Minggu, 21 Desember 2008

Kota Tua di Era Mesin, Bikin Hidup Makin Cantik Makin Ciamik

Yang Bisa Dipetik dari Bogor Sebagai Oleh-oleh untuk Jambi (2)

Kalau kemarin kami sudah mendedahkan perihal ‘kebersihan dan kerapihan’ yang begitu ciamik dan terasa laksana buah yang sangat ranum ketika disantap, dari sebuah ‘kota di tengah hutan’, Bogor, seperti yang kami janjikan sebelumnya kali ini temuan lainnya yang tak kalah menarik kembali kami persembahkan untuk anda semua, segenap warga Jambi yang telah sepenuh hati memberikan kepercayaan kepada kami untuk pergi ke situ mewakili anda semua. Ini dia kuntum kedua;

YUPNICAL SAKETI, JAMBI


Kali ini kami semakin memasuki aorta darah dan celah-celah otot kota yang namanya sudah begitu tidak asing lagi itu. kami jelajahi kota itu dalam waktu yang teramat singkat dan sempit. tapi, meski sedikit tapi selangit yang kami dapat.
Sungguh mata kami kali ini tertunju ke deretan bangunan bangunan yang sepertinya tumbuh bersama pepohonan itu. berbagai macam bangunan terlihat begitu tertata dan membumi dengan kehidupan masyarakatnya.

Baik itu rumahy penduduk, perkantoran, pusat perbelanjaan, bangunan milik publik, maupun milik swasta atau persoal tertentu. Ya, di sini bangunan tersedia segala bentuk segala jenis, mulai dari istana kepresidenan sampai lapak-lapak pedagang Kaki Lima (PKL).

Tapi satu hal yang begitu luar biasa sehingganya sampai membius mata semua kami sampai terasa ogah berkedip, terkedip atau pun dikedipkan. Jiwa kami terpanah gendewa asmara dari masa lalu, ketika mendapati arsitektur bangunan yang tersaji di sekeliling kami.
Sungguh terasa sangat bermakna ketika mendapati bangunan-bangunan dalam disain dan arsitektur gaya lama, layaknya bangunan peninggalan para menner dari zaman kolonial dulu, masih terlihat berdiri kokoh dan perbawa, dengan fungsi dan kegunaannya yang kini tentu saja sudah berubah mengikuti perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakatnya yang kini juga pasti sudah teramat modern seiring kemajuan zaman.

Arsitektur unik peninggalam aman dulu itulah yang telah membawa kami seakan kembali ke masa lampau, menyelami makna kehidupan hakiki sedalam mungkin di dalamnya. Sungguh hal itu tentunya takkan dapat kamu temui dan lakukan di Jambi, karena di Jambi ini sudah hampir tidak tersisa lagi sesuatu yang bisa menjadi jembatan sejarah guna melintasi dunia paralel ke masa lalu.

Di Jambi nyaris punah semua benda bukti sejarah. Tak ada istana raja, tak ada bekas kantor residen, tak ada bekas markas opas (polisi kompeni), tak ada rumah tua, bahkan juga mungkin sudah tidak ada lagi situs sejarah yang tertimbun yang masih bisa kami gali sekedar membasuh hati.

Di Bogor lah kami justeru temukan pintu dan jendela sejarah terbuka begitu nyata, itu mesin waktu yang bisa membawa kami melaju, mengantar bebunga rindu ini ke kearifan nilai-nilai masa lalu seperti yang selalu ganggu tidur kami yang kelambu.

Coba lihat bangunan-bangunan itu, rumah-rumah itu, gedung-gedung itu, semuanya terlihat masih berdiri bersahaja dengan gaya lamanya. Mereka berjejer berbaris di sepanjang sisi jalanan. Dia sepertinya tak pernah rapuh dimakan usia dan cuaca. Padahal di kota hutan kota hujan ini, embun dan udara lembab pastilah rentan lapukkan apa saja.

Jangankan bangunan, belulang kita yang manusia saja mampu terus digigilkannya. Tapi rupanya cuaca tidak rusak bangunan-bangunan renta itu. mereka sepertinya tak goyah sedikitpun, tak koyak cat dindingnya secuilpun. Mereka masih saja terus setia berdiri sepanjang jalan, menyisi hidup yang silih berganti, seakan kota ini kesemuanya adalah ‘bangunan cagar budaya’.

Modernisasi rupanya hanyalah secuil warna kehidupan bagi masyarakat kota ini. mereka ogah tinggalkan kebanggaan masa lalu yang telah diwariskan para moyangnya. Termasuklah salah satunya gaya arsitektur yang unik ini. kehidupan dan pemikiran masyarakat Bogor memang jangan pernah coba-coba meragukan, mereka teramat cerdas dan modernis.

Tapi jangan anggap mereka kuno atau kolot ketika mendapati masih mendiami sebuah rumah tua yang sudah berumur ratusan tahun peninggalan kakek buyutnya. “Inilah adalah wujud kesetiaan dan rasa terimakasih kami kepada semua para orang tua terdahulu yang telah mewariskan harta pusaka ini. kita tentu wajib menjaganya agar tidak punah,” begitu alasan seorang tokoh masyarakat setempat menjawab kami.

Lihatlah gedung-gedung yang jadi pusat pertokoan dan perbelanjaan modern alias mall itu. di situ pun disain arsitekturnya masih disenyawakan dengan bangunan lainnya di kota ini yang sudah menjadi ciri. Juga lihat pula cafe-cafe atau warung-warung yang berjejer di sepanjang sisi jalan tertentu itu. sungguh tertata teramat Indonesia sekali.

Atapnya rumbia, tempat duduknya adalah lesehan. Dan sadarilah warung cafe itu ternyata dibangun di teras, balkon atau pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Maka wajar saja bangunan dibelakangnya amat berasa sekali sebagai bangunan tua peninggalan masa lalu.

Tapi sungguh teramat kreatif masyarakat sini memanfaatkan peluang. Mereka berdaya gunakan setiap ruang halaman atau pekarangan yang tersedia untuk jadi bernilai ekonomi, menghasilkan alias jadi sumber pendapatan. Mereka begitu lihai mebaca gelagat para tamu yang mendambakan suasana dan nuansa unik untuk melepaskan lelah.

Sungguh lain dengan di Jambi. rumah tua yang ada dan masih tersisa seakan terus dipaksa agar dipunahkan saja. Biar berikutnya di atas lahannya bisa berdiri bangunan lain yang diharapkan bisa bernilai ekonomi seperti ruko-ruko atau rumah-rumah walet. Berkali-kali sudah para tokoh dan budayawan seperti Junaidi T Noor, Fachrudin Saudagar, Yusdi Andra dan lainnya mengingatkan agar diberlakukan cagar budaya untuk menyalamatkan keberadaan bangunan-bangunan tua yang masih tersisa di Kota Jambi ini.

Maksud mereka tentu saja agar Jambi masih bisa mengeja makna dan perjalanan sejarah dirinya sendiri di masa-masa mendatang. Pasalnya itu adalah salah satu bentuk kebanggaan yang takkan bisa dibeli oleh siapa pun, tapi bisa mengantarkannya untuk mati dengan tenang.

Begitu kisah kedua telah kami sajikan, semoga ada makna ada guna. Bagaimana, masih belum cukup. Baiklah, besok kita lanjutkan lagi, insyaallah.***

0 komentar: