Minggu, 21 Desember 2008

Pembangunan Budaya Masih Saja Diremehkan, APBD-nya Selalu Terkecil Masih Kena Pangkas

Mengingatkan Pemerintah Tentang Bait ‘Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya’ dalam Lagu Indonesia Raya

Jelang tutup tahun, di manapun, di lembaga apapun memang sudah jadi tradisi dapat dipastikan melakukan audit keuangan yang biasa disebut d3engan istilah ‘tutup buku’. Tak terkecuali di pemerintahan, saat ini tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tengah alot dibahas guna bisa gol jadi APBD bagi daerah dalam melakukan pembangunan selama setahun ke depan.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI


Dari berseliwerannya angka-angka dalam nominal yang puluhan dan ratusan juta bahkan miliar itu. sebenarnya kemana saja uang itu diarahkan. Mengamalkan amanat UUD 45 dan visi misi bangsa adalah tujuan kesemunya yang seharusnya.
Sekali seminggu, setiap upacara bendera setiap Senin mereka selalu menyanyikan ‘Bangunlah Jiwa, Bangunlah Badannya,’. Tapi bagian mana yang sebenarnya sudah tampak telah terbangun.

Tapi benarkah demikian adanya, ketika ternyata sampai kini apa-apa yang telah diprogramkan pemerintah selama ini lebih banyaklah tidak pernah bisa dirasakan oleh rakyat sebagai sumber uang APBD tersebut.

Sepertinya belum ada yang bangun atau terbangun-kan, semua masih terlelap tidur dibuai mimpi mayanya yang terlalu indah tentang ‘Indonesia Raya’ yang sejatera jiwa dan raga setiap rakyatnya. Faktanya yang ada kini masihlan mereka yang ‘menderita Jiwa dan Raganya’.

Yang miskin masih terus menjerit, merintih, perpekik terkaing-kaing, penderitaan mutlak mendera hidupnya. Harga semua barang naik. Lapangan pekerjaan payah, upah teramat kecil. Sudahlah begitu bathin mereka juga menderita karena kemiskinan mental, kedangkalan emosional, keterbatasan ruang wacana, keterkungkungan wawasan dan pengetahuan. Pendidikan yang rendah. Pendeknya jiwa dan raga mereka menderita teramat sangat, parah.

Tak beda halnya dengan mereka yang katanya sudah kaya berkecukupan ekonomi keluarganya. Punya rumah beton dan bergenteng mewah, Makan bisa kenyang, tapi ternyata masih saja menderita jiwa dan mentalnya. Di mulutnya mereka memang tertawa, tapi ternyata dalam hatinya mereka merintih menahan luka. Lacurnya mereka tidak tahu apa sesungguhnya yang telah menyebabkan hati mereka terasa hancur dan luluh sehingganya harus bersedih sedemikian lara itu.

Meeka tak tahu kalau kesedihan itu mereka dapatkan dari jiwa yang kamuflase. Jauh dari sentuhan kesejatian dan keutuhan seharusnya sebagaimana eksistensinya sebagai manusia. Mereka tidak tahu lagi bagaimana semestinya untuk bisa menjadi manusia seutuhnya. Mereka kehilangan kebahagiaan hakiki, karena mereka tak pernah punya karekter, jati diri, yang sesungguhnya adalah wujud kebanggaam sejati dari seorang anak man\usia.
Mereka punya rumah gedung bertingkat-tingkat, mereka punya jembatan berlipat-lipat, mereka punya deposito bank seperti ganggang, punya jabatan sepanjang jembatan, punya segala tapi ternyata kebahagiaan hidup tidak terletak di situ. Gedung bertingkat pencakar langit itu ternyata sekeropos rumah kardus. Bunga uang deposito itu ternyata hanya sebatas gincu. Jabatan jembatan itu itu ternyata hanya jerat mengincar nyawa.
Makanya dalam pencarian kebahagiaan itu mereka mencoba mencari tantangan. Lalu mencoba korupsi, lalu terbetik ingin merasakan masuk bui, tiba-tiba ingin menjual diri, lalu mencoba mengusik tuhan. Dan akhirnya karamlah dia di lembah durjana. Sama nasibnya seperti si miskin papa.

Itu semua karena mereka mengidap kemiskinan jiwa. Mereka tidak pernah mendapat pembangunan jiwa. Mereka tidak pernah dididik mentalnya. mereka tak pernah serius belajar agama, Mereka tidak pernah mau belajar mengenal dan memahami budaya apalagi untuk jadi berbudaya. Tubuh mereka hanya terdiri dari tulang, daging dan darah. Tak ada jiwa terbangun di situ. Jadi wajarlah kalau semua merana seperti sempana yang berkibar tanpa makna.

Berkaitan dengan kondisi itulah, sudah semestinya pemerintah kini mulai menyadari diri, dan lalu mengakui, kalau sesungguhnya selama ini mereka trelah menapikan pembangunsan sisi jiwa dan mental (agama dan budaya). Selalu mengutamakan sisi badan, raga atau fisik. Melulu gedung, atau mobil dinas. Lacurnya itupun tak lebih dari dimaksudkan untuk gengsi dan prestise semata. Bahkan tak jarang karena latah terpengaruh trendi semata.

Mobil dinas selalu dianggap lebih penting ketimbang festival seni atau budaya. Revitalisasi atau pelestarian rumah-rumah kuno, mengangkat khazanah sastra, dan lain sebagainya. Bukti dan faktanya, anggaran untuk urusan kesenian dan kebudayaan selalu yang teerkecil angkanya, sedari dulu kala. Kalah melulu dari urusan ATK kantor apalagi mobil dinas.

Akan semakin menyedihkan nasibnya ketika pemerintah berniat mengadakan efisiensi seperti sekarang ini. Ketika terjadi pemangkasan anggaran maka anggaran di dinas kebudayaan adalah yang paling pertama dan terbesar jumlah dipangkasnya. Begitu informasi seorang budayawan Jambi yang menolak dituliskan namanya karena kapasitasnya yang ‘mendua’, yang ternyata juga salah seorang aparatur pemerintahan.

Seperti yang terjadi saat ini, anggaran untuk Disbudpar ternyata hanya tersisa dijatahkan 9, padahal tahun sebelumnya meeka yang terkecil hanya 35. bayangkan bisa buat apa dengan budged yang hanya sebesar itu. lebih kecil dari anggaran mobil dinas salah satu instansi yang minta bebeapa buah mobil dinas baru.

Alasan pemangkasan itu pun kabaranya teramat klise. Mereka dipangkas karena saudara mereka yakni Diknas harus ditambah jatahnya sebagaimana amanat undang-undang. Kalau begini adanya bukankah sama saja artinya dengan ‘setali tiga uang’. Pada dasarnya tak pernah ada perubahan penggaran untuk pembangunan sisi ‘jiwanya’ tadi.

Mungkin dapat dimaklumi kalau yang dipangkas adalah jatah untuk Kimpraswil. Karena Kimpraswil dan Budpar atau Diknas beda ruang lingkup kerjanya. Kimpraswil membangun ‘badanya’, sama seperti Distan, DKP, Dinkes dan lainnya. Beda sekali dengan Budpar dan Diknas.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unja sampai kini masih terus mengkritisi arah dan sasaran penyaluran dari kekayaan negeri itu. mereka gerah dengan daftar program dan proyek yang diajukan pemerintah ke para wakil rakyat di DPRD ternyata lebih banyaklah atau lebih besarlah anggaran yang diperuntukkan menyenangkan kepentingan mereka sendiri ketimbang memenuhi kebutuhan kehdiuapn rakyatnya.

Mengganti mobil dinas yang sudah ketinggalan zaman dengan mobil dinas baru ternyata masih lah menjadi streotip yang mengalahkan arti pentingnya membangun jati diri bangsa. Kalau begitu silakan bangun terus gedung, jembatan, jalan, keramba dan lahan sawit sebanyaknya, seluasnya.

Tapi ingat banyak yang akan masuk rumah sakit jiwa dan bunuh diri kalau nanti bangunan itu runtuh diserang teroris atau hama seperti koruptor, karena pasti saat itu tak ada satu pun diantara ‘rakyatnya’ yang punya rumah lain, lahan lain di jiwanaya di hatinya yang tak pernah ‘terbangun-kan’ itu. tunggu dan lihat saja nanti, sepuluh atau duapuluh tahun ke depan. Masihkan akan ada Jambi saat itu.***.

0 komentar: