Rabu, 29 Oktober 2008

Mencari ‘Laskar Pelangi’ Jambi Sekeluar Teater 21

Mencari ‘Laskar Pelangi’ Jambi Sekeluar Teater 21

Nihil...

Sungguh fenomenal apa yang telah disajikan Riri Reza, sutradara ‘Laskar Pelangi’ untuk pembangunan dunia pendidikan di tanah air ini yang belakangan ini banyak carut marutnya. Sungguh Laskar Pelangi telah memberikan cakrawala wacana dan pemikiran baru bagi pencerahan dunia pendidikan.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Tidak terkecuali di Jambi, semenjak diputar di dua bioskop 21 yang dimilikinya dari amatan Posmetro Jambi ruang teater yang memutar film yang dibintangi Cut Mini bersama 10 orang Laskar Pelangi Muridnya itu ternyata di luar dugaan tak pernah sepi penonton.
Hampir setiap kali pemutarannya ruangan selalu penuh dijubeli semua kalangan, baik anak-anak maupun remaja dan dewasa, baik para guru maupun para pelajar, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, dari suku apapun, semua berjubel dan bahkan terkesan berebut sekedar untuk mendapatkan tiket laskar yang tidak dimaksudkan mengkonter Laskar Jihad maupun Laskar cintanya Dani Ahmad itu.
Makanya tidak jarang pula terlihat petugas loket terlihat kerap kali kewalahan melayani berjubelnya peminat filem itu. Seperti malam Minggu kemarin, harian ini menyempatkan diri menonton film yang sangat menyentuh dan mencerahkan itu.
Di dalam teater yang sudah digelapkan sekitar pukul setengah 9 itu, semua kursi padat terisi. Meskipun disayangkan pemutarannya sempat molor dan alur cerita film sempat berkali terganggu karena petugas operator film seringkali melompatkan adeganadegan hanya karena mungkin sang oeprator dikejar deadline. Maklum pemutaran sudah jauh telat dari jadwalnya.
Tapi tetap saja kesan positif yang berhasil dihimpun tak bisa mudah disuruh pergi. Dia melekat begitu kuat di sanubari dan memori setiap yang menontonnya. Wajar saja film ini begitu fenomenal dan bombastis pascsa Ayat-ayat Cinta. Filem ini sangat fantastis, begitu menggugah, begitu jujur dan kritis.
Setiap guru pasti akan langsung merenung sehabis melahap habis film itu sampai ‘sekian’ terpampang. Mereka pasti akan bertanya kepada dirinya ‘apakah aku mampu seperti Muslimah, sang guru bersahaja yang dimainkan dengan apik oleh Cut Mini itu’.
Posmetro pun demikian adanya. Sekeluar bioskop yang malam itu seakan telah melebihi horoskop dan teleskop cakrawala-nya malam itu, langsung mencari-cari kemungkinan adanya sosok Muslimah di Jambi ini.
Sayangnyanya, yang didapati justeru serentetan masalah dunia pendidikan yang kunjung habisnya. Apalagi mencari sosok guru bersahaja seperti Bu Mus itu, yang memang pantas menyandang gelar guru sejati, yang digugu dan ditiru itu. Yang didapati di sini hanyalah segerombolam para guru yang berburu balas jasa. Imbal jasa, gaji, honor, status PNS, pangkat dan jabatan.
Lalu ada yang sibuk mencari seseran, berburu pujian prestise dan prestasi semu, untung bisnis buku dan baju seragam sekolah dan ini itu lainnya yang bisa dibisniskan. Ada juga guru yang berlagak layaknya sang mahaguru, arogan dan killer. Yang lebih parah ada yang gila hormat. Dan setumpuk persoalan lainnya.
Sungguh tak tertemukan ada guru yang layak masuk ke barisan laskar pelangi di Jambi, sosok yang mampu memberikan warna berarti bagi perjalanan kehidupan dunia pendidikan di negeri ini. tak ada warna lain selain hitam. Kalau pun ada yang sedikit lebih terangan hanyalah abu-abu. Lebih banyaklah yang memaksakan dirinya tampil putih seakan malaikat, padahal kiprah dan sepak terjangnya di dunia yang teramat menentukan bagi masa depan bagsa ini legamlah adanya.
Begitu lihai mereka berkilah, menyembuyikan segala awan mendung yang bergayut di kepala dan hatinya. Kelam catatan sejarah yang telah diukirnya. Hingga akhirnya publik pun dengan apatis hanya mampu mengurut dada sembari bergumam, ternyata tak ada Laskar Pelangi di Jambi. yang ada hanya The Dakrk Knight tapi bukan Batman. Tak ada Pahlawan tanpa tanda jasa di sini selain mereka yang sibuk menjadi pahlawan kesiangan.
Ya, negeri Sepucuk Jambi ini ternyata sangat gersang. Hanya orang-orang yang sedikit lebih beruntung dari kacang yang sampai disebut kacangan. Yang lain bahkan jadi ambacang yang lancang. O Jambi mana Laskar Pelangi-mu para guru yang bekerja karena dedikasi diri yang tinggi dan sejati, bukannya karena gaji. Seperti lagi Hymne Guru yang dinyanyikan itu, yang penciptanya sampai saat ini masihlah seorang tenaga honorer yang tak pernah diangkat-angkat jadi PNS. Atau seperti Butuet Manurung yang masuk ke pusaran Rimba Bukit 12 dan 30 menenteng buku untuk bertemu kubu bukannya untuk menjadi memburu sebutan sebagai guru.
Jambi butuh itu sedari dulu, bukannya para guru yang meringis merintih ketika ditugaskan di pelosok yang sedikit jauh dari keramaian kota. Semoga saja ke depan ada yang berjumpa Laskar Pelangi di Jambi. meskipun itu bukan aku dan kami. Semoga.***

0 komentar: