Jumat, 10 Oktober 2008

Banyak Kue Siap Saji, Telur dan Tudung Saji Tak Laku Lagi

Menilik Prilaku Masyarakat yang Kian Jauh Bergeser dari Nilai Budayanya

Banyak Kue Siap Saji, Telur dan Tudung Saji Tak Laku Lagi

Diduga karena dampak krisis ekonomi berkelanjutan, yang berikutnya berimbas sampai bergesernya prilaku dan gaya hidup masyarakat kini semakin kentara terlihat menghinggapi peri kehidupan masyarakat Jambi.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI______________
Masyarakat kini telah berubah menjadi masyarakat praktis, dan menapikan segala sesuatu proses yang untuk menjalaninya perlu bersusah payah dan memakan banyak energi alias tenaga dan juga waktu lama.
Salah satunya adalah soal mulai bergesernya kebiasaan masyarakat dalam hal pola dan cara menyambut lebaran. Kalau dulu, budaya dan kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat adalah jauh hari sebelum lebaran setiap keluarga sudah mempersiapkan diri untuk membuat kue lebaran, minimal sudah memiliki perencanaan matang tentang kue apa yang akan dibuat.
Kini, yang terjadi malah kebalikannya. Jauh-jauh hari masyarakat sudah mengatur rencana kue siap saji jenis apa yang akan dibeli guna menghiasi meja ruang tamu saat lebaran nanti. Tak ada lagi yang berpikir ingin membuat sendiri.
Indikasi nyatanya untuk mengukur kondisi pergesersan pola pikir ini adalah dari tingkat konsumsi masyarakat akan telur yang setiap tahunnya terus saja menurun. Buktinya, kini sudah banyak produsen dan distributor telur yang mulai mengeluh konsumen mereka berkurang sangat drastis.
Menurut mereka kalau dulu tingkat konsumsi telur di tengah masyarakat di bulan puasa sampai 8 ribuan butir per, kini jumah itu sudah sangat menurun sampai hanya 3 ribuan butir saja.
Naiknya harga telur, bukanlah satu-satunya penyebab menurunnya daya konsumsi masyarakat. Yang lebih bermain di sini adalah soal telah bergesernya budaya dan gaya hidup atau prilaku masyarakat itu tadi.
Memang kalau ditilik dari segi bisnis, kondisi tersebut tidakah terlalu merisaukan, karena telur yang diproduksi ratusan peternakan unggas di Jambi itu tetap saja akan laku, meski konsumennya beralih ke kalangan industri panganan dan katering.
Namun, menurut pemerhati masalah kebudayaan, kondisi tersebut justeru dinilai sangat memprihatinkan. Pasalnya menurut merka bergesernya pola prilaku tersebut adalah indikasi nyata betapa nilai-nilai budaya yang lama melekat dalam pri kehidupan masyarakat Jambi kini sudah hampir habis tergerus gaya hidup moderat yang konsumtif dan praktis.
Dengan menipisnya nilai-nilai yang berhubungan langsung dengan cara pandang dan prilaku sosial masyarakat tersebut akan merusak spirit sosial, tepa selira, tekun dan ulet bekerja, terus kreatif berkarya, menyadari betapa manusia saling berhubungan dan membutuhkan antar satu dengan yang lainnya.
Kini semua nilai-nilai itu otomatis akan hilang. Kerugian ekonomis secara bisnis masih bisa ditanggulangi dengan mencari sumber pemasukan alternatif lainnya. Tapi hilangnya nilai budaya positif masyarakat, justeru hanya akan menghancurkan peradaban mayarakat di negeri itu sendiri secara perlahan. Mereka menuju kehancuran dalam ketiadaan indentitas dan harapan yang hanya nisbi. Ini yang perlu jadi perhatian.***

0 komentar: