum itu diharapkan para pelukis Jambi dapat mengaplikasikan segala ilmu yang telah didapatnya dari PLDPS XI lalu. Demikian diungkapkannya penuh harap.(c@l)

Penderita HIV/AIDS Jambi Aksi Damai di ‘Pucuk’

PAYOSIGADUNG-Puluhan penderita positif HIV/AIDS di Jambi kemarin melakukan aksi damai di lokalisasi Payosigadung alias ‘Pucuk’ dalam memperingati hari AIDS se-Dunia 2008.

Dalam aksi damainya di lokalisasi tersebut, penderita HIV yang
didampingi LSM Sentra Informasi dan Komunikasi Orang Kito (Sikok)
Jambi, selain membagi-bagikan brosur juga membagikan kondom kepada para Wanita Pekerja Sek (WPS) setempat.

Selain melakukan aksi damai dibeberapa tempat, peringatan hari AIDS di Jambi tersebut juga dilakukan penyhuluhan bahaya HIV-AIDS dan cara pencegahannya.
Penyuluhan tersebut melibatkan pengurus serta karyawan panti pijat dansalon, WPS, Ikatan Waria Jambi, napi di lapas, pelajar dan mahasiswa, serta karyawan/buruh di pabrik.

Kemudian aksi kampanye penggunaan kondom di beberapa lokasi dan melakukan dialog interaktif di radio.
Peringatan hari AIDS di Jambi, juga dilakukan untuk mensosialisasikan
program pencegahan HIV-AIDS di kota, serta meningkatkan kepedulian masyarakat secara umum dalam mencegah penularan penyakit mematikan
tersebut.

Dari aksi tersebut diharapkan dapat terwujudnya komitmen pemerintah di Jambi dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS, Provinsi Jambi sejak 1999 hingga 30 April 2008, terdapat 289
penderita, terdiri atas 184 kasus HIV dan 105 AIDS.

Dari 289 kasus penderita HIV-AIDS, terdapat 59 orang korban meninggal dunia karena AIDS, dan Jambi secara nasional berada di peringkat 17 terbanyak penderita HIV-AIDS yaitu 133 kasus.(c@l/***)

Jangan Sekali-kali Bandingkan Sumatera dengan Jawa

Suwarno Wisetrotomo: Apalagi dengan Papua, Karena Mereka Takkan Pernah Sama, Juga Perihal Kebudayaan dan Perkeseniananya

SUNGAIKAMBANG-“Jangan sekali-kali mencoba banding-bandingkan Sumatera dengan Jawa dong, ya jelas beda, wong namanya aja sudah beda, apalagi soal isi dan esensi, apalagi karekter dan nasibnya,” begitu ungkapan bijak pernah tercetus dari mulut seorang pemerhati sosial dari Jakarta yang pernah mampir di Jambi pada suatu waktu.
Kemarin, ungkapan serupa kembali tersirat dari mulut kurator nasional Suwarno Wisetrotomo yang dihadirkan panitia Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) kepada Posmetro Jambi yang secara khusus mewawancarainya di ruang makan Wisma Taman Budaya Jambi (TBJ).

Suwarno mengakui kalau dirinyapun termasuk orang yang tidak setuju jika perkembangan kebudayaan apalagi perkesenianan di Sumatera ini dengan daerah lain seperti Jawa dan Bali yang selama ini memang telah terstreotipkan di tengah publik sebagai daerah yang lebih maju. Lebih parah dianggap jawara yang patut dianuti dan berikutnya dijadikan suhu atau guru oleh semua pecundang, yang mungkin juga oleh Sumatera.
“Padahal tidaklah seperti itu, persoalan sekarang ini bukan terletak pada maju tidak maju, baik tidak baik atau berbagai istilah perbandingan lainnya. Hanya saja saat ini yang jadi persoalan aspek distribusi. Terkait di sini adalah aspek penyadaran dan kesadaran publik akan potensi yang dimilikinya sendiri, tidak bisa dibanding-bandingkan dengan orang lain,” jawab kurator yang mengaku sudah cukup akrab dengan dunia perkesenianan khususnya seni lukis di Jambi ini.

Lebih jauh, persoalan banding membandingkan yang terjadi selama ini diakui maupun tidak lebih seringlah digelembungkan atau dikemukakan oleh publik di Sumatera sendiri. dan lacurnya hal itu malah hanya mengambil standar-standar material yang secara fisik yang bisa tampak hanya dengan mata di kepala semata.

Salah satunya adalah anggapan kalau kehidupan ekonomi para pelukis di Jawa dan Bali jauh lebih bisa sejahtera di bandingkan di daerah kepulauan lain di nusantara ini. lalu anggapan tentang betapa iklim perkesenianan di Jawa dan bali begitu kondusif dan familiarnya dengan seniman. Lalu anggapan betapa besarnya perhatian pemerintah terhadap kehidupan perkesenianan di sana, juga anggapan tentang betapa mudahnya berkarya di sana karena kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Budaya (SDB)nya.

Kalau hanya itu yang dijadikan tolak ukur jelas saja Sumatera tidak akan pernah bisa menyadari dirinya kalau dia sesungguhnya memiliki juga semua itu. itu karena mereka selalu sibuk melihat hijaunya tanaman di ladang orang, hingga lupa menggarap ladang sendiri.

Padalah sesungguhnya Jawa sendiri pun sangat ingin melihat apa sesungguhnya yang ada di ladang saudara atau tetangganya di pulau lain itu, tapi itu tak pernah bisa terjadi karena sang saudara trnyata belum juga berbuat apa-apa dengan lahan yang dimilikinya itu. begitulah perumpamaannya.

Meski dua orang saudara kabndung dari ayah dan ibu yang sama bernama Indo dan Nesia, tapi Sumatera, Jawa, Bali, Kalimatan, Sulawesi dan Papua tetaplah dua individu yang berbeda, mereka tidak akan pernah sama. Bahkan dua saudara kembar siam seperti Jawa dan Sunda saja sudah jelas ada bedanya, apalagi dengan saudara yang sudah terbelah oleh selat dan samudera. Jelas beda. Jadi tentu lebih bijak dan lebih arif dan lebih menguntungkan semua saling mencari persamaan saja.

Kalau soal perbedaaan, sedari dulunya memang sudah ada, dari namanya saja sudah beda, apalagi yang lainnya. Perbedaan itu tidak di cari pun dia sudah ada dengan sendirinya, apalagi kalau memang sengaja terus saja dikorek-korek, dicari-cari tentu saja yang dikorek itu akan jadi borok luka menganga menundang lalat, ulat dan larva.
Padahal tidak jarang di sisi lain sumatera malah lebih unggul dari Jawa. Tentang PLDPS misalnya. Jelas Sumatera menang di sini, karena di Jawa tidak ada yang namanya Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Jawa (PJDPS). Begitu juga di Bali tidak ada PBDPS, di Kalimantan saja juga tidak ada PKDPS. Meski mungkin di sisi lain Jogja punya pameran ‘bienel’, dan Jambi tidak.

“Maka karena itulah, Ide mengangkat Sumatera Imaginable ini di pilih, agar dengan ini Sumatera dapat memandang, memikirkan dan lalu mengangkat segenap potensi apa pun yang ada disekelilingnya. Dengan begitu berikutnya penyadaran akan kekuatan diri sendiri itu nantinya di masa depannya, dengan sendirinya akan membentuk dengan sendirinya pula nasib baik bisa ditapak dan dituju oleh Sumatera itu sendiri, bukan dengan kaki saudaranya,” demikian tandas bapak yang perwakannya terbilang mungil namun bersahaja ini menutup wawancara seperti senja yang turun saat itu.(c@l)

Taratak Komit ‘Provokasi’ Para Calon Sineas Jambi

Kotabaru-Tadi malam, empat buah produksi film dokumentar peraih berbagai penghargaan bergengsi diputar dan didiskusikan oleh para kalangan calon sineas dan publik pecinta film Kota Beradat Jambi.

Kegiatan yang buat keduakalinya digelar di Kota Jambi tersebut dilangsungkan di Langkan Budaya Taratak Kota Baru Jambi. keempat film yang diputar tersebut adalah suplay dari panding kerjasama dari lembaga yang konsis membangun kebudayaan di Jambi tersebut, yakni dari In Docs.

Pada kesempatan Terpisah, Naswan Iskadar aktivis budaya yang memelopori dan memediasi kegiatan yang terbilang langka terjadi di Jambi tersebut, pihaknya sengaja menggelar pemutaran film-film penuh daya edukasi yang layaknya jadi referensi hidup bagi publik tersebut, adalah guna memprovokasi para calon sineas Jambi untuk segera berbuat dan berkarya.

“Kita memang sudah menelorkan komitmen untuk terus turut serta membangun dunia perfilman di Jambi ini, atau dalan kata lain agar para calon sineas segera memulai era perfilman di Jambi ini,” ungkapnya.

Lebih jauh diuraikannya, pihaknya memang telah merancang berbagai langkah-langkah empiris menuju visi dan misi jangka panjang tersebut. Karena pihaknya sangat menyadari pembangunan edukasi kebudayaan dan kemasyarakatan itu memerlukan proses longitudinal alias memakan waktu yang lama dan berkelanjutan atau terus-menerus.
“Ya, untuk tujuan jangka panjang yakni guna mencapai visi dan misi terlahirnya para sineas Jambi handal, pihak kita sudah menyusun langkah-langkah konseptif dan kongkrit.

Termasuk disini adalah dengan memulai dengan kampanye film, seperti yang kita lakukan sekarang. Selanjutnya kita nantinya juga akan memediasi produksi film bagi mereka yang berminat. Lalu juga akan mengadakan satu festival,” terangnya.
Di sisi lain Naswan juga menilai kalau sesungguhnya Jambi tidaklah minus sumber daya untuk memproduksi film. Jambi sekarang ini sudah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) pembuat film yang tidak sedikit Jumlahnya. Menjamurnya shotting video adalah salah satu indikasinya.

“Begitu juga dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Budaya (SDB) sebagai sumber materi pembuatan fil, Jambi sungguh kaya. Apa yang jadi fenomena dari film Laskar Pelangi sekarang ini, itu pun sesungguhnya ada banyak sekali ada di Jambi,” terangnya lagi.

Hanya saja, lanjutnya, faktor yang menjadi kendala tidak pernah terproduksinya film Jambi, baik itu film oleh orang Jambi atau pun film tentang Jambi selama ini, hanyalah persoalan teknis. Jambi tidak memiliki motivator apalagi provokator perfilman. Jambi jugakurang memiliki kemauan untuk memproduksi apalagi bereproduksi.
“Karena itu Kita mencoba membuka jalan untuk mereka yang memiliki animo, atensi dan apresiasi tinggi terhadap perkembangan perflman di Jambi ini. strategi kita ya seperti yang tengah kita lakukan ini.

Sederhana dan tidak muluk-muluk. Pasalnya kita berpikir untuk apa berangan-angan akan membuat festival besar kalau memang belum siap, kan mending kita memulai dengan cara seperti ini tapi militan, siapa tahu ini bisa lebih efektif,” tegasnya menandaskan.(c@l)

Lagi, Taratak ‘Pancing’ Gairah Calon Sineas Jambi

Jum’at Malam Kembali Gelar Pemutaran dan Diskusi Film, Kali Ini Persembahkan 4 Film In- Docs Peraih Penghargaan Bergengsi

SUNGAIKAMBANG-Sukses dengan acara pemutaran film dan diskusi perdana yang dihelat beberapa bulan lalu, Langkan Budaya Taratak kembali akan menggelar helatan serupa Jum’at (28/11) malam besok. Bahkan kegiatan yang digelar buat keduakalinya ini Taratak yang bekerjasama dengan In-Docs Jakarta akan memutar 4 film dokumenter pendek peraih berbagai penghargaan sekaligus. Hal ini tentu saja indikasi telah terjadi pengingkatan positif dari apa yang telah digelarnya buat pertama kalinya beberapa waktu lalu, yang hanya memutar 2 film.

“Ya, kali ini kita akan memutarkan 4 film sekaligus, karya anak negeri yang kesemunya sudah berhasil meraih berbagai penghargaan perfilman dari ajang festival dan kompetisi yang sempat digelar baik oleh stasiun televisi maupun asosiasi perfilman tanah air,” ungkap Naswan Iskadar, aktivis sebibudaya yang sekarang ini semakin intens mengkampanyekan tentang pembuatan film kepada publik Jambi.

Dikatakannya juga, pihaknya kali ini sengaja mengangkat tema heroik atau semangat kepahlawanan. Hal ini berkaitan dengan fenomenalnya film Laskar Pelangi. Menurutnya apa yang pihaknya coba suguhkan kepada publik peminat film dan calon sineas Jambi adalah sebentuk respon dan penjabaran wacana dari fenomena yang sudah ada saat ini.

“Ke-4 film In-Docs yang akan kita putar dan diskusikan nantinya adalah film-film yang bertemakan kepahlawanan. Tapi jangan salah kaprah menagartikan kepahlawanan di sini. Karena film-film yang akan kita putar ini samasekali bukanlah film perang atau film aksi ala hollywood yang sering di putar di teve. Di sini kita malah memberikan penyadaran kepada publik Jambi saat ini bahwa kepahlawanan di zaman sekarang ini bukanlah sebatas angkat senjata menembak musuh negara,” terangnya.

Keempat film tersebut adalah Suster Apung yang merupakan potret perjuangan tanpa pamrih seorang suster yang bertugas di daerah peraiaran Sulawesi. Lalu film Kepala Sekolahku Pemulung, sebuah film etos kerja dan kinerja tanpa pamrih seorang kepala sekolah yang ternyata diluar tugas dinasnya di sekolah juga bekerja sebagai pemulung demi menghidupi keluarganya.

Lalu film Helper Hongkong Ngampus, sebuah cuplikan kisah dua TKI Indonesia di luar negeri yang sejahtera semasa masih sebagai TKI namun berbeda nasib setelah pensiun jadi TKI, hanya karena etos kerja. Lalu yang terakhir film Prahara Tsunami BertaburBakau, yang mengangkat kisah perjuangan seorang nelayan yang menyelematkan pantainya dari pengikisan laut dengan memulai bekerja sendiri menamami pantai dengan bakau.

“Nanti kita akan mendiskusikan kesemua film ini. makanya hadir ya, ikut nimbrung dengan kita untuk bisa semakin terbuka wawasan dan wacana. Jangan lupa akan turut hadir dua tokoh penting dinegeri ini sebagai nara sumber diskusi kita nantinya lho. Mereka adalah A Shomad pemerhati masalah sosial dan pendidikan Jambi, dan M Zayadi, anggota DPRD Kota Jambi. kita akan kupas apapun tentang film dan wacana sosial yang mendidik yang terjadi di seputuar kita,” tandasnya memesankan.(c@l)

Beri Reward Pada Pelukis PLDPS yang ‘Ter...’, Kiatnya Sederhana


teks: Asisten II Setdaprov, H Hasan Kasyim, terlihat mengisi buku tamu, dia adalah tamu dari kalangan pejabat pertama dan mungkin sekaligus yang terakhir yang hadir di arena PLDPS

Subarjo: Tiru Model Baloon D’oor UEFA-FIFA, Libatkan Siapa dan Apa Saja, Bangun Suasana Interaktif dengan Semua Mitra,

SUNGAIKAMBANG - Guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) di masa-masa mendatang, telah santer diwacanakan dan diusulkan berbagai kalangan mulai dari birokrat, politisi, budayawan, seniman bahkan publik penikmat seperti pelajar, agar panitia di masa mendatang bisa menyiapkan konsep dan memberikan penghargaan atau reward khusus dan spesial kepada karya atau pelukis yang ‘ter...’ entah terbaik, entah terpavorit, entah terlucu, entah terunik, atau ter ter ter yang lainnya.

wacana itu direspon positif semua lapisan di kepanitiaan dan juga peserta. Semua menyatakan persetujuannya. Namun, yang menjadi persoalan berikutnya malah lebih ke hal-hal yang bersifat teknis. Pertanyaan-pertanyaan sederhana Semisal pertanyaan; ‘siapa nantinya yang akan memberikan, siapa yang akan menyeleksi dan menentukan yang berhak menerima, bagaimana cara menyeleksinya, lalu berupa apa reward yang akan diberikan itu, apakah benda, uang, sertifikat, atau hanya pujian dan stiker bergambar sepasang angsa layaknya logo HSRI-J di baju atau lukisannya’.
Menjawab hal ini, Subardjo, salah seorang perupa senior dari Lampung dan termasuk barisan pertama di jajaran PLDPS serta sosok yang memiliki ikatan emosional paling kental dan atensi paling menonjol dengan seni lukis Jambi sampai saat ini, memperbincangkannya dengan Posmetro Jambi.

Dari situ secara sederhana terjawablah kesemua pertanyaan sederhana yang sebenarnya tidak perlu dirumit-rumitkan itu. soal siapa yang akan memberi reward bersangkutan, “ya bisa siapa saja, bisa dari panitia, bisa pmerintah, bisa dari taman budaya, bisa dari HSRI, bisa dari dirjen kebudayaan, bahkan juga bisa dari audiens atau pengunjung, bisa dari para komunitas wartawan, atau bisa juga diberikan oleh individu tertentu. Pedeknya siapa saja mitra yang terlibat dan mau, bisa dijadikan pemberi reward,” ungkapnya.

Yang penting itu reward, penghargaan khusus atas kekaryaan dan dedikasi melukis. Tidak ada salah panitia PLDPS meniru apa yang dilakukan UEFA atau FIFA, organisasi induk sepak bola dunia yang setiap musimnya kontinyu memberi reward berupa ‘baloon d’oor’ berupa sepatu emas dan bola emas kepada pemain terbaik dan terpilih.
Siapa yang memilih atau menyeleksinya, itu pun sangat lentur dan fleksibel sifatnya. Bisa panitia, bisa juga kurator, bisa juga pemerintah, bisa juga organisasi wartawan atau media, bahkan bisa juga oleh pengunjung pameran.
“Teknisnya, ya juga bisa bermacam-macam, tergantung maunya dan selera kita selaku penyelenggara, bisa dengan ilmiah mulai dari pendataan, lalu sidang dan keputusan. Atau mau yang sederhana bisa juga gunakan SMS pengunjung, mungkin akan lebih bergengsi ketika dalam hal ini bisa mengajak kerjasama salah satu operator selular yang ada,”

“Yang lain bisa juga dengan gunakan kupon yang diberikan ke pengunjung, atau kupon yang disisipkan di lembar koran harian yang diajak sebagai mitra, koran itu sendiri juga mendapat keuntungan lain karena sudah pasti akan terjadi penambahan oplah guna mengejar audiens sebanyak-banyaknya. Kan sederhana sekali toh,” terangnya.
Lalu untuk kategori ‘ter...’ apa yang diberikan reward. Itupun terserah panitia mau yang terpavorit, mau yang terkotemporer, mau yang paling diminati pengunjung, satau mau yang terlucu sekalipun, samasekali tidak hal. Asal sistemnya jujur.

Pentingnya reward ini, menurutnya bukan saja sekedar untuk gengsi-gensian, tapi lebih esensial daripada itu adalah untuk mengaplikasikan salah satu bentuk apresiasi publik. Selain itu sangat berguna pula dalam menciptakan semakin meningkatkan ruang dinamika positif pada helatan ini. memunculkan spirit kompetitif positif dan mengajarkan nilai-nilai sportifitas dan kekesatriaan ketika tak terpilih.

Hanya saja lebih jauh dia mengingatkan agar reward yang diberikan tersebut hendaknya bisa berwujud. Selain berupa sertifikat, plakat, sudahy seharusnya pulalah juga ada berupa dana. Ini tentu sangat besar artinya bagi penerima. Soal berapapun besarannya, ya terserah pemberi. Mau Rp 10 juta, Rp 5 juta atau Rp 1 juta, tergantung dari kemampuan dan keiklasan yang memberi. tak jadi soal tentang jumlahnya.

Bahkan akan jauh lebih baik kalau perlu reward yang diberikan itu tidak hanya satu, tapi ada banyak macam dari banyak mitra yang jadi sumber. Semisal organisasi wartawan memberi reward untuk karya terkini atau teraktual, pengunjung mmberi reward untuk yang terpaforit, panitia dan kurator memberi untuk karya yang dinilai terbaik, dan pemerintah mungkin memberi reward life achievement untuk para tokoh atau pelukis senior atau para legenda kebanggaan sumatera.

“Yang penting reward ini memang dirasa sangat penting untuk diadakan pada penyelenggaraan pada tahun berikutnya. Apalagi pihak pemerintah dan legislatif Provinsi Jambi sudah menyatakan akan sangat mendukung hal itu direalisasikan dengan dijanjikannya akan meloloskan kalau itu termasuk yang dianggarkan ke dalam APBD. Nah sekarang tinggal perealisasian oleh panitia. Kita tunggu,” tegasnya sumringah, seakan penuh keyakinan gagasan itu akan nantinya akan jadi kenyataan.(c@l)