Senin, 13 Oktober 2008

Soal Standar Wajib Minimal Penyelenggaraan Kebudayaan

Soal Standar Wajib Minimal Penyelenggaraan Kebudayaan

Kabupaten Kota Masih ‘Buto Kayu’

Sebenarnya apa yang menjadi persoalan ketika sebuah helatan kesenian dan kebudayaan teramat sering menjadi dilema bahkan problema oleh daerah-daerah, hingganya apapun yang diperbuat teramat sering hanya menjadi sebatas seremonial dan bahkan tak jarang hanya berkembang sebatas wacana semata.

YUPNICAL SAKETI, KARYA MAJU

Hal inilah yang dikritisi oleh salah seorang budayawan, seniman yang juga pejabat kasubdin di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi Drs Ja’far Rasuh kepada Posmetro Jambi kemarin.

Menurutnya kondisi tersebut bukanlah melulu dikarenakan persoalan anggaran, tapi justeru lebih sering dikarenakan ketidak tahuan pejabat di dinas bersangkutan yang ada di setiap kabupaten kota dalam Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini terhadap apa yang semestinya menjadi tugas dan fungsi mereka.

“Itulah sebenarnya letak kelemahannya. Soalnya kalau masalah Sumber Daya Manusia (SDM), setiap daerah sepertinya sudah memilikinya lebih dari sekedar cukup, juga begitu halnya dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Budaya (SDB)-nya. Lalu soal manejerial, juga tak kurang mahir kok mereka. Lalu yang sering dikeluhkan yakni minimnya anggaran, saya pikir itu juga tidak tepat,” ungkapnya.

Karena itulah, satu hal yang menjadi sorotan dirinya semenjak mendapat jabatan di Disbudpar adalah soal Standar Wajib dan Minimal Penyelenggaraan Kebudayaan oleh daerah.

Dia mengaku baru mendapatkan draf yang mengatur tentang hal itu semenjak bertugas di Budpar, padahal apa yang menjadi acuan daerah tersebut sudah diterbitkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata semenjak 2003 lalu.

“Saya tidak begitu yakin, apakah semua kabupaten kota di Jambi ini tahu akan adanya standar wajib dan minimal itu. Pasalnya, kalau tahu kok penyelenggaraan kebudayaan yang sering dilakukan malah lebih sering amburadul seakan penyelenggaranya ngabal saja,” tambahnya bersemangat.

Contoh kecilnya, imbuhnya, Kalau memang mereka sudah tahu dan memahami, tentu saja takkan terjadi banyak penolakan proposal yang diajukan baik oleh individu atau kelompok yang memang setiap harinya berlaku sebagai pelaku kesenian dan kebudayaan itu sendiri.

“Pasalnya, menurut buku standar wajib dan minimal itu daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Kota (Pemkot), wajib memfasilitasi, memotivasi atau menyokong dan membantu setiap yang ingin menyelenggarakan kegiatan kesenian dan kebudayaan di daerahnya,” sebutnya.

Jadi dengan begitu, tambahnya lagi, itu tentu artinya Pemerintah daerah (Pemda) sangat berlasan untuk menolak proposal sebuah helatan festival puisi misalnya, dan lalu mengalihkan dana yang dimilikinya untuk jadi biaya perjalanan dinas menghadiri seminar atau festival atau bahkan mungkin sekedar melancong ke daerah lain.
“Padahal, dengan anggaran yang sekali perjalanan dinas luar itu bisa menghabiskan puluhan juta itu, daerah malah bisa menyelenggarakan dua bahkan sampai lima kegiatan kesenian dan kebudayaan dalam setahun,” kritisnya.

Perlu juga diketahui, lanjutnya, bahwa menurut acuan standar waji dan minmal tersebut daerah wajib menyelenggarakan minmal dua helatan apapun itu bentuknya baik destival, penerbitan buku, seminar, ataupun kemah budaya. Dan minimal satu kali untuk setiap macam genre atau kebudayaan yang dibawahinya, seperti bidang pertunjukan, bidang sastra, dan bidang-bidang lainnya.

Karena, sesungguhnya acuan standar wajib dan minimal yang dikeluarkan pemerintah pusat itu adalah sebuah acuan yang sangat komplit guna mempermudah kerja dan kinerja pejabat daerah dalam menyelenggarakan kegiatan kesenian dan kebudayaan di daerahnya.
Jadi pendeknya, mereka para pejabat itu tentu tidak akan lagi mendapati kebuntuan atau kesuntukan ketika sudah berhadapan dengan program kerja. Pasalnya di dalamnya sudah begitu lengkap dan jelas, bisa dilakukan oleh orang yang tak mengerti soal kesenian sekalipun
“Kita lihat di daerah lain, mengacu kepada standar itu, semua kegiatan kebudayaan dan kesenian yang digelarnya, selalu mampu menyedot animo dan apresiasi tinggi dari publik seantero tanah air bahkan dunia. Lihat saja, festival layangan saja sampai bisa diselenggarakan dalam skop internasional, festival permaianan anak-anak saja bisa begitu prestesiusnya. Apalagi kegiatan yang memang sudah menjadi kalender wajib mereka,” urainya lagi.

Sementara di Jambi, lanjutnya, bisa kita lihat sendiri, sepertinya samasekali belum terlalu terasa ada gezah dari event-event akbar yang diselenggarakan di sini. Estival Masyarakat Peduli Danau Kerinci (FMDK) atau festival Candi Muaro Jambi misalnya, sudah berapa tahun berturut-turut digelar selalu saja tidak meninggal kesan mendalam, apalagi sampai mampu mengangkat pamor identitas daerah. Padahal event-event itu sudah dinyatakan kalender nasional.

Bahkan mungkin kegiatan itu bisa dikatakan kalah gezah dari Temu Sastrawan Indonesia (TSI), Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) Ari Setya Ardhi (ASA) Award, dan event-event yang diselenggarakan oleh pelaku kesenian dan kebudayaan yang lebih sering secara mandiri itu.

“Persoalan-persolan seperti itu tentunya tak perlu terjadi, seandainya acuan dari pemerintah pusat itu sedah tersosialisasikan dengan baik. Karena itulah, semenjak saya menjabat tekad dan target pertama saya adalah mensosialisasikan lagi acuan ini dengan cara apapun ke daerah-daerah. Sehingganya nanti Jambi memang mampu, maju dan mandiri,” tegasnya memungkas.***

0 komentar: