Rabu, 29 Oktober 2008

Karena Sawit, Orang Jambi Banyak Sakit Jiwa

Karena Sawit, Orang Jambi Banyak Sakit Jiwa

Sedikitnya Sudah 10 Petani Masuk RSJ Karena Stress Be3rat Mikir Dililit Hutang Cicilan Barang Kreditan

KOTAJAMBI-Dampak nyata dari krisis ekonomi global yang berimbas kepada anjloknya harga sawit di pasaran dunia dari Rp 2900 jadi Rp 200 perkilogram, kini mulai dirasakan oleh Jambi. khususnya bagi para petani sawit.

Pasalnya, karena begitu drastisnya harga sawit anjlok, yang menjadi mata pencaharian dan sumber penghidupan mereka selama ini, kini mereka rasakan langsung dampaknya terhadap perekonomian keluarganya. Salah satu butkinya adalah dengan telah mulai meningkatnya pengidap gangguan bahkan sakit jiwa di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini.

Buktinya, pihak Rumah sakit Jiwa (RSJ) Jambi melalui Direkturnya Chaeril dalam keterangan kepada wartawan baru-baru ini seperti yang diterima Posmetro Jambi, dinyatakan memang semenjak terjadinya penurunan drastis harga sawit di pasaran dunia, pasiennya terus meningkat. Bahkan menurutnya kini pihaknya tengah merawat sedikitnya 10 pasien baru yang kesemuanya adalah petani sawit.

Gangguan kejiwaan yang dirasakan mereka umumnya adalah stress baik berat maupun ringan. Atau dalam sebutan sederhananya tertekan kejiwaan karena beban kehidupan yang mendadak berat mendera mereka. Salah satunya adalah lilitan hutang yang menumpuk.

Pasalnya, ketika beberapa bulan lalu harga sawit sampai melonjak demikian pesatnya, tidak sedikit para petani yang mendadak menjadi orang kaya mendadak.
Keberhasilan mereka itu mereka ekspresikan dengan memborong berbagai bentuk barang keperluan atau kebutuhan kehidupannya, baik dengan bayar tunai maupun yang cicilan atau kreditan.

Nah, yang kreditan inilah yang saat ini dirasakan begitu memberatkan mereka. Pasalnya dengan murahnya harga sawit kebanyakan mereka kini tak mampu lagi membayar cicilan barang yang mereka kredit. Sementara barang-barang yang mereka kredit itu adalah barang-barang kebutuhan lux yang mewah seperti kendaraan, mobil atau motor. Lalu barang-barang elektronik seperti teve, DVD, kulkas dan lain sebagainya.

Di sisi lain, beban kehidupan lainnya yang jauh lebih primer seperti biaya sekolah anak juga harus mereka bayarkan. Karena itulah stress berat. Bahkan karena ketidak sanggupan itu banyak diantara anak uysia sekolah itu yang dipaksa orang tuanya untuk berhenti sekolah.

Sementara itu, jika kondisi krisis ini masih terus berlanjut maka diprediksikan dalam waktu ke depan orang sakit jiwa di Jambi ini pun akan terus meningkat. Demikian menurut seorang pengamat sosial masyarakat Jambi menjawab koran ini.(c@l)

Mencari ‘Laskar Pelangi’ Jambi Sekeluar Teater 21

Mencari ‘Laskar Pelangi’ Jambi Sekeluar Teater 21

Nihil...

Sungguh fenomenal apa yang telah disajikan Riri Reza, sutradara ‘Laskar Pelangi’ untuk pembangunan dunia pendidikan di tanah air ini yang belakangan ini banyak carut marutnya. Sungguh Laskar Pelangi telah memberikan cakrawala wacana dan pemikiran baru bagi pencerahan dunia pendidikan.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI

Tidak terkecuali di Jambi, semenjak diputar di dua bioskop 21 yang dimilikinya dari amatan Posmetro Jambi ruang teater yang memutar film yang dibintangi Cut Mini bersama 10 orang Laskar Pelangi Muridnya itu ternyata di luar dugaan tak pernah sepi penonton.
Hampir setiap kali pemutarannya ruangan selalu penuh dijubeli semua kalangan, baik anak-anak maupun remaja dan dewasa, baik para guru maupun para pelajar, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, dari suku apapun, semua berjubel dan bahkan terkesan berebut sekedar untuk mendapatkan tiket laskar yang tidak dimaksudkan mengkonter Laskar Jihad maupun Laskar cintanya Dani Ahmad itu.
Makanya tidak jarang pula terlihat petugas loket terlihat kerap kali kewalahan melayani berjubelnya peminat filem itu. Seperti malam Minggu kemarin, harian ini menyempatkan diri menonton film yang sangat menyentuh dan mencerahkan itu.
Di dalam teater yang sudah digelapkan sekitar pukul setengah 9 itu, semua kursi padat terisi. Meskipun disayangkan pemutarannya sempat molor dan alur cerita film sempat berkali terganggu karena petugas operator film seringkali melompatkan adeganadegan hanya karena mungkin sang oeprator dikejar deadline. Maklum pemutaran sudah jauh telat dari jadwalnya.
Tapi tetap saja kesan positif yang berhasil dihimpun tak bisa mudah disuruh pergi. Dia melekat begitu kuat di sanubari dan memori setiap yang menontonnya. Wajar saja film ini begitu fenomenal dan bombastis pascsa Ayat-ayat Cinta. Filem ini sangat fantastis, begitu menggugah, begitu jujur dan kritis.
Setiap guru pasti akan langsung merenung sehabis melahap habis film itu sampai ‘sekian’ terpampang. Mereka pasti akan bertanya kepada dirinya ‘apakah aku mampu seperti Muslimah, sang guru bersahaja yang dimainkan dengan apik oleh Cut Mini itu’.
Posmetro pun demikian adanya. Sekeluar bioskop yang malam itu seakan telah melebihi horoskop dan teleskop cakrawala-nya malam itu, langsung mencari-cari kemungkinan adanya sosok Muslimah di Jambi ini.
Sayangnyanya, yang didapati justeru serentetan masalah dunia pendidikan yang kunjung habisnya. Apalagi mencari sosok guru bersahaja seperti Bu Mus itu, yang memang pantas menyandang gelar guru sejati, yang digugu dan ditiru itu. Yang didapati di sini hanyalah segerombolam para guru yang berburu balas jasa. Imbal jasa, gaji, honor, status PNS, pangkat dan jabatan.
Lalu ada yang sibuk mencari seseran, berburu pujian prestise dan prestasi semu, untung bisnis buku dan baju seragam sekolah dan ini itu lainnya yang bisa dibisniskan. Ada juga guru yang berlagak layaknya sang mahaguru, arogan dan killer. Yang lebih parah ada yang gila hormat. Dan setumpuk persoalan lainnya.
Sungguh tak tertemukan ada guru yang layak masuk ke barisan laskar pelangi di Jambi, sosok yang mampu memberikan warna berarti bagi perjalanan kehidupan dunia pendidikan di negeri ini. tak ada warna lain selain hitam. Kalau pun ada yang sedikit lebih terangan hanyalah abu-abu. Lebih banyaklah yang memaksakan dirinya tampil putih seakan malaikat, padahal kiprah dan sepak terjangnya di dunia yang teramat menentukan bagi masa depan bagsa ini legamlah adanya.
Begitu lihai mereka berkilah, menyembuyikan segala awan mendung yang bergayut di kepala dan hatinya. Kelam catatan sejarah yang telah diukirnya. Hingga akhirnya publik pun dengan apatis hanya mampu mengurut dada sembari bergumam, ternyata tak ada Laskar Pelangi di Jambi. yang ada hanya The Dakrk Knight tapi bukan Batman. Tak ada Pahlawan tanpa tanda jasa di sini selain mereka yang sibuk menjadi pahlawan kesiangan.
Ya, negeri Sepucuk Jambi ini ternyata sangat gersang. Hanya orang-orang yang sedikit lebih beruntung dari kacang yang sampai disebut kacangan. Yang lain bahkan jadi ambacang yang lancang. O Jambi mana Laskar Pelangi-mu para guru yang bekerja karena dedikasi diri yang tinggi dan sejati, bukannya karena gaji. Seperti lagi Hymne Guru yang dinyanyikan itu, yang penciptanya sampai saat ini masihlah seorang tenaga honorer yang tak pernah diangkat-angkat jadi PNS. Atau seperti Butuet Manurung yang masuk ke pusaran Rimba Bukit 12 dan 30 menenteng buku untuk bertemu kubu bukannya untuk menjadi memburu sebutan sebagai guru.
Jambi butuh itu sedari dulu, bukannya para guru yang meringis merintih ketika ditugaskan di pelosok yang sedikit jauh dari keramaian kota. Semoga saja ke depan ada yang berjumpa Laskar Pelangi di Jambi. meskipun itu bukan aku dan kami. Semoga.***

Pegawainya Ditarik RSUD AM, Puskesmas Tak Masalah

Pegawainya Ditarik RSUD AM, Puskesmas Tak Masalah

KOTAJAMBI-Sebagaimana telah diketahui publik, untuk kebutuhan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Manap (RSUD AM) kota Jambi yan baru berdiri dan beroperasi yang menjadi target rekrutmen adalah Puskesmas-Puskesmas di Kota Jambi.
Tak pelak sebagian Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Puskesmnas miliki pun harus rela eksodus atau hijrah tugas ke RSUD AM yang teamat sangat membutuhkan tenaga mereka itu. Lalu apakah penarikan pegawai ini berpengaruh terhadap kinerja dan kerja pelayanan terhadap masyarakat di Pusksmas- puskesmas tersebut.
Untuk sementara, pada tahap awal pihak Dinas Kesehatan (Diskes) menyebutkan tenaga medis seperti perawat seperti SDM para pegawai juga telah disiapkan. "Kita ambil dari Puskesmas-puskesmas yang ada di kota Jambi," sebut dr Hengky Indrajaya, Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) menjawab Posmetro Jambi kemarin.
Pantauan koran ini di lapangan pasca beroperasi RSUD AM belakangan ini, secara langsung memang tidak terlihat pengaruh atau masalah berarti terhadap tingkat kualitas layanan kepada masyarakat. Agaknya jauh-jauh hari pihak Pusmeskas dan Pemerintah Kota (Pemkot) dalam hal ini Dinas Kesehatan (Dinkes) sendiri yang mengantisipasi kondisi ini.
Buktinya, sampai kemarin belum terlihat kualitas pelayanan kepada masyarakat menurun atau berkurang dari biasanya. Semua pasien tetap dapat terlayani dengan optimal sebagaimana mestinya.
Disinggung mengenai imbas kepada Puskesmas, terkait ditariknya tenaga medis untuk keperluan rumah sakit kota ini, Hengky menjawab tidak ada pangaruh sama sekali. Hanya saja mungkin terjadi masalah ringan seperti rangkap tugas dan dimulainya lagi adaptasi dengan tugas baru oleh pegawai yang sebelumnya tidak menangani bidang tersebut.
"Tidak ada masalah, tenaga medis di Puskesmas-puskesmas kita cukup banyak. Jadi tak akan berpengaruh dengan kinerja mereka, meskipun sebagian kita ambil,” begitu ditegaskan Hengky.(amh/c@l)

Di Kota, Semua Rumah Walet Pelanggar Perda

Di Kota, Semua Rumah Walet Pelanggar Perda

Dewan: Dan Jadi Biang Berbagai Permasalahan yang Komplek

KOTABARU-Erbandi, anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jambi, salah seorang legislatif yang paling getol menyoroti keberadaan rumah walet di Kota Beradat Jambi, kepada Posnmetro Jambi kemarin tegas-tegas menyatakan hampir kesemua rumah walet di Kota Tanah Pilih Pseko Batuah saat ini keberadaannya melanggar Peraturan Daerah (Perda) tentang usaha walet yang telah diterbitkan Pemkot.
“Seperti diketahui keberadaan rumah walet di kota Jambi hampir seluruhnya telah melanggar Perda yang ada. Nah kondisi inilah yang semestinya sigap disikapi oleh Pemerintah Kota (Pemkot),” ungkapnya blak-blakan. Ditambahkannya, sudah lah melanggar aturan keberadaan rumah walet rupanya sering pula menjadi sumber permasalahan lainnya yang cukup vital. Baik itu permasalahan sosial kemasyarakatan, adminsitrasi pemerintahan, pemasukan kas daerah.
Juga jadi ancaman kesehatan bagi masyarakat ketika mewabahnya berbagai penyakit berbahaya yang diakibatkan unggas seperti Flu Burung, juga jadi perusak keindahan kota, penyempit tata ruang kota yang fungsional dan berdaya guna, juga menjadi sumber polusi suara.
Perda mengenai walet sendiri menurutnya pertama kali dibuat untuk memanfaatkan ketika terjadinya booming walet, dimana Perda dibuat agar para pengusaha walet tertarik untuk membuat rumah walet di kota Jambi sehingga ada pemasukan bagi pemerintah.
Dan setelah itu Perda dibuat untuk mengatur keberadaan rumah walet. Namun dikarenakan PW zonasi belum juga ada makanya keberadaan ruah walet tidak bisa dilakukan penertiban.
“Pada awalnya Perda adalah untuk menghadapi booming rumah walet, Perda dimanfaatkan untuk menarik para investor, dan saat ini seharusnya Perda mengatur keberadaan rumah walet yang telah ada,” terangnya.(amh/c@l)

Temuan BPK Adalah ‘Tugas Warisan’

Temuan BPK Adalah ‘Tugas Warisan’

Erwin: Kepala Daerah Baru Wajib Selesaikan Segala Temuan BPK yang Tak terselesaikan Kepala Daerah Sebelumnya

KOTABARU-Sebagaimana diketahui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semenjak bertugasnya di Jambi telah mendapati berbagai macam kasus keuangan yang berkemungkinan jadi peluang terjadinya raibnya uang negara tanpa alasan dan pertanggung jawaban yang jelas.
Oleh bpk sendiri dimintakan kepada setiap dinas instansi terkait tempat ditemukannya kasus-kasus tersebut untuk segera melakukan penindak lanjutan penyelesaiannya sebagaimana dengan apa yang direkomendasikan BPK.
Erwin, kepala BPK perwakilan Jambi, telah menegaskan setiap kasus wajib diselesaikan oleh kepala daerah dan dinas instansi terkaitnya yang bermasalah tersebut. Artinya tidak ada samasekali dalam kamus BPK yang namanya pembekuan apalagi pemutihan kasus atau temuan. Semua wajib ditindaklanjuti.
Lalu bagaimana kalau disaat proses penindak lanjutan berjalan di daerah bersangkutan terjadi pergantian kepala daerah. Dengan tegas Erwin menyatakan hal itulah bukanlah kendala dan persoalan. Pasalnya penyelesai kasus tersebut bukanlah kepala daerah sebagai person, tetapi melainkan kelembagaan dari pemerintahan itu sendiri.
Pendek kata, ini artinya, jika terjadi pergantian kepala daerah maka secara otomatis proses penindanjutan tersebut berpindah tangan kepada person kepala daerah yang baru. Dalam kalimat sederhananya pula penyelesaian kasus BPK tersebut berbentuk warisan kepemimpinan, yang hukumnya wajib diselesaikan, oleh siapapun itu dia pemangku jabatan kepala daerah, baik sebagai gubernur, walikota atau bupati.
“Setiap temuan BPK kalau belum diselesaikan akan tetap menjadi catatan, walaupun pimpinannya sudah berganti. kalau belum diselesaikan dokumennya tidak akan hilang” jelas Erwin.
Ketika disinggung adanya pergantian kepala daerah bagaimana dengan nasib hasil temuan tersebut, dijelaskannya kalau hal tersebut merupakan kewajiban kepala daerah yang baru untuk menyelesaikannya sampai tuntas.
“Kepala daerah yang baru harus selesaikan, apalagi kepala daerah yang baru masih bersih tidak ada persoalan, temuan BPK bisa dimanpaatkan untuk menyelasaikan persoalan yang ada,” tandasnya.
Selain itu diharapkannya agar semua perangkat daerah bisa menyelesaikan semua adminsitrasi pasalnya semua permasalahan biasanya dimulai dari adminitrasi yang kurang baik.(amh/c@l)

Sabtu, 25 Oktober 2008

Trend Berburu Porselin

Trend Berburu Porselin untuk
Percantik Interior Rumah


Tak Jarang Ada Guci Impor dari
China Nangkring di Ruang Tamu

KALAU ‘Weekend’ minggu lalu Posmetro Jambi sudah coba dedahkan satu kawasan tempat mendapatkan guci-guci porselin cantik yang mewah dan elegan kualitas impor peningkat gengsi keluarga di Kota Beradat Jambi ini, kali ini coba disajikan lagi dari sisi lain.

Dalam artikel kali ini akan dikupaskan dedahan tentang gaya hidup mengoleksi guci yang semakin menjadi-jadi di kalangan warga Jambi.
Layaklah pula live style ini disebut pula sebagai trend. Pasalnya kegemaran satu ini ternyata menuntut totalitas setiap hobbies alias penggemarnya.

Kondisi itu pada kenyataannya terus saja berkembang, hingganya gaya hidup ini kini tidak saja digeluti oleh para hobbies dari kalangan kelas menengah ke atas seperti seharusnya.
Tapi kalangan kelas menengah ke bawah pun tidak sedikit yang kepincut ikut-ikutan mengoleksi porselin-porselin aneka rupa yang tidak fungsional samasekali selain sebagai penghias rumah ini semata. Itupun cuma bisa untuk hiasan interior.
Sekarang ini tidak jarang di temui para pemburu poselin dan guci di pusat-pusat penjualannya di Pasar Jambi, bisa didapati atau ditemukan pula diantara mereka yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja.

Padahal harga porselin yang memang bisa membuat ngiler yang melihat dan mengangkat gengsi keluarga pemiliknya itu tidaklah bisa dibilang murah. Bahkan pada umumnya berharga melangit. Apalagi kalau barangnya sendiri adalah barang impor seperti dari China, India, Korea, Jepang dan berbagai negara pemproduk porselin lainnuya.

Meski begitu karena virus trend sudah menjangkit tidak sedikit diantara mereka yang hanya berpenghasilan pas-pasan memaksakan diri untuk bisa membeli dan mengoleksi. Yang penting gengsi terangkat. Maka tak jarang kini guci lux dan mewah sudah sangat gampang dijumpai di rumah-rumah pondok biasa, atau rumah-rumah kontrakan.

Kenapa harus terjadi begitu. Tentu saja itu adalah salah satu dampak dari derasnya deraan gaya hidup hedonis dan sok moderen yang gencar dipublikasikan berbagai media saat ini. Memang mengoleksi barang kesukaan adalah sesuatu yang tidak dilarang. Akan tetapi tentu saja semua itu harus disesuaikan dengan keadaan diri sendiri.

Publik semestinya mesti bisa mengukur diri, menyesuaikan diri dengan bayangan. Bukannya memaksakan kehendak padahal sesungguhnya tidak mampu. Lagi pula kalau porselin sederhana yang masih berfisik gerabah benda itu sangat fungsional. Sebagai gentong air di rumah-rumah warga. Air yang disimpan disitu akan bisa bercita rasa tinggi.

Sejuk dan menyegarkan plus menyehatkan karena adanya unsur hara penetralisir kuman yang terkandung di dinding gerabah yang terbuat dari tanah itu. Tapi porselin mewah saat ini untuk apa. (c@l)

Rabu, 22 Oktober 2008

Isu KPK Tangkap Gubernur, Masih Terus Hangat Diperbincangkan Publik

Isu KPK Tangkap Gubernur, Masih Terus Hangat Diperbincangkan Publik

KOTAJAMBI-Terus santernya isu yang menyebutkan Gubernur Jambi H Zulkifli Nurdin (ZN) telah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, ternyata masih juga terus berkembang seperti air sungai Batanghari yang merambat perlahan, mengalir membasahi setiap dataran rendah dan lembah yang dilaluinya.

Buktinya sampai kemarin isu penangkapan yang sudah langsung dibantah dengan jumpa pers di Bandara oleh sang number one begitu sekembalinya dia dari lawatannya di Jakarta itu, masih saja dibicarakan orang.

Di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, di kantor-kantor baik pemerintahan maupun swasta, di pasar, bahkan ada yang mengaku masih membicarakan dengan pasangan hidupnya sampai di tempat tidur, mereka masih bersemangat memperbincangkan apa yang telah diisukan tersebut.

Fokus pembicaraan masih seputar tudingan keterlibatan atas gubernur yang sampai saat ini masih belum terbukti itu. Namun masih saja ada sebagian publik yang berlagak begitu yakin ZN memang terlibat.

Padahal, ZN sendiri sudah kembali menegaskan kalau sesungguhnya dirinya telah terbukti sampai saat ini tidak terbukti terlibat apa-apa. Pasalnya menurut dia, tentang apa yang menjadi tudingan orang-orang yang menyebut dirinya termasuk orang yang menerima uang dari Sudiro, rekanan yang menangani proyek itu, samasekali tidak benar.

Meskipun diakuinya, seperti dipaparkannya pada jumpar pers, dia memang ditinggalkan sebuah amplop berisi cek oleh Sudiro saat berkunjunga ke rumahnya, akan tetapi cek itu sudah dikembalikan. Pengambaliannya pun bukannya saat kasus itu terkuak, melainkan di saat hari diterimanya itu juga atau saat itu juga. Proyek itu pun dihentikan saat itu juga kelanjutannya.
Bahkan, menurut ZN, karena sikap tegasnya itu dia malah idak saja dipercayai oleh KPK melainkan juga mendapat pujian sebagai orang yang telah turut membantu menghentikan penyerobotan uang negara.

Akan tetapi, informasi lainnya yang disampaikan kelompok mahasiswa Jambi di Jakarta yang menggelar demo menuntut pemeriksaan diri ZN oleh KPK, tetap bersikeras menyebutkan ZN selaku Gubernur Jambi harus diperiksa tuntas keterlibatannya. Khususnya tentang cek dari Sudiro

Seputatr itulah yang menjadi fokus pembicaraan publik Jambi saat ini. meski begitu kepercayaan publik terhadap kredibilitas seorang ZN tampaknya masih belum akan luntur oleh isu tersebut. Buktinya kebanyakan pula diantara mereka tetap berkeyakinan tidaklah akan mungkin, atau sangat mustahil seorang ZN yang notabene adalah seorang pengusaha tersukses di Jambi ini melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti ikut-ikutan korup seperti yang ditudingkan itu.(c@l)

Sabtu, 18 Oktober 2008

Elegi ironi Dunia Kesenian dan Kebudayaan Jambi

Elegi ironi Dunia Kesenian dan Kebudayaan Jambi

Di Kesenian, Jambi Selalu Terdepan Tapi Terus Saja Terbenam

Mungkin di bidang kehidupan yang lain Jambi bukanlah apa-apa di mata masyarakat luas. Apalagi di bidang olah raga semenjak prestasi peringkat nasional-nya di PON mulai melorot dari posisi lima besar.

YUPNICAL SAKETI, SUNGAI KAMBANG

Di beberapa kali PON yang digelar sebelum-sebelum ini, sampai pada yang terakhir di Kaltim lalu justeru semakin jeblok, sampai terlempar dari posisi 10 besar. Eksistensi Jambi seakan kehilangan pamor dan kebanggaannya di mata dunia. Untung tidak seperti seseorang yang kehilangan kejantannya.

Apalagi di bidang-bidang kehidupan yang lain Jambi pun sampai kini samasekali masih belum memiliki keunggulan sendiri yang bisa diandalkan dibanggakan guna mampu menculek mata dunia luar. Di segi hasil alam, tak ada lagi, setelah sawit dan karet kini bukanlah lagi sesuatu yang terlalu menghasilkan dari pertanian. Kepariwisataan juga tidak pernah mampu berkembang optimal meskipun ranah Jambi ini sekepal tanah syurga yang tercampakkan ke bumi, miliki banyak potensi di sana-sini yang tak kalah dari Bali.

Apalagi dibidang politik dan birokrasi pemerintahan, hingga kini hanya mampu menghasilkan kasus-kasus yang melukai mata, menyayat hati dan nurani. Di bidang sosial justeru hanya menyisakan intrik-intrik yang tak pernah berkesudahan. Prestasi-prestasi monemental semacam rekor MURI-pun cenderung melulu pemaksaan dan seremonial, sesuatu yang tidak artifisial apalagi krusial dan esensial.
Di bidang pendidikan, lebih banyaklah kasus yang membuat malu ketimbang prestasi. Hanya saja masih sangat beruntung sampai saat ini Jambi masih tergolong salah satu daerah teraman di tanah air.

Selain itu semua, satu-satunya yang masih berprestasi dan justeru semakin menunjukkan taji sampai berbaji-baji hanyalah dunia kesenian dan kebudayaan. Berbagai prestasi dan prestise seperti mata air tidak pernah berhenti berhasil diukit pelaku kesenian dan kebudayaan di negeri Angsoduo ini.

Tapi ironisnya, apa-apa yang telah berhasil disumbangsih para seniman dan budayawan itu, sampai kini eksistensinya masih saja berada dalam serba keterbatasan mutlak yang tak terhingga, kemiskinan serba sempurna. Padahal para seniman sudah bebuat banyak dan semaksimal mungkin dalam serba keterbatasan dan keterkungkungan minim perhatian pemerintah dan publiknya itu. Demi mengangkat nama Jambi.

Lihat saja faktanya. Dengan otodidak tanpa ada bekal pendidikan kesenian, sampai kin tak ada satu pun sekolah kesenian mampu berdiri dan didirikan di Jambi, justeru mereka mampu terus melaju sebagai terdepan laykanya mustang si kuda hitam legam pelajang bukit. Prestasi terus terukir, prestise terus terlahir, dari tapaknya yang api. Kesemua itu untuk Jambi semata tentunya.

Tapi coba tengok dan tanya orang yang lalu lalang itu, siapa dia orangnya warga Jambi ini yang tahu kalau generasi Jambi adalah salah seorang juara Sutardji award, adalah peserta teladan jambore Anak jalanan, adalah juara festival tari, tarik suara, musik, band, adalah mereka yang pernah dipuji Guruh Soekarno Putra, Maman Noor, dan lain sebagainya. Prestasinya memercik gemericik ke semua strata, di tingkat lokal, nasional, regional bahkan internasional, ada terdaftar prestasi seniman Jambi. Bahkan sudah ada yang telah menciptakannya sem,enjak zaman dulu kala sperti penyair Gazali Burhan Riodja (GBR) dari Kerinci.

Atau siapa yang tahu kalau Jambi adalah pelopor banyak event kesenian dan kebnudayaan di tanah air ini. Jambi Adalah pencetus pemrakarsa kemah budaya, adalah pencetus Temu Sastrawan Indonesia, adalah pencetus PLDPS dan lain sebagainya. Siapa yang tahu itu, toh para pejabat di dinas Kebudayaa dan Pariwisata di provinsi ini pun banyak yang baru tahu tentang rentetan prestasi itu, setelah dia berhari-hari duduk di kursi empuknya di ruang kepala ini itu.

Media pun sepertinya alergi menuliskan berita-berita tentang kesenian dan kebudayaan. Mungkin benar menulisnya hanya mubazir, hanya akan menghabiskan kertas dan tinta perusahaan percetakan. Pelajar dan mahasiswa jadi buta kayu dengan dunia kesenian, sampai-sampai sebatas arti dan makna tentang apa dan bagaimana kesenian itu, mereka pun teramat sangat tidak tahu, apalagi sampai disebut apresiasi, interprestasi.

Ya, tidak ada yang tahu bagaimana gejolak yang telah terjadi di dunia kesenian dan kebudayaan Jambi ini, tidak ada yang tahu, dan akhirnya jadilah dia semakin terisolir, terkungkung dalam gairahnya sendiri layaknya Kubu yang mendiami Bukit 12, Bukit 30.

Dalam kesendiriannya dan gelap gulitanya malam, seniman dan budayawan Jambi teramat sering merintih sendiri, menangisi nasibnya. Tapi lagi-lagi itu hanya dapat didengar oleh tuhan dan dirinya sendiri. Semua deritanya terus terbentur tembok tebal yang hitam di depan kornea matanya yang juga legam. Beban berat di kepala dan pundak tak memadai lagi disimbolkan dengan rambut gondrong yang lecek, dan kaos oblong hitam yang sobek-sobek.

Tak ada yang peduli padanya, baik kemarin, hari ini bahkan mungkin juga esok atau lusa. Selamanya kesenian dan kebudayaan di Jambi adalah allien, makluk asing antah beantah yang tak punya tanah untuk berpijak dan langit tempat menggantung. Semua serba nisbi baginya. Di tengah kecamuk dan hiruk pikuk dunia kabel dan beton saat ini.
Pelaku kesenian dan kebudayaan sampai kini tak pernah bisa lepas dari kemiskinan mutlak, kecuali mereka yang beruntung punya profesi lain sebagai kerja sampingan seperti PNS, birokrat, politisi, kontraktor, karyawan swasta, wartawan, big bos punya perusahaan, guru, ustad, aktivis, buruh, petani, pengamen, pedagang, dan lain sebagainya, hanya mereka bisa terus berjaya. Yang sebenarnya seniman yang sehari-harinya berkesenian, hidupanya bagai kerakap di atas karang, hidup segan mati tak bisa meskipun dia teramat ingin habisi usia. Maju kena mundur kena dimana-mana kena. Nasibnya hanya selangkah lebih mujur dari budak sahaya.

Tapi bagi mereka, terus bekerja dan berkarya adalah tanda manusia masih ada. Mereka akan terus memeras keringat mengejangkan otot, mengencangkan ikat pinggang menyinsingkan lengan baju, menguras isi kepala dan perasaan. Demi sebuah karya. Apapun kondisi yang tengah melilitnya, mau seperti jalutan akar, orot atau urat, mau seperti cacing, ular ataupun seperti naga, mereka tidak akanh pernah peduli, seniman Jambi akan terus bikin sensasi dan prestasi berisi.

Karena api ambisi dan obsesi di dalam bongkahan dadanya adalah pijar besi baja yang terus berpendar cemerlang menuju tuhan. Hasil karya dan kerjanya baginya bukan untuk siapa-siapa, selain untuk siapa saja. Maka jadilah berikutnya dia angin, ada tapi tiada. Dia punya berkoper-koper puisi meski sampai bongkot tak pernah punya antologi, dia punya seambrek lagu meski sampai mati tak pernah dapat kesempatan bisa buat album.
Dia punya segudang lukisan meski tak pernah diajak berpameran, dia punya itu ini tapi semua tersembunyi. Apalagi bicara konsep karya. Jangan tanya, dia punya ribuan, bahkan mungkin jutaan tapi tak pernah dapat peluang merealisasikannya satu pun, hanya karena dia telah dikebiri hasrat dan haknya untuk berbuat.

Ya, mungkin saja lebih baik bagi Jambi, menunggu saja semua seniman dan budayawannya mati, atau kalau mau lebih cepat bantu dia dengan doa, agar malaikat maut cepat datang padanya. Agar berikutnya kita bisa bebas mengeluarkan dan mengumumkan semua karyanya kepada dunia, dan menyebut itu sebagai khazanah negeri kekayaan bangsa.
Dan kita tak harus lagi merasa terbeban apalagi berdosa, apalagi untuk memikirkan bayar royaltinya. Toh mereka tak pernah mempatenkan saripati pemikirannya itu, dan toh kini mereka semua sudah mati. Dan beruntungnya lagi diantara mereka banyak yang selama hidupnya tak bini apalagi anak alias sebatang kara yang sebenar-benarnya kara dan kere.

Makanlah semua hasil jerih payahnya oleh kita, minumlah oleh kita semaunya cucuran keringannya yang sudah mengering dan basi itu. Semoga semua dahaga di diri Jambi yang terus membirahi ini bisa tertuntaskan seketika, dan semua lapar yang fana terlunaskan saat ini jua.

Dan kita dan Jambi ini, pun akan tetap digdaya, tetap jadi yang terdepan, tapi meski masih terus akan terpendam dan terbenam, meskipun kali itu terpendam dan terbenamnya adalah karena fosil dan artefak para seniman budayawannya yang hanya tunggal tulang diliputi debu, tak bisa teriak merdeka atau angkat pena dan kwas lagi. Maju, terus menderu negeri ku yang manusianya masih mencari mutu dan aku yang mati kutu.***

Jumat, 17 Oktober 2008

Catatan Jelang PLDPS XI

Catatan Jelang PLDPS XI

Generasi Lukis Jambi adalah Besi Baja, Cuma Belum Ditempa Jadi Apa

17 November mendatang, Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) yang ke-11, akan kembali segera dihelat di Jambi yang dalam pelaksanaan tahun sebelumnya sudah ditetapkan Jambi sebagai tuan rumah tetap atas even yang sedari awal memang telah digagas dan dirintis para pelukis dan perupa Jambi.

YUPNICAL SAKETI, KARYA MAJU

Menjelang penyelenggaraan helatan yang tinggal menhitung minggu itulah, Posmetro Jambi mengadakan bincang-bincang ringan dengan salah seorang budayawan dan sesepuh senirupa Jambi yang saat ini juga kebetulan juga salah seorang penjabat yang menduduki kursi Kasubdin di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi, Drs Ja’far Rasuh.

Dari bincang-bincang ringan di sela-sela rapat pengurus Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi di Kantor Bahasa pada sore yang basah tersiram renyai gerimis kemarin itulah, terguratkan sebentuk panilaian yang menjadi pesan yang layak diambil faedah dan manfaatnya oleh para pelukis Jambi khususnya pada mereka yang tergolong dalam barisan generasi terkini guna dibawa dalam diri dalam menapak persiapan penyelenggaraan pameran prestesius tersebut.

“Kalau bicara soal potensi, apalagi kalau yang disorot itu adalah mereka yang ada pada generasi masa kini, maka seseungguhnya Jambi itu memiliki SDM yang teramat sangat memadai dan bahkan sangat layak untuk bersaing, bertanding dan bersanding dengan mereka para pelukis ternama dari daerah-daerah lain,” jawab bapak yang memang dikenal sebagai aktivis dan sekaligus birokrat seni budaya Jambi yang fasih dan paham betul memotivasi bahkan memprovokasi semngat para generasi seni muda usia itu dengan gaya orasinya yang khas.

Kalau diibaratkan, imbuhnya, mereka para generasi rupa Jambi ini sudah seperti besi baja, bukan lagi besi biasa. Pasalnya mereka punya semuanya, mereka punya kemampuan skill dan teknik mumpuni, meeka punya banyak media sebagai ruang publikasi, mereka punya banyak link dan institusi pemerintah dan swasta untuk mensponsori.
“Cuma sayangnya, besi baja yang kita miliki ini sama sekali belum ditempa atau tertempa. Jadinya ya, mereka jadi hanya sebatas batangan besi baja yang keras,” ujarnya mengibaratkan.

Bayangkan saja, imbuhnya lagi, tanpa mempunyai satu pun sekolah seni seperti daerah lain, Jambi malah mampu melahirkan generasi seni khususnya generasi lukis terus menerus. “Tapi karena mereka adalah generasi otodidak tadilah, pertumbuhan fisik berupa sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki ini, tidak mampu dibarengi oleh kemajuan konsep berpikir yang memadai, aktual dan mengikuti perkembangan dunia,” kritiknya.

Kalau diibarakan, mereka para generasi ‘besi baja’ tersebut, masihlah sebatas ‘katak dalam tempurung’. Keterbatasan wawasan dan wacana berpikir, akhirnya berpengaruh betula pada kemampuan berencana, berkelana, dan berswasembada meningkatkan kualita dirinya agar bisa lebih baik lagi.

Memang butuh proses paanjang, strategi jitu dan kesebaran ekstra untuk membina mereka yang otodidak tadi. Seperti mengolah batangan besi baja tadi, sangat keras, susah sekali dibentuk jadi pedang, belati, parang, tombak atau senjata rahasia. Amat berbeda dengan mengolah besi biasa, sekali tempa langsung bisa jadi pisau atau parang bahkan bisa jadi jarum pentul. Tapi besi baja tidak semudah itu.
Menempanya butuh pemahaman dua arah. Jika penempa hanya mengedepankan egonya sendiri tanpa memperhitungkan tekstur dan bahan kimia yang bersenyawa hingga dia berbentuk besi itu. Maka bisa-bisa besi itu akan memelanting sendiri, memercikkan apinya ke mata si penempanya sendiri.

Karenanyalah si penempa pun kudu harus waspada, tidak boleh lengah apa lagi terlena dan terpan atau hanya mengurut dada. Mungkin besi baja itu saat ini belum pada masanya memuaikan diri, makanya dia begitu keras begitu liat. Tunggu dan terus cari momentum tepat untuk menempanya.
Tapi bagi si generasi besi baja-nya sendiri yang dibicrakan sendiri, juga harus bersedia membuka diri, jangan terlalu terutup terhadap kenyataan masa lalu dan dunia luar. Jangan buat benih arogan, bukan dogan, tumbuh berkecambah di dada, karena itu sangat bebahaya. Mentang-mentang diri adalah generasi besi baja, jangan pula mengeras kepala seperti besi baja.

Hayo bekerja sama-sama. Bangun seni budaya Jambi dengan baja yang sempurna. Hingga sempana perbawa mampu angkut karya berbicara di keluasan mata dunia. Begitu kira-kira kesimpulan perbincangan sederhana dengan ditemani segelas kopi panas seduhan security pria dan sebungkus rokok yang dihisap berdua sore itu. Semoga ada guna, semoga.***

Catatan Jelang PLDPS XI

Catatan Jelang PLDPS XI

Generasi Lukis Jambi adalah Besi Baja, Cuma Belum Ditempa Jadi Apa

17 November mendatang, Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) yang ke-11, akan kembali segera dihelat di Jambi yang dalam pelaksanaan tahun sebelumnya sudah ditetapkan Jambi sebagai tuan rumah tetap atas even yang sedari awal memang telah digagas dan dirintis para pelukis dan perupa Jambi.

YUPNICAL SAKETI, KARYA MAJU

Menjelang penyelenggaraan helatan yang tinggal menhitung minggu itulah, Posmetro Jambi mengadakan bincang-bincang ringan dengan salah seorang budayawan dan sesepuh senirupa Jambi yang saat ini juga kebetulan juga salah seorang penjabat yang menduduki kursi Kasubdin di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi, Drs Ja’far Rasuh.

Dari bincang-bincang ringan di sela-sela rapat pengurus Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi di Kantor Bahasa pada sore yang basah tersiram renyai gerimis kemarin itulah, terguratkan sebentuk panilaian yang menjadi pesan yang layak diambil faedah dan manfaatnya oleh para pelukis Jambi khususnya pada mereka yang tergolong dalam barisan generasi terkini guna dibawa dalam diri dalam menapak persiapan penyelenggaraan pameran prestesius tersebut.

“Kalau bicara soal potensi, apalagi kalau yang disorot itu adalah mereka yang ada pada generasi masa kini, maka seseungguhnya Jambi itu memiliki SDM yang teramat sangat memadai dan bahkan sangat layak untuk bersaing, bertanding dan bersanding dengan mereka para pelukis ternama dari daerah-daerah lain,” jawab bapak yang memang dikenal sebagai aktivis dan sekaligus birokrat seni budaya Jambi yang fasih dan paham betul memotivasi bahkan memprovokasi semngat para generasi seni muda usia itu dengan gaya orasinya yang khas.

Kalau diibaratkan, imbuhnya, mereka para generasi rupa Jambi ini sudah seperti besi baja, bukan lagi besi biasa. Pasalnya mereka punya semuanya, mereka punya kemampuan skill dan teknik mumpuni, meeka punya banyak media sebagai ruang publikasi, mereka punya banyak link dan institusi pemerintah dan swasta untuk mensponsori.
“Cuma sayangnya, besi baja yang kita miliki ini sama sekali belum ditempa atau tertempa. Jadinya ya, mereka jadi hanya sebatas batangan besi baja yang keras,” ujarnya mengibaratkan.

Bayangkan saja, imbuhnya lagi, tanpa mempunyai satu pun sekolah seni seperti daerah lain, Jambi malah mampu melahirkan generasi seni khususnya generasi lukis terus menerus. “Tapi karena mereka adalah generasi otodidak tadilah, pertumbuhan fisik berupa sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki ini, tidak mampu dibarengi oleh kemajuan konsep berpikir yang memadai, aktual dan mengikuti perkembangan dunia,” kritiknya.

Kalau diibarakan, mereka para generasi ‘besi baja’ tersebut, masihlah sebatas ‘katak dalam tempurung’. Keterbatasan wawasan dan wacana berpikir, akhirnya berpengaruh betula pada kemampuan berencana, berkelana, dan berswasembada meningkatkan kualita dirinya agar bisa lebih baik lagi.

Memang butuh proses paanjang, strategi jitu dan kesebaran ekstra untuk membina mereka yang otodidak tadi. Seperti mengolah batangan besi baja tadi, sangat keras, susah sekali dibentuk jadi pedang, belati, parang, tombak atau senjata rahasia. Amat berbeda dengan mengolah besi biasa, sekali tempa langsung bisa jadi pisau atau parang bahkan bisa jadi jarum pentul. Tapi besi baja tidak semudah itu.
Menempanya butuh pemahaman dua arah. Jika penempa hanya mengedepankan egonya sendiri tanpa memperhitungkan tekstur dan bahan kimia yang bersenyawa hingga dia berbentuk besi itu. Maka bisa-bisa besi itu akan memelanting sendiri, memercikkan apinya ke mata si penempanya sendiri.

Karenanyalah si penempa pun kudu harus waspada, tidak boleh lengah apa lagi terlena dan terpan atau hanya mengurut dada. Mungkin besi baja itu saat ini belum pada masanya memuaikan diri, makanya dia begitu keras begitu liat. Tunggu dan terus cari momentum tepat untuk menempanya.
Tapi bagi si generasi besi baja-nya sendiri yang dibicrakan sendiri, juga harus bersedia membuka diri, jangan terlalu terutup terhadap kenyataan masa lalu dan dunia luar. Jangan buat benih arogan, bukan dogan, tumbuh berkecambah di dada, karena itu sangat bebahaya. Mentang-mentang diri adalah generasi besi baja, jangan pula mengeras kepala seperti besi baja.

Hayo bekerja sama-sama. Bangun seni budaya Jambi dengan baja yang sempurna. Hingga sempana perbawa mampu angkut karya berbicara di keluasan mata dunia. Begitu kira-kira kesimpulan perbincangan sederhana dengan ditemani segelas kopi panas seduhan security pria dan sebungkus rokok yang dihisap berdua sore itu. Semoga ada guna, semoga.***

Senin, 13 Oktober 2008

Soal Standar Wajib Minimal Penyelenggaraan Kebudayaan

Soal Standar Wajib Minimal Penyelenggaraan Kebudayaan

Kabupaten Kota Masih ‘Buto Kayu’

Sebenarnya apa yang menjadi persoalan ketika sebuah helatan kesenian dan kebudayaan teramat sering menjadi dilema bahkan problema oleh daerah-daerah, hingganya apapun yang diperbuat teramat sering hanya menjadi sebatas seremonial dan bahkan tak jarang hanya berkembang sebatas wacana semata.

YUPNICAL SAKETI, KARYA MAJU

Hal inilah yang dikritisi oleh salah seorang budayawan, seniman yang juga pejabat kasubdin di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi Drs Ja’far Rasuh kepada Posmetro Jambi kemarin.

Menurutnya kondisi tersebut bukanlah melulu dikarenakan persoalan anggaran, tapi justeru lebih sering dikarenakan ketidak tahuan pejabat di dinas bersangkutan yang ada di setiap kabupaten kota dalam Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini terhadap apa yang semestinya menjadi tugas dan fungsi mereka.

“Itulah sebenarnya letak kelemahannya. Soalnya kalau masalah Sumber Daya Manusia (SDM), setiap daerah sepertinya sudah memilikinya lebih dari sekedar cukup, juga begitu halnya dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Budaya (SDB)-nya. Lalu soal manejerial, juga tak kurang mahir kok mereka. Lalu yang sering dikeluhkan yakni minimnya anggaran, saya pikir itu juga tidak tepat,” ungkapnya.

Karena itulah, satu hal yang menjadi sorotan dirinya semenjak mendapat jabatan di Disbudpar adalah soal Standar Wajib dan Minimal Penyelenggaraan Kebudayaan oleh daerah.

Dia mengaku baru mendapatkan draf yang mengatur tentang hal itu semenjak bertugas di Budpar, padahal apa yang menjadi acuan daerah tersebut sudah diterbitkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata semenjak 2003 lalu.

“Saya tidak begitu yakin, apakah semua kabupaten kota di Jambi ini tahu akan adanya standar wajib dan minimal itu. Pasalnya, kalau tahu kok penyelenggaraan kebudayaan yang sering dilakukan malah lebih sering amburadul seakan penyelenggaranya ngabal saja,” tambahnya bersemangat.

Contoh kecilnya, imbuhnya, Kalau memang mereka sudah tahu dan memahami, tentu saja takkan terjadi banyak penolakan proposal yang diajukan baik oleh individu atau kelompok yang memang setiap harinya berlaku sebagai pelaku kesenian dan kebudayaan itu sendiri.

“Pasalnya, menurut buku standar wajib dan minimal itu daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Kota (Pemkot), wajib memfasilitasi, memotivasi atau menyokong dan membantu setiap yang ingin menyelenggarakan kegiatan kesenian dan kebudayaan di daerahnya,” sebutnya.

Jadi dengan begitu, tambahnya lagi, itu tentu artinya Pemerintah daerah (Pemda) sangat berlasan untuk menolak proposal sebuah helatan festival puisi misalnya, dan lalu mengalihkan dana yang dimilikinya untuk jadi biaya perjalanan dinas menghadiri seminar atau festival atau bahkan mungkin sekedar melancong ke daerah lain.
“Padahal, dengan anggaran yang sekali perjalanan dinas luar itu bisa menghabiskan puluhan juta itu, daerah malah bisa menyelenggarakan dua bahkan sampai lima kegiatan kesenian dan kebudayaan dalam setahun,” kritisnya.

Perlu juga diketahui, lanjutnya, bahwa menurut acuan standar waji dan minmal tersebut daerah wajib menyelenggarakan minmal dua helatan apapun itu bentuknya baik destival, penerbitan buku, seminar, ataupun kemah budaya. Dan minimal satu kali untuk setiap macam genre atau kebudayaan yang dibawahinya, seperti bidang pertunjukan, bidang sastra, dan bidang-bidang lainnya.

Karena, sesungguhnya acuan standar wajib dan minimal yang dikeluarkan pemerintah pusat itu adalah sebuah acuan yang sangat komplit guna mempermudah kerja dan kinerja pejabat daerah dalam menyelenggarakan kegiatan kesenian dan kebudayaan di daerahnya.
Jadi pendeknya, mereka para pejabat itu tentu tidak akan lagi mendapati kebuntuan atau kesuntukan ketika sudah berhadapan dengan program kerja. Pasalnya di dalamnya sudah begitu lengkap dan jelas, bisa dilakukan oleh orang yang tak mengerti soal kesenian sekalipun
“Kita lihat di daerah lain, mengacu kepada standar itu, semua kegiatan kebudayaan dan kesenian yang digelarnya, selalu mampu menyedot animo dan apresiasi tinggi dari publik seantero tanah air bahkan dunia. Lihat saja, festival layangan saja sampai bisa diselenggarakan dalam skop internasional, festival permaianan anak-anak saja bisa begitu prestesiusnya. Apalagi kegiatan yang memang sudah menjadi kalender wajib mereka,” urainya lagi.

Sementara di Jambi, lanjutnya, bisa kita lihat sendiri, sepertinya samasekali belum terlalu terasa ada gezah dari event-event akbar yang diselenggarakan di sini. Estival Masyarakat Peduli Danau Kerinci (FMDK) atau festival Candi Muaro Jambi misalnya, sudah berapa tahun berturut-turut digelar selalu saja tidak meninggal kesan mendalam, apalagi sampai mampu mengangkat pamor identitas daerah. Padahal event-event itu sudah dinyatakan kalender nasional.

Bahkan mungkin kegiatan itu bisa dikatakan kalah gezah dari Temu Sastrawan Indonesia (TSI), Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) Ari Setya Ardhi (ASA) Award, dan event-event yang diselenggarakan oleh pelaku kesenian dan kebudayaan yang lebih sering secara mandiri itu.

“Persoalan-persolan seperti itu tentunya tak perlu terjadi, seandainya acuan dari pemerintah pusat itu sedah tersosialisasikan dengan baik. Karena itulah, semenjak saya menjabat tekad dan target pertama saya adalah mensosialisasikan lagi acuan ini dengan cara apapun ke daerah-daerah. Sehingganya nanti Jambi memang mampu, maju dan mandiri,” tegasnya memungkas.***

Onyeng (otak nyenggol)

+ Dewan katonyo minta Wagub AZA diganti, Nyeng
- Mungkin biak jangan buat jantung ‘badegub’ kencang terus yo, Wak...he...he...he...

+ Nasib pemenang PTUN masih dalam dilema, Nyeng
- Samo dak rasonyo dengan ‘delima’, Wak...he...he...he...

+ Soal listrik, Jambi katonyo akan nambah daya, Nyeng
- Jangan sekedar ‘gaya’ yo, Wak...he...he...he...

Trend Punk yang Terus Bertahan dan Bahkan Malah Berkembang

Trend Punk yang Terus Bertahan dan Bahkan Malah Berkembang


SEMENJAK beberapa tahun lalu, kehidupan jalanan di Kota Jambi resmi bertambah satu lagi, dengan kehadiran sekelompok anak muda berdandan teramat nyentrik yang menamakan diri mereka ‘anak punk’. Publik pun sempat dibuat resah karena persepsi mereka atas kehidupan ala anak punk ini samasekali belum tumbuh.

Apalagi dalam kesehariannya, para anak punk yang biasanya hidup berkelompok dan sehari-hari mencari uang dengan mengamen ini kerap pula menjurus negatif. Maka pemahaman publik berikutnya- pun melulu yang negatif-negatif
Padahal sesungguhnya gaya hidup bebas yang dipilih para anak punk tersebut sesungguhnya adalah cerminan dari jati diri pribadi dan pemberontakan sosial yang teramat mendalam atas semua kondisi yang terjadi di sekelilingnya.

Karena sesungguhnya punk bukanlah hanya sebatas gaya, anak punk bukanlah gerombolan preman apalagi barisan pengacau keamanan, anak punk bukanlah semata kelompok anak muda ambisius pencari sensasi. Anak punk bukanlah kelompok seniman yang gagal dan lalu brutal.

Prinsip mereka sesungguhnya teramatlah sederhana, hidup apa adanya, bergaya, berusaha keluar dari tatanan dan peraturan hidup yang dinilai sudah terlalu mengenkang dan tidak berperi lagi. Mulai dari kekangan keluarga, lingkungan, kebiasaan dan pakem sosial di lingkungannya, sampai ke soal selera musik dan gaya dandanan.

Awal cerita Punk lahir di eropa, di Jerman Punk tumbuh jadi satu kelompok yang dalam kehidupannya berjuang melawan kondisi perikehidupan di negaranya yang keras di masa dalam genggaman Nazi dengan pemimpin diktatornya, Adolf Hitler.

Lalu punk muncul di Amerika, di sini punk tumbuh dalam bingkai berbagai gerakan sosial. Ada kelompok yang anti rasis, tapi ada juga kelompok yang berusaha keras mempertahankan ra yang membedakan hak antara kulit putih dengan kulit hitam dan kulit berwarna.

Punk berikutnya hadir di kota-kota hampir di seantero dunia. Mulai dari Brazil kemudian merambah asia, sampai di Jepang, Thailand dan akhirnya tidak terkecuali di Indonesia.

Uniknya, anak punk di negeri, sungguh amat berbeda dengan tipikal dan karekter anak punk di negara-negara lain. Anak punk di sini jauh lebih membudaya dan berbudaya. Di sini, anak pun bukanlah kelompok anak jalanan yang bebal, brutal dan terkait dengan prilaku kriminal.

Mereka yang jadi anak punk di sini memang tetap berspirit dasar yakni memperjuangkan kebebasan diri, namun dalam kesehariannya mereka justeru lebih kreatif dan berprestasi. Bahkan tidak jarang terbentuknya kelompok mereka karena didasari karena dorongan sosial dan kemanusiaan yang tinggi.

Karenanya, ketika mampir di negeri ini, seorang filmaker dari Hollywood Amerika yang berpetualang keliling dunia merekam kehidupan anak punk ke dalam film dokumentar yang dibuatnya, sempat terheran-heran melihat dan mendapati karekter anak punk yang berbeda di negeri ini.

Di sini dia bertemu anak punk yang mempunyai job nyanyi di kafe-kafe, atau mendapati anak punk dengan dandanan khasnya yang nyentrik tengah bekerja mencankul di sawah membantu orang tuanya yang petani.

Hanya saja, memang ada juga segelintir di antara kelompk itu yang sering tersangkut dengan prilaku kriminal dan jadi langganan berurusan dengan aparat kepolisian. Narkoba, miras atau Menodong pengendara di jalanan, atau mencuri kaca spion mobil, tapi itu hanyalah segelintir.

Yang paling banyak ditemuin diantara mereka adalah mereka yang berdandan teramat nyentrik mengamen di jalanan atau tengah ngumpul-ngumpul di salah satu sudut kota tak bertuan. Pendek, asal mereka di beri kebebasan untuk berkekresi dan mengekspresikan dirinya, mereka tidaklah pernah pula menganggu masyarakat di sekitarnya.

Meskpiun banyak diantara kita yang merasa risih karena melihat pakaian berduri besi yang sudah pada kumal, dan bau badan yang menyengat karena mereka tentu jarang mandi.

Pasalnya, kalau publik bersikap anti, mereka justeru makin bikin keki. Mungkin gaya hidup mereka tidak cocok dengan kepribadian dan kebudayaan negeri ini, tapi tetap saja kehadiran mereka adalah salah satu dari warna pelangi, salah satu bentuk dari kebudayaan itu sendiri. Budaya urban orang sering menyebutnya.

Lihat saja, semakin banyak yang keki dan mengaku geli, dan lalu ada yang mencoba membasminya, anak punk justeru tak semakin tak terbantahkan, bahkan mereka terus berkembang. Semoga tulisan ini cukup memberi arti.(c@l)

Jumat, 10 Oktober 2008

ATL Internasional 2010, Jambi Tuan Rumah?


ATL Internasional 2010, Jambi Tuan Rumah?


Bertekad Serius Incar Jadi Tuan Rumah Festival, ATL Jambi Akan Kirim Sebanyak-banyaknya Utusan ke Wakatobi Sultra

TELANAIPURA-Festival Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Internasional yang akan diselengarakan di Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara (Sultra) Desember mendatang ternyata cukup membuat ATL Jambi antusias.
Hal itu terungkap dalap rapat pengurus ATL Jambi yang berlangsung Kantor Bahasa Telanaipura kemarin sore. seperti apa yang disampaikan DR Maizar Karim Mhum Ketua ATL Jambi kemarin. Dikatakannya meskipun secara umur ATL di Indonesia masih tergolong seumur jagung namun kiprahnya ternyata cukup terbukti ampuh membangun jati diri sebuah negeri dan bangsa.
Karena keinginan mengincar dan lalu merebut kesempatan untuk jadi tuan rumah penyelenggaraan ATL 2 tahun berikutnya, tepatnya tahun 2010, maka ATL Jambi merencanakan akan mengirimkan utusan sebanyaknya-banyak, lewat semua jalur yang memungkinkan, baik jalur sebagai peserta undangan, biasa maupun sebagai pemakalah.
“Ya, dalam rapat kita sudah memutuskan akan hadir atau mengirimkan utusan pada helatan dwi tahunan tersebut. Bahkan kita mendapat amanah dari budayawan Ja’far Rasuh untuk membawa pulang kesempatan jadi tuan rumah untuk penyelenggaraan tahun 2010 nanti. Pesan itu lah yang paling memotivasi kita,” ungkap Maizar Karim.
Mengapresiasi niatan positif itulah, imbuhnya, ATL Jambi berencana mengirimkan utusan sebanyak-banyaknya, minimal lima orang. Jumlah itu tentu melebihi kapasitas yang yang telah ditetapkan panitia yang membatasi pesertanya hanya 100 orang untuk seluruh dunia.
Adalah budayawan yang juga salah seorang Kasubdin di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Ja’far Rasuh yang paling mensuport dan memotivasi hasrat ATL tersebut. Bahkan dia yang menitipkan pesan kepada para utusan Jambi yang nantinya akan mewakili ATL Jambi untuk pulang dengan membawa oleh-oleh berupa kesempatan untuk jadi tuan rumah itu.
Festival ATL di Waktobi itu sendiri akan berlangsung mulai 1 Desember mendatang. Tema yang diangkat tahun ini adalah tentang ‘tradisi lisan kemaritiman’.
Tentu saja guna terwujudnya cita-cita tersebut ATL Jambi membutuhkan pengertian dan bantuan dari semua pihak, terutama sekali dari berbagai dinas instansi terkait milik pemerintah, dan pihak swasta tentunya yang ada di Jambi, untuk dapat membantu secara materil keberangkatan utusan Jambi ini.
“Pokoknya kita akan tunjukkan kita serius ingin turut membangun jati diri dan karekter bangsa ini khususnya negeri Jambi, dengan cara melobi kesempatan untuk jadi tuan rumah penyelenggaraan dua tahun berikutanya. Mottonya, Festival ATL 2010, di Jambi” begitu pungkas Maizar.(c@l)

Onyeng (otak nyenggol)

+ PLN Mengancam akan memutus sambungan ribuan pelanggan kalu idak jugo bayar tunggakannyo, Nyeng
- Asal jangan diputusin nyawonyo be, Wak...he...he...he...

+ Untuk membunuh jentik nyamuk DBD, Dinkes kemarin nyemprot sekolah-sekolah, Nyeng
- Nyemprotnyo pake obat nyamuk kan, Wak...he...he...he...

+ Jambi tahun 2010 nanti, katonyo bakal jadi tuan rumah festival ATL Internasional, Nyeng
- Mudah-mudahan tu idak cuma sebatas ‘ota’ bae, Wak...he...he...he...

Catatan Jelang PLDPS XI

Catatan Jelang PLDPS XI

Generasi Lukis Jambi adalah Besi Baja, Cuma Belum Ditempa Jadi Apa

17 November mendatang, Pameran Lukisan dan Dialog Pelukis se-Sumatera (PLDPS) yang ke-11, akan kembali segera dihelat di Jambi yang dalam pelaksanaan tahun sebelumnya sudah ditetapkan Jambi sebagai tuan rumah tetap atas even yang sedari awal memang telah digagas dan dirintis para pelukis dan perupa Jambi.

YUPNICAL SAKETI, KARYA MAJU

Menjelang penyelenggaraan helatan yang tinggal menhitung minggu itulah, Posmetro Jambi mengadakan bincang-bincang ringan dengan salah seorang budayawan dan sesepuh senirupa Jambi yang saat ini juga kebetulan juga salah seorang penjabat yang menduduki kursi Kasubdin di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi, Drs Ja’far Rasuh.
Dari bincang-bincang ringan di sela-sela rapat pengurus Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi di Kantor Bahasa pada sore yang basah tersiram renyai gerimis kemarin itulah, terguratkan sebentuk panilaian yang menjadi pesan yang layak diambil faedah dan manfaatnya oleh para pelukis Jambi khususnya pada mereka yang tergolong dalam barisan generasi terkini guna dibawa dalam diri dalam menapak persiapan penyelenggaraan pameran prestesius tersebut.
“Kalau bicara soal potensi, apalagi kalau yang disorot itu adalah mereka yang ada pada generasi masa kini, maka seseungguhnya Jambi itu memiliki SDM yang teramat sangat memadai dan bahkan sangat layak untuk bersaing, bertanding dan bersanding dengan mereka para pelukis ternama dari daerah-daerah lain,” jawab bapak yang memang dikenal sebagai aktivis dan sekaligus birokrat seni budaya Jambi yang fasih dan paham betul memotivasi bahkan memprovokasi semngat para generasi seni muda usia itu dengan gaya orasinya yang khas.
Kalau diibaratkan, imbuhnya, mereka para generasi rupa Jambi ini sudah seperti besi baja, bukan lagi besi biasa. Pasalnya mereka punya semuanya, mereka punya kemampuan skill dan teknik mumpuni, meeka punya banyak media sebagai ruang publikasi, mereka punya banyak link dan institusi pemerintah dan swasta untuk mensponsori.
“Cuma sayangnya, besi baja yang kita miliki ini sama sekali belum ditempa atau tertempa. Jadinya ya, mereka jadi hanya sebatas batangan besi baja yang keras,” ujarnya mengibaratkan.
Bayangkan saja, imbuhnya lagi, tanpa mempunyai satu pun sekolah seni seperti daerah lain, Jambi malah mampu melahirkan generasi seni khususnya generasi lukis terus menerus. “Tapi karena mereka adalah generasi otodidak tadilah, pertumbuhan fisik berupa sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki ini, tidak mampu dibarengi oleh kemajuan konsep berpikir yang memadai, aktual dan mengikuti perkembangan dunia,” kritiknya.
Kalau diibarakan, mereka para generasi ‘besi baja’ tersebut, masihlah sebatas ‘katak dalam tempurung’. Keterbatasan wawasan dan wacana berpikir, akhirnya berpengaruh betula pada kemampuan berencana, berkelana, dan berswasembada meningkatkan kualita dirinya agar bisa lebih baik lagi.
Memang butuh proses paanjang, strategi jitu dan kesebaran ekstra untuk membina mereka yang otodidak tadi. Seperti mengolah batangan besi baja tadi, sangat keras, susah sekali dibentuk jadi pedang, belati, parang, tombak atau senjata rahasia. Amat berbeda dengan mengolah besi biasa, sekali tempa langsung bisa jadi pisau atau parang bahkan bisa jadi jarum pentul. Tapi besi baja tidak semudah itu.
Menempanya butuh pemahaman dua arah. Jika penempa hanya mengedepankan egonya sendiri tanpa memperhitungkan tekstur dan bahan kimia yang bersenyawa hingga dia berbentuk besi itu. Maka bisa-bisa besi itu akan memelanting sendiri, memercikkan apinya ke mata si penempanya sendiri.
Karenanyalah si penempa pun kudu harus waspada, tidak boleh lengah apa lagi terlena dan terpan atau hanya mengurut dada. Mungkin besi baja itu saat ini belum pada masanya memuaikan diri, makanya dia begitu keras begitu liat. Tunggu dan terus cari momentum tepat untuk menempanya.
Tapi bagi si generasi besi baja-nya sendiri yang dibicrakan sendiri, juga harus bersedia membuka diri, jangan terlalu terutup terhadap kenyataan masa lalu dan dunia luar. Jangan buat benih arogan, bukan dogan, tumbuh berkecambah di dada, karena itu sangat bebahaya. Mentang-mentang diri adalah generasi besi baja, jangan pula mengeras kepala seperti besi baja.
Hayo bekerja sama-sama. Bangun seni budaya Jambi dengan baja yang sempurna. Hingga sempana perbawa mampu angkut karya berbicara di keluasan mata dunia. Begitu kira-kira kesimpulan perbincangan sederhana dengan ditemani segelas kopi panas seduhan security pria dan sebungkus rokok yang dihisap berdua sore itu. Semoga ada guna, semoga.***

Onyeng (otak nyenggol)

+ Sebanyak 1008 orang Napi se-Jambi dinyatakan akan mendapat remisi khusus lebaran tahun ni, Nyeng
- Semoga galoe dak balik lagi jadi Napi, Wak...he...he...he...

+ Razia BPOM di berbagai swalayan kemarin mendapati ado produk susu berkemasan kaleng yang sudah berkarat, Nyeng
- Mungkin tu cerminan hati manusia kini yang sudah banyak nian karatnya, Wak...he...he...he...

+ Kabupaten Merangin kabarnya la tajangkit Flu Burung, Nyeng
- Moga-moga itu bukan ‘flu buyung’, Wak...he...he...he...

Model Trend Mukena Jambi

Model Adobsi Tetumbuhan dan Hewan, Trend Mukena Lebaran Tahun Ini

Yupnical, Jambi- DUNIA fashion akhirnya sampai juga menyentuh busana ibadah muslimah. Selain Jilbab dan baju kurung, salah satu yang akhirnya terjamah fasyen adalah Mukena.

Kalau dulu mukena hanyalah dipandang sebatas busana atau kelengkapan ibadah khususnya untuk sholat, hingganya keberadaannya hanya dipandang sebatas alat kelengkapan yang cukup sebatas ada dan punya. Tak perlu gaya atau mode macam-macam. Hingganya penampilan mukena selalu dalam pakem konvensional tanpa inovasi dan kreasi.

Maka dalam perkembangannya kini, mukena yang telah tumbuh tidak lagi sebatas busana kelengkapan ibadah wanita muslimah, melainkan juga telah jadi salah satu model pakaian keseharian layaknya jilbab dan baju kurung, mukena masa kini telah tampil dinamis dan penuh gaya dan kreasi inovasi.

Bahkan mukena kini didisain oleh para disainer busana ternama. Maka tidak mengherankan kalau mukena belakangan ini selalu muncul mode dan gaya baru setiap jelang momentum bulan Ramadhan dan hari Raya idul Fitri.

Bergagai model, gaya dan pola tercurahkan secara maksimal. Hinganya mukena tak lagi busana ibadah apa adanya. Aneka corak dan ragam kini bebas dipilih oleh para muslimah sesuai selera. Dari mode dan gaya, kini mukena ada mukena berenda, mukena berbordir, mukena lukis, mukena batik dan lain sebagainya.

Dari bahan mukan kini ada yang berbahan katun, ada sutera, ada tayyet, ada parasut, nilon, kalap dan lain sebagainya. Begitu juga soal warna. Kalau dulu mukena harus berwarna putih. Maka mukena masa kini tidak harus putih. Sudah ada mukena pink, biru, krem, kuning, oranye, hijau dan lain sebagainya.

Dalam disain, mukena kini ada yang bergaya mengadobsi penampilan hewan seperti kupu-kupu, atau adobsi bentuk sayap serangga lainnya. Bahkan ada gaya adobsi dari gaya sayap dan ekor burung-burungan seperti merak, cendrawasih dan lainnya.

Ada juga yang bergaya suluran rumbuh-tumbuhan seperti teratai, berbagai jenis bebungaan seperti teratai, mawar, dahlia dan lainnya.
Yang pasti kesemua corak, daya, mode dan pola yang ditawarkan di jamin akan membuat muslimah pemakainya semakin anggun bergaya dan modis. Bahkan bisa dijamin pula, kalau mukena masa kini itu juga bisa dipakai di keseharian tanpa harus merasa risih, malu atau sungkan lagi. Arti kata mukena kini tidak lagi sebatas kelengkapan ibada atau sholat semata.

Lalu, dari sekian banyak mode, gaya, pola dan corak yang telah banyak ditawarkan para produsen saat ini, yang mana yang akan jadi trend tahun ini. Semua tentu kembali pada selera dan pribadi konsumen itu sendiri.
Pasalnya, berbeda dari jenis busana lainnya, maka mukena adalah busana yang tidak akan kehilangan fase trendnya. Sepanjang waktu mukena yang telah dimiliki akan tetap menjadi trend. Artinya. Setiap mode, corak, gaya dan pola yang telah tersaji tidak akan pernah kehilangan pangsa pasarnya.

Yang jelas, sepertinya gaya berenda akan tetap jadi pilihan dan incaran para muslimah calon konsumen. Hal ini tentu berhubungan dengan karekter kehidupan masyarakat massa kini yang dinamis dan penuh spirit.
Hanya saja mungkin perpaduan gayanya, tahun ini akan jauh lebih kreatif dan inovatif.

Gaya yang diadobsi dari hewan dan tumbuhan akan menjadi incaran muslimah calon konsumen. Alasannya, apalagi kalau bukan model itu adalah sesuatu yang baru, alias belum pernah ada di tahun-tahun sebelumnya. Selamat lebaran selamat bergaya pada segenap muslimah Jambi. Semoga semua mendatang pahala kepad setiap kita, amin.

Onyeng (otak nyenggol)

+ Ribuan bus layak jalan lah disiapkan untuk layani kebutuhan mudik lebaran tahun ni, Nyeng
- Asal jangan ado George Bush busuk be, Wak...he...he...he...

+ Jambi kabarnyo buka lowongan bagi investor pabrik Pelet, Nyeng
- Ternyato demi pelet dak biso pakai ‘pelet’ yo, Wak...he...he...he...

+ Di Jambi sudah dak katek lagi IPK, Nyeng
- Kecuali ‘Ii...Pencoleng’, Wak...he...he...he...

Onyeng (otak nyenggol)

+ Setelah dewan, giliran LSM desak Gubernur segera tunjuk Sekda Definitif, Nyeng
- La banyak nian yang sudah dak tahan lagi pengin ngimpit yo, Wak...he...he...he...

+ Warga Das Batanghari dihimbau tuk waspadai banjir ‘bandang’, Nyeng
- Kecuali kalu banjirnya banjir ‘ikan bandang’, Wak...he...he...he...

+ Kareno hujan, jalanan dalam pasar Angsoduo berubah jadi kubangan, Nyeng
- Kalu cam tu ubah be namonyo jadi Pasar Kebotuo atau Badaktuo, Wak...he...he...he...

Prediksi Pergantian ‘Pemain’ di Pemkot Pada Masa Injury Time?

Prediksi Pergantian ‘Pemain’ di Pemkot Pada Masa Injury Time?

Meski Allenatore Baru Nantinya Kembali Bongkar Squad Itu

Menyusul akan segera terjadinya pergantian tampuk pimpinan di Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi, terang telah mulai mengambang bayangan-bayangan mutasi di benak para pejabat di lingkungan Pemprov.

YUPNICAL & A HIDAYAT, KOTABARU

Layaknya bagaimana kasak-kusuknya para pemain sepak bola profesional yang merumput di berbagai klub elit di pentas kompetisi reguler profesional di Eropa sana, setiap memasuki fase dibukanya transfer window (masa belanja pemain).
Mengadopsi pengistilahan sepakbola dalam kamus lega calcio (nama kompetisi Seri A liga Italia) itu pula Posmetro Jambi Mencoba mengibaratkan. Setiap kali terjadi pergantian allenatore (pelatih) maka dipastikan pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah merombak squad alias tim-nya agar bisa ideal dan sesuai selera dan kebutuhannya.
Bahkan tidak hanya saat awal itu dia melakukan perombakan, dalam setiap permainan yang tengah dilakoni timnya pun pergantian pemain harus tetap terus terjadi sampai akhir masa Injury Time (waktu ekstra). Hal itu tentu merupakan otoritas (Prerogatif) mutlaknya sebagai allenatore. Karena sebagai pelatih dia tentu mempunyai strategi dalam menyikapi permainan dan berbagai kemungkinan yang berkembang di dalamnya, sampai wasit meniup peluit terkahir.
Di pemerintahan pun demikian adanya. Kalau diibaratkan pertandingan bola tadi, maka saat ini Arifien Manap selaku Walikota Jambi sudah memasuki masa injury time yang sangat kritis. Sebentar lagi KPU (wasit) akan meniup peluit panjang. Arifien tentu tengah memuncah dan memuncaki permaianan yang tengah berlangsung jelang masa sudden death ini.
Masih perlukan dia melakukan pergantian pemain, itu tentu saja akan sangat tergantung dengan standar penilaian (evaluasi)yang dimilikinya sendiri. Menyikapi kondisi itu tentunya semua. Kalau dia menganggap tim masih belum memenangi permainan itu sebagaimana harapannya, tentu dia akan secepatnya akan melakukan pergantian pemain dari yang sudah melemah staminanya dengan yang masih ambisius dan segar bugar.
Tapi sebaliknya, kalau dia menilai permainan itu sudah cukup dimenanginya maka dia tentu hanya akan duduk manis di halte pemain cadangan sembari menunggu wasit meniup peluit panjang.
Apakah ketika itu dikaitkan dengan situasi politik saat ini, dimana secara politis Walikota Arifien Manap akan segera mengakhiri masa jabatannya alias sudah dalam masa Injury time atau detik-detik akhir dalam masa tambahan waktu pada pertandingan sepak bola.
Meski begitu yang paling dicemaskan adalah kemungkinan ikut bermainnya faktor politis dalam berbagai utasi yang berkemungkinan terjadi dalam waktu dekat ini.
Ketika dikomentari apakah akan terjadi rotasi atau perputaran besar-besaran di lingkup Pemkot Jambi terkait akan dilaksanakannya PP 41, Plt Sekda Kota Jambi H Husin Kasim dengan diplomatis hanya menjelaskan kesemua kebijakan itu saat ini masihlah otoritas sang pemimpin aktif, yakni Walikota. Dirinya juga tidak mengomentari dan hanya mengatakan semuanya ada ditangan pimpinan dan dalam hal ini tentu saja walikota.
Namun berdasarkan isu yang berkembang saat pergeseran tersebut akan terjadi di Dinas PdK dimana yang jabatan saat ini dipegang oleh M Rawi akan segera digantikan dan Rawi sendiri akan ditempatkan sebagai Kepala Bappeda. Pasalnya berdasarkan historinya Rawi pernah menjabat di situ.
Namun, dengan dilantiknya para pejabat yang akan menduduki masing-masing jabatan bukan berarti akan membuat mereka menjadi senang. Pasalnya, dalam waktu dekat ini akan terjadi penggantian pimpinan dimana walikota baru akan segera dilantik, dan apakah walikota baru akan berkenan memakai pejabat yang dilantik oleh walikota saat ini.
Semua kembali kepada walikota yang baru, namun walikota baru juga pasti akan terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap kinerja bawahannya apabila akan melakukan pergeseran jabatan.
Ya, selaku sosok yang masih memiliki wewenang Arifien tentu saja masih memiliki hak prerogatif itu. Tapi apapun sikap yang diambilnya sebentar lagi, memutasi lagi atau tidak, sesungguhnya hal itu saat ini tidaklah terlalu menyita emosi kita, selaku publik penonton maupun sebagai pemain. Maka sudah seharusnya hal itu tidak dipandang lagi dengan kacamata sinisme.***

Onyeng (otak nyenggol)

+ PP 41, Walikota Arifien katonyo masih punyo sekali kesempatan, Nyeng
- Sekali berarti setelah itu, berarti lagi, Wak...he...he...he...

+ Polisi kini intensifkan pengamanan masjid dan rumah ibadah, Nyeng
- Semoga semua aman, dan nyaman, Wak...he...he...he...

+ Katonyo batu bara yang akan diekspor adalah sisonyo bae, Nyeng
- La iyolah, masa kito yang punyo yang harus dapat siso, Wak...he...he...he...

Truk dan Bus Masuk Kota, Jalanan Jadi Makin Berbahaya

Truk dan Bus Masuk Kota, Jalanan Jadi Makin Berbahaya

Yupnical, Jambi - Ada banyak sekali dampak negatif kasat mata yang diakibatkan oleh diperbolehkannya angkutan truk dan bus berbadan besar masuk kota.
Kalau sebelumnya, pihak dean perwakilan rakyat di DPRD Kota Jambi sempoat mengkritisi perihal tersebut dari sudut pandang dampak nyata secara materil berupa kerusakan jalan, maka masyarakat luas pun mengkritisi sampai ke hal-hal kecil yang mungkin selama ini luput diperhitungkan para pemimpin negeri pengambil kebijakan.

Adapun bentuk-bentuk dari kerugian imaterial tersebut diantaranya adalah dampak polusi udara, polusi suara, dan dampak kesehatan lain. Tak terkecuali dampak kecil lainnya yang kalau dirunut-runut justeru bisa menjadi besar adalah dampak terganggunya keamanan dan kenyamanan berkendara dalam Kota Jambi yang jalanannya kecil tersebut.

Karena kehadiran truk dan bus berbadan besar dan bermuatan lebihi kapasitas jalanan kota tersebut, dirasakan publik pemakai dan pengguna jalan benar-benar terganggu. Jalanan kota kecil yang sempit ini sekarang ini langsung tidak langsung telah menjadi jalur yang rawan kecelakaan.

“Bayangkan saja, truk lewati jalanan kota, sementara ruas jalannya sendiri sempit, kecil dan banyak persimpangan atau belokan. Kita bawa motor, jadi harus lebih ekstra hati-hati lagi. Sebab bisa saja tersenggol dan lalu dilindas mobil yang berebut jalan sempit dengan kita itu,” keluh Basan salah seorang warga kepada Posmetro Jambi kemarin.
Pasalnya, kalau diamati secara seksama memang keberadaan truk-truk berbadan gambot itu terlihat begitu menganggu arus lalulintas. Melewati jalanan kota yang padat arus lalulintas mereka memang tidak bisa semaunya ngebut. Mereka harus berjalan pelan dan beriringan. Tapi di sisi lain keadaan itu justeru membuat arus lalulintyas jadi tambah runyam. Kendaraan kota lainnya yang rata-rata kecil justeru jadi terhambat di belakang bhakn di antara mereka. Tanpa disadari kemacetan pun bisa saja terjadi.

Lalu karena dalam kondisi berkendara emosi pengendara tidak stabil bisa saja situasi itu memicu pengendara motor nekad nyalib sana sini guba bisa mendahului kendaraan itu. Sementara dari arah beralwanan jalanan yang masih berupa jalur dua arah itu kendaraan lain justeru tengah melaju deras.

Kondisi inilah yang membuat situasi jadi tambah runyam dan berbahaya. Kecelakaan bisa saja terjadi, tak bisa terelakkan lagi. Sementara di sisi lain kehadiran truk dan bus ini di tengah kota juga telah nyata-nyata menjadi sumber berbagai polusi.
Polusi udara dan polusi suara. Polusi udara bukan saja dari asap berupa gas metan tinggi dari khalpot pembuangan mereka, tapi juga dari debu-debu yang diterbangkannya di belakangaya amat rentan menganggu penglihat pengendara motor di belakangnya.
Truk dan bus ini juga menjadi sumber pembawa debu dan lumpur dari jalanan pedalaman yang dilaluinya sebelumnya. Makanya jalanan kota saat ini terkesan begitu kotor dan jorok oleh debu dan sisa lumpur yang menempel dan mengeras di aspal. Tanpa disadari hal itu berikutnya juga bisa menjadi penyebab kecelakaan. Apalagi kalau dilewati saat malam hari ketika penerangan lampu jalan kota saat ini banyak yang mati karena sudah putus bola lampunya.

Karena itulah warga pun menghimbau kepada aparat dan pemerintah serta isntansi terkait seperti Dishub DLLAJ, Organda, dan lai sebagainya, untuk segera meninjau kembali kebijakannya yang memperbolehkan truk dan bus untuk memasuki kota karena bulan puasa. Pasalnya meskipun toleransi diperbolehkannya itu hanya untuk truk-truk angkutan Sembako, namun pada kenyataannya semua jenis truk bahkan bus kini sepertinya telah mendapat angin segar untuk dapat lalulalang di jalanan kota yang sempit. Kondisi itu berbahaya, dan jangan menunggu jatuh korban jiwa baru mengeluarkan kebijakan atau peraturan pelarangan.

Baju Koko yang Akan Jadi Trend Busana Lebaran Tahun Ini

Baju Koko yang Akan Jadi Trend
Busana Lebaran Tahun Ini


yupnical,Jambi - DI negeri ini, Lebaran memang tak pernah bisa terlepas dari fashion busana khusus lebaran berupa baju koko. Setiap tahunnya selalu saja muncul trend produk baru. Bahkan boleh dibilang produk baju koko untuk muslim (pria) ini jauh lebih memiliki dinamika disainnya, ketimbang busana muslimat (wanita)-nya.

Buktinya setiap tahun selalu saja berbeda-beda model dan gayanya. Kalau tiga-dua tahun lalu model Uje yang begitu mbooming, tahun berikutnya adalah giliran model Asshalafi. Lalu bagaimana dengan tahun ini.

Agaknya indikasinya meski masih akan bertahan model-model sebelumnya yakni Uje dan Asshalafi tadi, diprediksikan bakal muncul pula model dan gaya disain baru. Corek model dan gaya baju koko busana lebaran pria tahun ini diprediksikan akan cenderung mengarah ke gaya retro klasik yag modis.

Modelnya telah mulai diperkenalkan oleh barisan publik figur di berbagai media publik, baik itu media cetak maupun elektronik dan berbagai media promosi lainnya.meniru trend retro klasik sebagaimana gaya berbusana pentolan-pentolan band anak muda yang kerap menjadi trend setter penampilan publik tersebut diprediksikan akan mendominasi.

Salah satunya adalah gaya berbusana anak-anak Ungu, para nidjiholic, dan tak ketinggalam para ustad yang banyak mengisi berbagai program siaran selama bulan Ramadhan tahun ini. tak pelak gaya countru juga akan tercaplok ke dalam disain busana koko tahun ini.
Corak stripes atau garis-garis lurus berpadu arsiran garis pembatas ala pelangi. Jahitan akan terlihat mencolok dengan benang-benang kasar yang menonjol. model bordiran kemungkinan akan sedikit disishkan. Begitu juga dengan gaya grafis suluran yang selama ini sering ditonjolkan sebagai ciri.

Sebagai gantinya adalah jahitan bensang-benang kasar yang mencolok tadi dengan grafis leter U di leher. Diprediksikan tidak akan banyak lagi gambar-gambar grafis. Hanya saja berkemungkinan juga akan mbooming yang rada nyentrik dan keluar pakem.
Hal itu nantiya akan bisa dilihat dari perpaduan bahan yang akan ipilih dan dipakai perancang dan penjahitnya. Bisa saja koko tahun ini bukan sebatas baju katun, melainkan bisa saja dari bahan sarung, batik, dan bahan-bahan lainnya. Dampaknya penampilannya pun tidak akan didominasi lagi oleh warna-warna tunggal. Bahkan diprediksikan warna putih tidak akan lagi jadi warna tunggal pilihan perancang, penjahit bahkan pemakai.
Bisa saja baju koko tahun ini akan berwarna jauh lebih ramai dan meriah. Kalau di tahun sebelumnya Uje sudah mulai mendobrak pakem dengan warna hitam, maka tahun ini warna-warna terang lainnya akan mendapat tempat. Warna ungu, cokelat, oranye, kuning, hijau, biru dan lainnya, akan muncul mendominasi.

Demikian, kemungkinan trend baju koko busana lebaran kaum muslim priat tahun ini. berlebaran tentu saja akan terasa lebih bermakna dan mendalam ketika gaya penampilan pun turut diperhatikan. Tidak ketinggalan mode apalagi ketinggalan zaman, karena Islam itu adalah agama yang tidak anti dengan perubahan dan perkembangan zamannya.

Lewat Pos Juga Bisa Kirim Kendaraan

Lewat Pos Juga Bisa Kirim Kendaraan

Yupnical, PASARJAMBI-Ada banyak faktor yang bisa saja menjadi penentu dari terus bertahannya perusahaan negara seperti Kantor Pos milik pemerintah sampai saat ini. Usaha ini tidak pernah mengalami kemunduran ketika saat ini begitu ramai saingan jenis usaha yang sama milik swasta bermunculan yang sepertinya terus menjamur.
Berbeda dari kebanyakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Daeah (BUMD) lainnya. Seperti perbankan, pertelekomunikasian, media pertelevisian dan radio dan lain sebagainya, yang banyak mengalami kebangkurutan pasca zaman reformasi PT Pos malah mampu meraup keuntungan sampai 100 persen.
Salah satu faktor penentunya tentu saja karena PT ini adalah milik pemerintah yang sudah pasti memiliki standar keamanan yang jauh lebih terjamin. Faktor lain adalah terus berbenahnya sisitem dan manejemen di perkantoran itu.
Lalu tentu saja faktor meningkatnya pelayanan dengan berbagai bentuk program pelayanan yang ditawarkan kepada publik. Salah satunya yang terbilang baru dan belum begitu tersosialisasikan ke publik adalah soal pengiriman jenis barang berat seperti kendaraan.
Kantor Pos ternyata tidak saja tempat mengirim surat-surat berharga, uang, surat, paket, giro dan berbagai barang kecil lainnya. Melalui kantor pos juga bisa melakukan pengiriman kendaraan.
Saat di bulan puasa seperti sekarang ini, justeru hampir setiap hari selalu ada saja kendaraan yang dikirim oleh pelanggan dengan menggunakan jasa pos.
Dimana pelanggan merasa lebih aman kalau motor tersebut sampai ditujuan dengan dikirim bukan dikendarai dan ini banyak dilakukan oleh pelajar yang ingin studi di luar daerah
Selain itu untuk pengiriman barang juga ada pengiriman satu hari sampai, dimana dengan menggunakan Pos Ekspres. Dan biasanya yang dikirim adalah makanan dan dokumen penting.

Banyak Kue Siap Saji, Telur dan Tudung Saji Tak Laku Lagi

Menilik Prilaku Masyarakat yang Kian Jauh Bergeser dari Nilai Budayanya

Banyak Kue Siap Saji, Telur dan Tudung Saji Tak Laku Lagi

Diduga karena dampak krisis ekonomi berkelanjutan, yang berikutnya berimbas sampai bergesernya prilaku dan gaya hidup masyarakat kini semakin kentara terlihat menghinggapi peri kehidupan masyarakat Jambi.

YUPNICAL SAKETI, KOTA JAMBI______________
Masyarakat kini telah berubah menjadi masyarakat praktis, dan menapikan segala sesuatu proses yang untuk menjalaninya perlu bersusah payah dan memakan banyak energi alias tenaga dan juga waktu lama.
Salah satunya adalah soal mulai bergesernya kebiasaan masyarakat dalam hal pola dan cara menyambut lebaran. Kalau dulu, budaya dan kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat adalah jauh hari sebelum lebaran setiap keluarga sudah mempersiapkan diri untuk membuat kue lebaran, minimal sudah memiliki perencanaan matang tentang kue apa yang akan dibuat.
Kini, yang terjadi malah kebalikannya. Jauh-jauh hari masyarakat sudah mengatur rencana kue siap saji jenis apa yang akan dibeli guna menghiasi meja ruang tamu saat lebaran nanti. Tak ada lagi yang berpikir ingin membuat sendiri.
Indikasi nyatanya untuk mengukur kondisi pergesersan pola pikir ini adalah dari tingkat konsumsi masyarakat akan telur yang setiap tahunnya terus saja menurun. Buktinya, kini sudah banyak produsen dan distributor telur yang mulai mengeluh konsumen mereka berkurang sangat drastis.
Menurut mereka kalau dulu tingkat konsumsi telur di tengah masyarakat di bulan puasa sampai 8 ribuan butir per, kini jumah itu sudah sangat menurun sampai hanya 3 ribuan butir saja.
Naiknya harga telur, bukanlah satu-satunya penyebab menurunnya daya konsumsi masyarakat. Yang lebih bermain di sini adalah soal telah bergesernya budaya dan gaya hidup atau prilaku masyarakat itu tadi.
Memang kalau ditilik dari segi bisnis, kondisi tersebut tidakah terlalu merisaukan, karena telur yang diproduksi ratusan peternakan unggas di Jambi itu tetap saja akan laku, meski konsumennya beralih ke kalangan industri panganan dan katering.
Namun, menurut pemerhati masalah kebudayaan, kondisi tersebut justeru dinilai sangat memprihatinkan. Pasalnya menurut merka bergesernya pola prilaku tersebut adalah indikasi nyata betapa nilai-nilai budaya yang lama melekat dalam pri kehidupan masyarakat Jambi kini sudah hampir habis tergerus gaya hidup moderat yang konsumtif dan praktis.
Dengan menipisnya nilai-nilai yang berhubungan langsung dengan cara pandang dan prilaku sosial masyarakat tersebut akan merusak spirit sosial, tepa selira, tekun dan ulet bekerja, terus kreatif berkarya, menyadari betapa manusia saling berhubungan dan membutuhkan antar satu dengan yang lainnya.
Kini semua nilai-nilai itu otomatis akan hilang. Kerugian ekonomis secara bisnis masih bisa ditanggulangi dengan mencari sumber pemasukan alternatif lainnya. Tapi hilangnya nilai budaya positif masyarakat, justeru hanya akan menghancurkan peradaban mayarakat di negeri itu sendiri secara perlahan. Mereka menuju kehancuran dalam ketiadaan indentitas dan harapan yang hanya nisbi. Ini yang perlu jadi perhatian.***

Onyeng (otak nyenggol)

+ Perketat pengawasan terhadap RPH Ilegal, Disnak dinilai lah telat, Nyeng
- Bioasolah, Jambi kan banyak karet, Wak...he...he...he...

+ BH II diingatkan dewan, jangan sampai hanyut, Nyeng
- Makonyo, berenang mestinyo pake ‘bikini’, Wak...he...he...he...

+ Kato Depag, tanah wakaf biso jadi biang masalah kalu dak katek sertifikatnyo, Nyeng
- Besok-besok mati jugo bakal jadi masalah kalu dak katek sertifikat-nyo, Wak...he...he...he...

Receh yang Lecehkan Bulan puasa Penuh Berkah

Sekelumit Tentang Gepeng Peminta Receh yang Lecehkan Bulan puasa Penuh Berkah

Sengaja Invasi ke Jambi, Ngemis Sebagai Profesi

Bukanlah termasuk bukti ‘bin ajaib’nya bulan puasa, kalau ternyata di bulan saat-saat umat Muslim memacu diri beribadah berlomba-lomba berbuat kebaikan demi mengejar ridho dan rahmat Illahi ini, selalu disertai pula oleh menjamurnya kehadiran orang-orang berpenampilan miskin pafa lalu lalang meminta-minta duit empengan kepada warga yang berbelanja.

YUPNICAL SAKETI, PASAR JAMBI__________________________________

Lalu siapa mereka yang telah salah kaprah memaknai bulan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah ini. Dari mana mereka para Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) yang sepertinya hanya bermunculan musiman di bulan puasa ini.
Toh sebenarnya warga Kota Jambi sudah cukup mengenal para pengemisnya, dan mereka adalah benar-benar para wajah baru yang entah datang dari mana.
Penasaran, Posmetro Jambi sempat menguntit alias mengikuti gerak-gerik para Gepeng itu, sebelum dan sesudah mereka beraksi. Setelah penungguan yang cukup lama akhirnya secara tidak sengaja sebuah kisah terangkai ketika di dalam sebuah Angkutan Kota (Angkot), wartawan koran ini semobil dengan sekelompok ibu-ibu dan anak-anak balitanya dalam gendongan.
Tanpa menyadari kehadiran koran ini di sebelahnya ibu-ibu paro baya yang masih terlihat segar bugar sehat walafiat berbusana layaknya orang yang akan pergi berbelanja di mall-mall tersebut saling berbincang.
“Susah nian yo sekarang ni, nak minta empeng be susah apolagi ribuan. La lebih seminggu di Jambi kami masih belum dapat jugo tuk beli baju lebaran,” keluh salah seorangnya memulai kisah.
“Iya, mana banyak razia lagi, hampir tiap hari Pol PP razia. Bagaimana mau dapat duit,” timpal yang lainya. “Mungkin kalau hari ini dapat duit, baru saya bisa beli baju lebaran untuk anak nanti sore,” imbuhnya. Penasaran, koran ini iseng bertanya soal daerah asal ibu-ibu itu. Tak di nyana dengan gamblang mereka mengakui kalau mereka datang dari Medan, sengaja ke Jambi untuk mencari rezeki.
“Dari Medan Dik, karena di sana sudah amat susah cari duit makanya kita coba ke Jambi,” aku salah seorang ibu. Yang lain justeru mengakui di antara mereka yang sering beraksi di pasar ada pula yang dari Pekanbaru, Palembang, bahkan Lampung.
Seperti telah di ketahui, di kota-kota tetangga Jambi tersebut memang telah diterapkan peraturan yang ketat perihal Gepeng. Di situ, Gepeng tidak di larang, tapi memberikan uang kepada mereka yang dilarang dan diancam denda yang tidak sedikit.
Mungkin karena hal itulah para Gepeng dari kota-kota itu berikutnya banyak yang eksodus ke Kota Beadat Jambi yang memang mereka ketahui belum memiliki peraturan ketat serupa.
Turun dari Angkot kelompok ibu-ibu itu langsung berpencar. Ada yang mengarah ke Swalayan Mitra, kawasan pasar Rombeng, Ramayana, kawasan Tropi dan Matahari dan ke kawasan-kawasan lainnya. Yang pasti mereka menuju tempat-tempat yang sudah pasti akan ramai.
Salah seorang ibu berjalan ke arah kawasan Mayang. Agaknya swalayan Tropi, Mandala dan Matahari adalah target operasinya hari itu. Benar saja setelah mengamati situasi ibu itu langsung menuju salah satu toilet di salah satu ruko. Tak berapa lama, sang ibu yang sebelumnya terlihat begitu segar bugar kini sudah keluar dengan dandanan yang sangat berbeda. Dia kini terlihat begitu memprihatinkan dengan sesosok anak balita dalam gendongannya.
Rambut kusut dan busana lusuh layaknya orang udik. Bahkan salah satu kakinya kini terlihat seperti dibalut perban lama yang penuh bercak darah layaknya di situ terbalut borok luka yang menahun.
Singkat cerita sang ibu yang kini telah dengan pakaian kerjanya itu mulai melancarkan aksi. Memelas-melas meminta-minta uang recehan kepada setiap orang yang dijumpainya. Sial baginya pagi itu, awal beraksi dia tidak berhasil mendapatkan receh belas kasihan orang sekeping pun. Selang setengah jam setelah itu barulah dia mendapatkan Rp 100- rupiah.
Begitulah sekelumit tentang mereka para gepeng musiman yang menjamur bermunculan tiap kali bulan puasa tiba di Kota Beradat Jambi ini. Di antara mereka bahkan ada yang sudah berkali-kali datang ke Jambi. Sempat berkali terkena razia dan dipulangkan, namun kembali lagi ke sini.
Di Jambi bahkan mereka sengaja mengontrak salah satu kossan. Disitu mereka tinggal bersama-sama dan mengatur strategi serta berbagi lokasi bersama-sama setiap harinya. Wah-wah.***

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Sunday, 16 March 2008 21:40 WIB

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Oleh Suyadi San

PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.

Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.

Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.

Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.

Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.

Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).

Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karya-karya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.

Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.

Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .

Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.

Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.

Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.

Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara),. D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).

Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.

Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.

Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari “cengkeraman” Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.

Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan diterbitkan.

Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.

Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.

Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.

Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.

Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.

Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.

Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.

Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM.

Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.

Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AMuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).

Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.

Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.

Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.

Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.

Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, “pulangnya” para perantau: Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z., Djuhardi Basri, dan Naim Emel Prahana. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.

Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.

Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.

Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin.

(Staf teknis Balai Bahasa Medan).

sumber: waspadaonline