Sabtu, 18 Oktober 2008

Elegi ironi Dunia Kesenian dan Kebudayaan Jambi

Elegi ironi Dunia Kesenian dan Kebudayaan Jambi

Di Kesenian, Jambi Selalu Terdepan Tapi Terus Saja Terbenam

Mungkin di bidang kehidupan yang lain Jambi bukanlah apa-apa di mata masyarakat luas. Apalagi di bidang olah raga semenjak prestasi peringkat nasional-nya di PON mulai melorot dari posisi lima besar.

YUPNICAL SAKETI, SUNGAI KAMBANG

Di beberapa kali PON yang digelar sebelum-sebelum ini, sampai pada yang terakhir di Kaltim lalu justeru semakin jeblok, sampai terlempar dari posisi 10 besar. Eksistensi Jambi seakan kehilangan pamor dan kebanggaannya di mata dunia. Untung tidak seperti seseorang yang kehilangan kejantannya.

Apalagi di bidang-bidang kehidupan yang lain Jambi pun sampai kini samasekali masih belum memiliki keunggulan sendiri yang bisa diandalkan dibanggakan guna mampu menculek mata dunia luar. Di segi hasil alam, tak ada lagi, setelah sawit dan karet kini bukanlah lagi sesuatu yang terlalu menghasilkan dari pertanian. Kepariwisataan juga tidak pernah mampu berkembang optimal meskipun ranah Jambi ini sekepal tanah syurga yang tercampakkan ke bumi, miliki banyak potensi di sana-sini yang tak kalah dari Bali.

Apalagi dibidang politik dan birokrasi pemerintahan, hingga kini hanya mampu menghasilkan kasus-kasus yang melukai mata, menyayat hati dan nurani. Di bidang sosial justeru hanya menyisakan intrik-intrik yang tak pernah berkesudahan. Prestasi-prestasi monemental semacam rekor MURI-pun cenderung melulu pemaksaan dan seremonial, sesuatu yang tidak artifisial apalagi krusial dan esensial.
Di bidang pendidikan, lebih banyaklah kasus yang membuat malu ketimbang prestasi. Hanya saja masih sangat beruntung sampai saat ini Jambi masih tergolong salah satu daerah teraman di tanah air.

Selain itu semua, satu-satunya yang masih berprestasi dan justeru semakin menunjukkan taji sampai berbaji-baji hanyalah dunia kesenian dan kebudayaan. Berbagai prestasi dan prestise seperti mata air tidak pernah berhenti berhasil diukit pelaku kesenian dan kebudayaan di negeri Angsoduo ini.

Tapi ironisnya, apa-apa yang telah berhasil disumbangsih para seniman dan budayawan itu, sampai kini eksistensinya masih saja berada dalam serba keterbatasan mutlak yang tak terhingga, kemiskinan serba sempurna. Padahal para seniman sudah bebuat banyak dan semaksimal mungkin dalam serba keterbatasan dan keterkungkungan minim perhatian pemerintah dan publiknya itu. Demi mengangkat nama Jambi.

Lihat saja faktanya. Dengan otodidak tanpa ada bekal pendidikan kesenian, sampai kin tak ada satu pun sekolah kesenian mampu berdiri dan didirikan di Jambi, justeru mereka mampu terus melaju sebagai terdepan laykanya mustang si kuda hitam legam pelajang bukit. Prestasi terus terukir, prestise terus terlahir, dari tapaknya yang api. Kesemua itu untuk Jambi semata tentunya.

Tapi coba tengok dan tanya orang yang lalu lalang itu, siapa dia orangnya warga Jambi ini yang tahu kalau generasi Jambi adalah salah seorang juara Sutardji award, adalah peserta teladan jambore Anak jalanan, adalah juara festival tari, tarik suara, musik, band, adalah mereka yang pernah dipuji Guruh Soekarno Putra, Maman Noor, dan lain sebagainya. Prestasinya memercik gemericik ke semua strata, di tingkat lokal, nasional, regional bahkan internasional, ada terdaftar prestasi seniman Jambi. Bahkan sudah ada yang telah menciptakannya sem,enjak zaman dulu kala sperti penyair Gazali Burhan Riodja (GBR) dari Kerinci.

Atau siapa yang tahu kalau Jambi adalah pelopor banyak event kesenian dan kebnudayaan di tanah air ini. Jambi Adalah pencetus pemrakarsa kemah budaya, adalah pencetus Temu Sastrawan Indonesia, adalah pencetus PLDPS dan lain sebagainya. Siapa yang tahu itu, toh para pejabat di dinas Kebudayaa dan Pariwisata di provinsi ini pun banyak yang baru tahu tentang rentetan prestasi itu, setelah dia berhari-hari duduk di kursi empuknya di ruang kepala ini itu.

Media pun sepertinya alergi menuliskan berita-berita tentang kesenian dan kebudayaan. Mungkin benar menulisnya hanya mubazir, hanya akan menghabiskan kertas dan tinta perusahaan percetakan. Pelajar dan mahasiswa jadi buta kayu dengan dunia kesenian, sampai-sampai sebatas arti dan makna tentang apa dan bagaimana kesenian itu, mereka pun teramat sangat tidak tahu, apalagi sampai disebut apresiasi, interprestasi.

Ya, tidak ada yang tahu bagaimana gejolak yang telah terjadi di dunia kesenian dan kebudayaan Jambi ini, tidak ada yang tahu, dan akhirnya jadilah dia semakin terisolir, terkungkung dalam gairahnya sendiri layaknya Kubu yang mendiami Bukit 12, Bukit 30.

Dalam kesendiriannya dan gelap gulitanya malam, seniman dan budayawan Jambi teramat sering merintih sendiri, menangisi nasibnya. Tapi lagi-lagi itu hanya dapat didengar oleh tuhan dan dirinya sendiri. Semua deritanya terus terbentur tembok tebal yang hitam di depan kornea matanya yang juga legam. Beban berat di kepala dan pundak tak memadai lagi disimbolkan dengan rambut gondrong yang lecek, dan kaos oblong hitam yang sobek-sobek.

Tak ada yang peduli padanya, baik kemarin, hari ini bahkan mungkin juga esok atau lusa. Selamanya kesenian dan kebudayaan di Jambi adalah allien, makluk asing antah beantah yang tak punya tanah untuk berpijak dan langit tempat menggantung. Semua serba nisbi baginya. Di tengah kecamuk dan hiruk pikuk dunia kabel dan beton saat ini.
Pelaku kesenian dan kebudayaan sampai kini tak pernah bisa lepas dari kemiskinan mutlak, kecuali mereka yang beruntung punya profesi lain sebagai kerja sampingan seperti PNS, birokrat, politisi, kontraktor, karyawan swasta, wartawan, big bos punya perusahaan, guru, ustad, aktivis, buruh, petani, pengamen, pedagang, dan lain sebagainya, hanya mereka bisa terus berjaya. Yang sebenarnya seniman yang sehari-harinya berkesenian, hidupanya bagai kerakap di atas karang, hidup segan mati tak bisa meskipun dia teramat ingin habisi usia. Maju kena mundur kena dimana-mana kena. Nasibnya hanya selangkah lebih mujur dari budak sahaya.

Tapi bagi mereka, terus bekerja dan berkarya adalah tanda manusia masih ada. Mereka akan terus memeras keringat mengejangkan otot, mengencangkan ikat pinggang menyinsingkan lengan baju, menguras isi kepala dan perasaan. Demi sebuah karya. Apapun kondisi yang tengah melilitnya, mau seperti jalutan akar, orot atau urat, mau seperti cacing, ular ataupun seperti naga, mereka tidak akanh pernah peduli, seniman Jambi akan terus bikin sensasi dan prestasi berisi.

Karena api ambisi dan obsesi di dalam bongkahan dadanya adalah pijar besi baja yang terus berpendar cemerlang menuju tuhan. Hasil karya dan kerjanya baginya bukan untuk siapa-siapa, selain untuk siapa saja. Maka jadilah berikutnya dia angin, ada tapi tiada. Dia punya berkoper-koper puisi meski sampai bongkot tak pernah punya antologi, dia punya seambrek lagu meski sampai mati tak pernah dapat kesempatan bisa buat album.
Dia punya segudang lukisan meski tak pernah diajak berpameran, dia punya itu ini tapi semua tersembunyi. Apalagi bicara konsep karya. Jangan tanya, dia punya ribuan, bahkan mungkin jutaan tapi tak pernah dapat peluang merealisasikannya satu pun, hanya karena dia telah dikebiri hasrat dan haknya untuk berbuat.

Ya, mungkin saja lebih baik bagi Jambi, menunggu saja semua seniman dan budayawannya mati, atau kalau mau lebih cepat bantu dia dengan doa, agar malaikat maut cepat datang padanya. Agar berikutnya kita bisa bebas mengeluarkan dan mengumumkan semua karyanya kepada dunia, dan menyebut itu sebagai khazanah negeri kekayaan bangsa.
Dan kita tak harus lagi merasa terbeban apalagi berdosa, apalagi untuk memikirkan bayar royaltinya. Toh mereka tak pernah mempatenkan saripati pemikirannya itu, dan toh kini mereka semua sudah mati. Dan beruntungnya lagi diantara mereka banyak yang selama hidupnya tak bini apalagi anak alias sebatang kara yang sebenar-benarnya kara dan kere.

Makanlah semua hasil jerih payahnya oleh kita, minumlah oleh kita semaunya cucuran keringannya yang sudah mengering dan basi itu. Semoga semua dahaga di diri Jambi yang terus membirahi ini bisa tertuntaskan seketika, dan semua lapar yang fana terlunaskan saat ini jua.

Dan kita dan Jambi ini, pun akan tetap digdaya, tetap jadi yang terdepan, tapi meski masih terus akan terpendam dan terbenam, meskipun kali itu terpendam dan terbenamnya adalah karena fosil dan artefak para seniman budayawannya yang hanya tunggal tulang diliputi debu, tak bisa teriak merdeka atau angkat pena dan kwas lagi. Maju, terus menderu negeri ku yang manusianya masih mencari mutu dan aku yang mati kutu.***

0 komentar: