Minggu, 21 Desember 2008

Masyarakat Budayanya Sudah Mandiri, Sudah Jadi Subjek Bukan Lagi Objek

Pelajaran Berharga dari Wakatobi yang Sukses Bangun Kebudayaannya

Sepulang dua duta budaya Jambi pada helatan Festival Tradisi Lisan Internasional (FTLI) VI yang berlangsung di Wakatobi Gorontalo sepekan lalu, Nukam Ss dan ‘Tumenggung’ Firdaus ‘Tan Malaka’ langsung disamperin Posmetro Jambi di Kantor Bahasa Jambi KBJ) kemarin.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Adalah rentetan kisah menarik yang bisa jadi pelajaran menarik bagi Jambi yang tengah masih belajar membangun kebudayaan negerinya sendiri ini, adalah oleh-oleh paling bernas paling bernilai dari Wakatobi sebuah kota kabupaten di provinsi pemekaran yang masih teramat muda belia seperti Gorontalo yang teramat pantas disuguhkan bagi publik seni dan budaya Jambi ini. Apa saja itu, berikut petikan beberapa diantaranya yang pasti akan terasa manis untuk dicicipi bersama.

“Ada banyak sekali pelajaran dan pengalaman menarik yang sejatinya semakin bermakna semakin bernilai guna kalau dibagi-bagikan kepada segenap saudara kita di sini,” kata Nukman memulai kisahnya sembari menyuguhkan sebungkus oleh-oleh berupa panganan ringan di meja. Waktu itu Firdaus sendiri belum hadir di situ. Dari SMS yang dikirimnya dia mengatakan masih dalam perjalanan kaki dari Taman Budaya Jambi (TBJ) menuju KBJ saat itu.

sembari menunggu kehadiran sang aktivis seni budaya Jambi yang di Wakatobi duduk sejajar dengan sederetan profesor dan doktor dari berbagai penjuru tanah air bahkan dunia itu, Nukman nyantai mengurai cerita, yang terkadang terasa mampu membengkakkan dada karena rasa bangga dan haru, terkadang juga terasa lucu bahkan sesekali miris dan terasa menyayat-nyayat sanubari.

Bagaimana tidak lucu namannya ketika kedua duta Jambi yang kesehariannya memang dikenal selebor dan slengean itu sempat bingung mematut gaya penampilan. Antara harus pakai sepatu apa sandal di helatan internasional itu.

“Saya menyuruh Pak Firdaus pakai sepatu karena dia pemakalah. Itu tentu sangat menganggu baginya karena di luar kebiasaan kesehariannya. Apalagi ketika dia sudah memakai sepatu saya malah mengganti sepatu saya dengan sendal, jela saja dia gondok, apalagi ketika penampilan dengan sandal itu rupanya mendapat apresiasi luar biasa dari publik sana yang menganggap betapa berseahajanya Jambi dengan kesederhanaannya,” kisah Nukman.

“Tapi yang paling berkesan dan membuat tercengang semua orang bahkan Bupatinya sendiri, adalah ketika kita mendapati betapa ramainya helatan yang dilangsungkan di lapangana terbuka itu oleh berbagai aksi dan atraksi kesenian tradisional masyarakat setempat,” sela Firdaus yang tiba-tiba sudah nongol di pintu ruangan bersama sang ‘tunangan’nya Aprileni SPd saat itu.

Wartawan harian ini bersama penggiat Komunitas Musikalisasi Puisi (Kompi) Indonesia-Jambi Ide Bagus Putera yang hadir saat itu pun langsung bergegas menyalami lelaki 40-an yang saat itu tampil rada neces tanpa jenggot dan cambang, apalagi saat itu dilehernya terlihat melilit slayer unik bercorak kotak-kotak warna merah dan putih seperti kain sarung yang bertuliskan ‘WAKATOBI’.

“Di sana kita mendapati betapa masyarakat budaya di situ sudah begitu mandiri. Mereka sudah berlaku sebagai subjek dalam pembangunan kebudayaan menyeluruh, bukan lagi objek seperti yang kerap terjadi selama ini. bayangkan saja, kita pikir apapun yang disuguhkan di situ saat itu adalah ramuan agenda atau materi acara yang sudah dikondisikan oleh panaitia penyelenggara dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi, ternyata kesemua itu adalah hasil karya inisiatif dari kemlompok dan individu masyarakat itu sendiri,” paparnya.

“Bayangkan saja, Bupatinya saja dalam peidato resminya sampai menitikkan air mata karena rasa haru yang teramat sangat, karena tak menyangka partisipasi masyarakatnya sedemikian besarnya dalam memeriahkan, dan memberikan makna serta menyukseskan helatan tersebut,” timpal Nukman.

“Kita di sana memang benar-benar tak menduga bakal mendapatkan pengalaman yang sangat luar biasa. Bayangkan saja, helatan bertaraf internasional diracik sederhana namun amat terasa begitu membumi. Jangan bayangkan para tamu negara akan mendapat hotel untuk penginapannya di situ, kita semua diinapkan di rumah-rumah penduduk,” imbuhnya.
“Lalu, jangan pikir di sini kita akan menyantap hidangan mewah seperti menus restoran, kita semua disuguhkan kuliner asli masyarakat setempat. Sungguh itu semua sangat luar biasa. coba pikir, seminar internasionalnya saja berlangsung di atas kapal nelayan. Jadinya kita bisa seminar sembari merasakan langsung kehidupan masyarakat maritim di negeri itu sambil sesekali menikmati indahnya alam laut,” giliran Firdaus yang menimpali.

Lalu beberapa waktu berikutnya seperti berlomba lari sprint mulut keduanya pun tak henti-hentinya berkisah, sampai-sampai harian ini jadi bingung hendak mencatan yang mana terlebih dahulu.

Yang jelas kesimpulan yang pantas menjadi pelajaran berharga guna dipetik publik seni dan budaya Jambi saat ini diantaranya adalah perihal konsep pelaksanaan helatan akbar itu yang diramu dan disajikan begitu membumi dengan masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.

Andai saja Jambi yang ternyata diloloskan dewan pertimbangan helatannya sebagai tuan rumah 2010 mendatang bukannya Bangka-Belitung (Babel) seperti yang telah diputuskan, maka tidak menutup kemungkinan helatan pada tahun itu akan bertemakan seputar ‘Tradisi Lisan (TL) masyarakat pedalaman’ seperti Kubu.

Pasalnya, merunut apa yang sudah dilakukan maka tematis TL Masyarakat Daratan dan Pedesaan, TL Masyarakat Kota, dan TL Masyarakat Maritim sudah diselenggarakan pada penyelenggaraan sebelum-sebelumnya.

Kalau itu jadi, maka Itu artinya Jambi idealnya amenyelenggarakan helatan itu di pedalaman rimba, mungkin itu idelanya adalah di pedalaman Bukit 12 atau Bukit 30. Para duta dari berbagai penjuru nusantara bahkan dunia akan berfestival bersama masyarakat Kubu itu sendiri. mereka akan merasakan sendiri secara langsung keberadaan tradisi dan kebudayaan yang hidup di tengah masyarakatnya di situ.

Itu artinya seminar di atas kapal di Wakatobi itu, kalau‘di-Jambi-kan’ maka mungkin akan sama artinya dengan menyelenggarakan seminar internasional di atas rakit bambu Kajanglako sembari menyusuri Batanghariu dari hulu sampai hilir.

“Tapi persoalannya sekarang sudah siapkan Jambi untuk melakukan terobosan seperti wakatobi itu. pasalnya kita punya SDA, SDB, dan bahkan SDM melimpah, tapi bagaimana mau mewujudkan ‘Jambi yang Mampu, Maju dan Mandiri’ kalau pembangunan kesenian dan kebudayaan masyarakatnya, sampai kini masih saja memposisikan mereka sebagi objek oleh kalangan pemerintah yang merasa merekalah yang profesional, merekalah yang paling jago memenej, yang paling tahu kondisi ril masyarakatnya,” kritik sang tokoh yang mendapat gelar ‘tumenggung’ dan ‘profesor’ Kubu dari peserta FTL Wakatobi itu.

buktinya, imbuhnya lagi, semua agenda budaya dan kesenian di Jambi saat ini masih dominan tersentralisasikan di Kota Jambi semata, seolah daerah lain tak punya kesempatan. Masyarakat pemiliki budaya itu sendiri, pun dihadirkan atas pinsip dan nilai kontrak, tampil sesaat di panggung.

“Lalu kalau di Wakatobi, ada pembuat parang yang memecahkan rekor dunia dengan karya spektakulernya berupa parang raksasa. Dan itu dia lakukan samasekali tanpa instruksi apalagi bantuan dana dari pihak manapun. Itu partisipasi murni, inisiatif dirinya sendiri yang merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk memajukan kebudayaan negerinya,”

Sedangkan di Jambi, tambahnya, ada banyak rekor MURI yang terpecahkan, tapi tak satupun yang esensial, terlahir dan tercipta sebagai berwujud partisipasi menyeluruh dari masyarakatnya. Semua rekor yang tercipta di Jambi adalah karena rekayasa kekuatan kelompok tertentu saja yang mengkondisikan masyarakat demi mengejar prestise dan populeritas semu milik merek dagang satu produk.

“Jadi, mana Jambi yang Mampu, Maju dan Mandiri itu. toh Wakatobi saja sudah mampu menciptakan ruang wacana kebudayaan yang begitu jumawa kepada dunia. Samasekali Wakatobi bukan labi-labi pemekaran. Entah nanti, kita lihat sepak terjang provinsi pemekaran baru lainnnya yang masiht ergolong tetangga kita 2010 nanti, Babel. Mungkinkah meeka juga akan mempecundangi kita? Entahlah,” tandas keduanya memungkas, seperti Magrib yang memungkas matahari saat itu.***

0 komentar: